Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam semakin larut. Di halte Setiabudi, Jalan Sudirman, antrean penumpang tak lagi mengular. Nazarudin Basyar, karyawan komputer di Gedung Nugra Santana Sudirman, dengan sabar menunggu bus merah merapat di pintu halte. Empat bus TransJakarta dibiarkannya lewat. Bukan apa-apa, hingga pukul 20.00 bus tersebut tak kunjung lowong. "Saya tunggu yang kosong saja, daripada naik bus reguler, lihat saja Jalan Sudirman macet total," ujar Nazar kepada TEMPO sambil menunjuk ruas Sudirman yang macet karena pemberlakuan three in one baru saja berakhir.
Nazar, 29 tahun, memang pelanggan TransJakarta sejak awal. Ia sebenarnya punya kendaraan pribadi. Tapi busway angkutan paling mudah untuk pulang-pergi ke rumahnya di Kebayoran. Tak beda jauh dengan Nunik Andini, 29 tahun, karyawan bank swasta di kawasan Kuningan, Jakarta. Ia memilih busway untuk pulang ke rumah kontrakannya di kawasan Mangga Besar. "Nyaman, cuma butuh 15 menit sampai di Mangga Besar," ujar wanita asal Semarang ini.
Tak bisa dimungkiri, enam bulan beroperasi di koridor Blok M-Kota di Jakarta, busway mulai diterima. Total penumpang yang terangkut per bulannya mencapai 1,3 juta. Masih jauh, memang, dari target 15 ribu penumpang per jam, tapi pundi-pundi Pemda DKI pun mulai terisi. Total pendapatan hingga akhir Juni mencapai Rp 16,6 miliar lebih. "Rata-rata per bulan pemasukan dari tiket mencapai Rp 3,5 miliar, sementara Rp 2,8 miliar dibayarkan kepada operator bus dan tiket," ujar Ketua Badan Pengelola TransJakarta, Irdjal Djamal.
Tapi itu semua bukan satu-satunya ukuran keberhasilan busway. Tak sedikit yang hingga kini masih mencibir bahwa sistem angkutan ini biang kerok kemacetan kronis di koridor jalan itu. Mereka, di antaranya, pengguna kendaraan pribadi yang bukannya tak mau beralih ke busway. Menurut mereka, naik busway "serba tanggung". Selain menyebutnya sebagai sumber macet, seorang teman Nunik yang menggunakan mobil juga kerepotan dengan sistem three in one. "Mau pindah ke busway, rumah kan di luar kota, mobil mau diparkir di mana kalau pindah ke busway."
Sutanto Suhodo, ahli transportasi Universitas Indonesia, yakin bahwa busway hanya menawarkan solusi parsial. Sutanto juga mengeluhkan janji pemerintah untuk membenahi sistem bus feeder (pengumpan) dan areal parkir umum yang tak kunjung terwujud. Busway bergerak, tapi sistem pendukungnya belum siap. Ini diakui oleh Irdjal Djamal. "Dari semua operator feeder yang sudah ditunjuk dan awalnya bersedia membantu, memang banyak yang lemah," katanya.
Bukan cuma itu. Hingga kini tak ada kejelasan angkutan feeder jika hendak menuju ke satu titik halte busway. Juga angkutan penyambung dari halte bus ke lokasi yang dituju. "Saya sendiri lebih memilih ojek untuk menyambung dari Blok M ke rumah saya," ujar Nazar. Ia juga prihatin atas jumlah armada yang kurang: ada 56 bus untuk 50 ribu lebih penumpang setiap hari. Dan itu sangat terasa pada jam-jam sibuk.
Itu pun belum termasuk sistem pengumpulan tiket yang dilakukan secara manual. Uang yang masuk, tiket yang terjual, bahkan penarikan uang dari halte, adalah buah tenaga manusia semata. Sistem penghitungan secara online yang diajukan terbentur pintu birokrasi Dinas Perhubungan.
Tapi busway adalah proyek penting. Sejauh ini, menurut Irdjal, dari alokasi anggaran tahun ini, sudah ada rencana untuk menambah 44 bus. Namun Irdjal tak sanggup memastikan kapan rencana itu jadi kenyataan. Ia hanya menyebut itu wewenang Dinas Perhubungan Pemda DKI. Soal-soal teknis seperti frekuensi bus yang tidak konstan, atau masalah pintu otomatis yang menjepit kaki penumpang, dapat segera diatasi BP TransJakarta. Tapi soal masalah lain yang harus melewati pintu birokrasi, Irdjal angkat tangan.
Parahnya, belum lagi masalah ini diatasi, Pemda DKI sudah mulai membangun dua koridor lagi dari 15 koridor yang direncanakan. "Apa boleh buat, inilah kalau sistem transportasi dibangun secara parsial," ujar Sutanto Suhodo, yang juga anggota Masyarakat Transportasi Indonesia. Sutanto sendiri punya ukuran lain meng-hitung keberhasilan busway. "Minimal, masyarakat umum sudah mau diajari ngantre dan menyeberang jalan di tempatnya," tuturnya.
Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo