Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Bukan Surga Pejalan Kaki

Ruang bagi pejalan kaki masih belum manusiawi. Potret sistem transportasi di Jakarta yang tak terintegrasi.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada yang berubah dari Fidhiza, 30 tahun, sejak bus jalur khusus alias busway dioperasikan. Bersama rekan-rekan sekantornya, biasanya karyawati perusahaan asing di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, itu "mencarter" taksi untuk makan siang di luar. Itulah kebiasaan yang ditinggalkan setelah ada busway. Ia memilih naik bus itu. "Selain bebas macet, busway relatif murah ongkosnya dan cukup nyaman," katanya.

Fidhiza senang, tapi menyayangkan akses menuju ke shelter (tempat naik-turunnya penumpang) busway yang tak nyaman. Dari kantornya di Gedung World Trade Center, ia menyusuri trotoar yang sempit dan tak berpeneduh untuk menjangkau shelter busway di daerah Karet. Lebih tak nyaman lagi, selama berjalan menuju shelter itu, tiba-tiba di kiri dan kanan sepeda motor nyelonong naik ke trotoar.

Cerita Hervansyah, 35 tahun, sama. Pegawai sebuah bank pemerintah di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, yang diuntungkan oleh busway itu, agak terganggu. Ia lebih cepat menjangkau para klien yang bertebaran sepanjang Jalan Sudirman. Tapi ia juga harus naik-turun TransJakarta, dan itu berarti harus menyusuri trotoar sempit dan tak berpeneduh, sebelum akhirnya ia menjangkau shelter. "Selama berjalan, saya juga merasa waswas karena membawa laptop," katanya. "Di sini tak ada jaminan keamanan bagi pejalan kaki seperti saya."

Apa yang dialami Fidhiza dan Hervansyah itu, menurut pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya, merupakan cerminan dari pembangunan sistem angkutan umum di Jakarta yang belum terintegrasi. Seharusnya, ketika pembangunan busway digelar, diikuti pula dengan penataan penggunaan lahan di sekitarnya. Artinya, kawasan di sepanjang jalur busway itu harus ditata, sehingga para penumpang merasa nyaman dan aman.

Satu yang harus ditata, tutur Marco, adalah kawasan bagi pejalan kaki alias pedestrian. Bila ditelusuri, kawasan pedestrian sepanjang koridor busway (Blok M-Kota) sungguh jauh dari memadai. Padahal, "Makin banyak angkutan umum yang melayani penumpang, semakin banyak orang yang berjalan kaki," ujarnya. "Karena itu, bila ingin menjadikan angkutan umum sebagai tulang punggung transportasi Jakarta, penataan jalur pedestrian merupakan sebuah keharusan," Marco menjelaskan.

Hal senada dilontarkan Mohamad Danisworo, guru besar arsitektur dan desain urban Institut Teknologi Bandung. Menurut dia, selama ini kawasan Jalan Sudirman-Thamrin masih belum manusiawi. Pasalnya, kendaraan pribadi justru mendapat prioritas daripada pejalan kaki. Akibatnya, orang berkompetisi dengan kendaraan. Apalagi, "Sepanjang trotoar juga hampir tidak ada pohon peneduh yang dapat menyejukkan pejalan kaki," katanya.

Ruang bagi pejalan kaki yang baik minimal dapat menampung dua orang yang berpapasan, demikian menurut Danisworo. Sedangkan lebar maksimumnya bergantung pada kepadatan tempat area pedestrian tersebut berada. Kawasan komersial perkantoran dan perbelanjaan—seperti koridor Jalan Sudirman-Thamrin—paling tidak membutuhkan lebar 3-10 meter, sedangkan kawasan hunian atau daerah yang tidak terlalu padat cukup 1,2-3 meter.

Syarat selanjutnya menyangkut kenyamanan berjalan kaki: permukaannya harus rata. Pertemuan dengan jalan keluar-masuk kendaraan dibuat sejarang mungkin. Dan sebaiknya jalur pedestrian memiliki ketinggian permukaan yang tetap sama ketika terjadi pertemuan itu. Jadi, diusahakan sesedikit mungkin pejalan kaki naik-turun permukaan di sepanjang koridor pedestrian.

Selain memberikan kenyamanan, area pedestrian juga harus menjamin rasa aman dari kendaraan bermotor, baik mobil maupun sepeda motor, bagi pejalan kaki. Pembatas antara jalan kendaraan dan pedestrian dapat dilakukan dengan memasang pagar besi, perdu, atau pohon-pohon peneduh. Setiap pertemuan perlu dilengkapi tiang atau batu yang dipasang dengan jarak tertentu. Ini berfungsi menahan motor memasuki area pedestrian.

Di luar itu, jalur pedestrian juga harus nyaman bagi semua lapisan warga, termasuk bagi penyandang cacat. Misalnya, menyediakan ramp, yaitu jalan dengan standar kemiringan tertentu setiap ada perbedaan tinggi permukaan jalan pedestrian, serta memasang ubin dengan tanda khusus—ubin dengan bulatan-bulatan untuk tanda ada sesuatu, bagi para tunanetra. Bahkan, untuk menuju tempat yang sangat tinggi seperti stasiun kereta api skytrain, disediakan elevator/lift khusus bagi mereka.

Pedestrian sebenarnya bukan penguasa mutlak trotoar. Mereka berbagi dengan pedagang kaki lima, para pelaku ekonomi nonfomal perkotaan. Syaratnya cukup fair. Dari pedestrian selebar 3-4 meter, para pedagang boleh menggunakan satu meter yang bersinggungan dengan jalan kendaraan. Itulah bentuk perlindungan lain bagi para pejalan kaki.

Terakhir, supaya orang tertarik dan enak berjalan kaki, menurut Danisworo, pemilik gedung sebaiknya diimbau memanfaatkan lantai dasarnya untuk kegiatan komersial, semacam restoran, kafe, atau tempat hiburan. Dengan begitu, orang tak merasa lelah meski berjalan kaki cukup jauh. Sebab, mereka cukup terhibur dengan pemandangan sepanjang area pedestrian, sehingga lupa bahwa sudah berjalan jauh. "Kawasan itu pun menjadi lebih hidup. Tidak seperti sekarang, bila malam tiba, koridor Sudirman-Thamrin menjadi sepi," kata Danisworo.

Sebenarnya, menurut Kepala Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota DKI Jakarta, Sarwo Handayani, desain dan perencanaan area pedestrian telah digagas sejak 1996, ketika Soerjadi Soedirdja menjabat Gubernur DKI. Waktu itu, khusus koridor Jalan Sudirman-Thamrin, misalnya, Soedirdja mewajibkan semua gedung yang baru dibangun tak memakai pagar beton. Pagar beton yang sudah ada pun direncanakan dibongkar. Selanjutnya, trotoar diperlebar.

Namun semua rencana itu kandas di tengah jalan, begitu Soedirdja lengser. Ditambah lagi dengan krisis ekonomi berkepanjangan, menyusul bergulirnya reformasi. "Padahal waktu itu sudah ada beberapa pemilik gedung yang setuju memberikan lahannya untuk menunjang pelaksanaan pembangunan jalur pedestrian," ujar Handayani menjelaskan.

Rencana itu kembali mencuat pada 2003. Secara fisik, menurut Handayani, sejak akhir tahun lalu, Pemerintah Provinsi DKI telah membuat Jalan Thamrin sebagai kawasan percontohan area pedestrian di Jakarta. Proyek percontohan itu diharapkan terwujud pada tahun ini. Kalau berhasil, proyek itu akan dilanjutkan ke kawasan Jalan Sudirman dan ruas jalan protokol di Jakarta lainnya.

Handayani mengakui, proyek itu memang terkesan berjalan lambat. Itu karena pihaknya masih bernegosiasi dengan pengelola gedung di sepanjang koridor Thamrin. "Pada prinsipnya mereka mendukung. Hanya kita sedang mencari rancangan seperti apa yang pas untuk jalur pedestrian di setiap gedung yang dilewati," katanya.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus