Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta tahun 2014. Palang-palang beton silang selimpat menghalangi horizon kota. Di atasnya, ular-ular besikereta rel tunggalmeluncur, melesat, meliuk-liuk membawa penumpang ke stasiun tujuan. Tepat di bawahnya, bus-bus Trans-Jakarta melaju di jalur bebas hambatan busway.
Rupanya gambaran itu belum lengkap benar. Di bawah tanah, kereta-kereta cepat menembus kegelapan terowongan. Di atas permukaan kanal-kanal timur, meluncur perahu angkutan umum. Jakarta 2014: mungkin bajaj sudah menjadi rumpon di dasar Teluk Jakarta, dan si kancil, angkutan kota nan mungil, sibuk berseliweran. Jakarta 2014: jalan-jalan tak lagi macet, trotoar jalan tak lagi sempit dan gersang, berubah menjadi pedestrian, nyaman dan teduh. Tak lagi ada penat akibat berjalan kaki dari salah satu moda angkutan tadi.
Mimpi di siang bolong? Sebagian berlebihan memang. Kemacetan lalu lintas lenyap dari bumi Jakarta, misalnya, sungguh jauh dari jangkauan. Bahkan keadaan bisa lebih parah. Saat mempresentasikan busway awal tahun lalu, Gubernur Sutiyoso berkisah tentang ratusan mobil baru turun ke Jakarta setiap harinya. "Bahkan keluar dari garasi rumah pun sulit," ujarnya kala itu. Bukan cuma itu, malah pohon rindang lebih banyak ditebangi ketimbang ditanam ulang.
Apa pun, yang terang, sebagian dari bayangan tentang Jakarta sepuluh tahun mendatang akan menjadi kenyataan. Palang dan tiang beton untuk kereta monorel (kereta rel tunggal) yang melayang di atas tanah, misalnya, pertengahan Juni lalu sudah mulai dibangun. "Rencananya 2006 akan selesai," ujar Asisten Administrasi Pembangunan DKI Jakarta I.G.K.G. Suena kepada TEMPO.
Jalur monorel yang dibangun pihak swasta Indonesia Transit Central (ITC) ini akan terdiri atas jalur hijau dan biru. Jalur hijau akan membentuk loop yang mengelilingi kawasan segi tiga emas, dari Kuningan, Sudirman, hingga Senayan (lihat peta). Sedangkan jalur biru membentang dari Kampung Melayu, melayang di atas jalan Casablanca, menembus Tanah Abang, terus ke kawasan niaga Roxy. "Ada alternatif, akan kami ubah (hingga) menembus ke kawasan Taman Anggrek," kata Bovananto, arsitek pembangunnya dari ITC.
Jalur angkutan sepanjang sekitar 27 kilometer ini diharapkan bisa menjadi solusi angkutan publik di Jakarta di kawasan yang sering macet pada jam sibuk. Per jamnya, kapasitas angkutan kereta yang terdiri atas empat rangkaian itu mencapai 35 ribu penumpang "Teknologi ini aman, fleksibel, dan relatif murah pembangunannya," ungkap Suena.
Di beberapa titik, kedua jalur monorel ini akan bersilangan di kawasan Dukuh Atas dan Karet. Persilangan juga akan terjadi dengan moda angkutan lain, seperti kereta rel listrik (KRL) Jabotabek dan busway. Di sana, penumpang bisa pindah jalur dan moda angkutan sesuai dengan jurusan yang dituju. Di Dukuh Atas, misalnya, penumpang bisa pindah naik bus Trans-Jakarta, atau penumpang dari arah Bogor bisa turun di Stasiun Tebet, pindah ke monorel, menuju kantornya yang terletak di kawasan Sudirman.
Inilah ambisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta: membangun sistem transportasi publik dalam sepuluh tahunan ke depan. Selain monorel, pembangunan 15 koridor busway yang membelah-menusuk Kota Jakarta akan diteruskan. Sutiyoso juga berambisi membangun kanal air dan menjadikannya sebagai moda angkutan air. Ada lagi jalur mass rapid transportation (MRT), moda angkutan kereta yang lebih besar daya angkutnya dan lebih cepat dari monorel. Dalam urutan berdasarkan kapasitas angkutnya, daya angkut MRT bisa mencapai 70 ribu per jam dalam setiap jalurnya. Jalur MRT ini akan dibuat dari Lebak Bulus hingga Dukuh Atas.
"Ini menjadi urusan pemerintah pusat dan kini sudah MOU-nya antara Departemen Perhubungan dan Pemerintah Provinsi DKI, dan paling cepat mulai dibangun pada 2005," ujar Suena.
Seperti itukah solusi transportasi yang ditunggu-tunggu? Sutanto Suhodo, ahli transportasi Universitas Indonesia, meragukannya. Di mata Sutanto, itu hanya solusi parsial. "Melihat kebutuhan yang ada saat ini, Jakarta membutuhkan lebih dari sekadar monorel. Harusnya pemerintah lebih berfokus untuk membangun MRT," ujar Sutanto, pemimpin kelompok studi City Transportation Study di Universitas Indonesia. "Monorel dan jalur-jalur lain yang akan dibangun belum akan melayani seluruh Jakarta," kata pengamat tata kota Mohamad Danisworo.
Danisworo berpendapat, meskipun punya rencana makro, sistem transportasi yang akan dibangun ini belum menjadi sebuah sistem yang kompak (integrated). Sistem monorel, misalnya, dibangun dengan konstruksi bangunan dan rel yang rigid, melayang di atas tanah. "Ini seperti tambal sulam. Apakah sudah dipikirkan kalau 30 tahun ke depan tak layak lagi bisa diganti begitu saja?" ujar Sutanto. Ini berbeda dengan busway, yang menurut dia bisa diganti setiap saat dengan sistem yang sesuai dengan kebutuhan zaman (lihat Enam Bulan yang Belum Sempurna).
Ya, tidak integrated. Bahkan, menurut Danisworo, di beberapa titik tidak dipikirkan bagaimana mendistribusikan penumpang ke titik lain, meskipun terjadi persilangan moda angkutan. Memang ada rencana pengembangan di masa depan. Di ujung barat jalur biru monorel, misalnya, jalur bisa dilanjutkan di Banten. Tapi, "Sedang dikaji suatu saat jalur monorel bisa disambung ke luar Jakarta," ujar Menteri Perhubungan ad interim Soenarno kepada Kurniawan dari Tempo News Room.
Pihak ITC pun mengaku sudah melakukan pendekatan ke Pemerintah Kota Bekasi untuk menyambung jalur dari Kampung Melayu hingga Bekasi. "Cuma, ya itu, investasinya besar sekali," ujar Bovananto. Untuk proyek monorel ini saja, ITC, yang menggandeng Omnico Singapore Pte. Ltd. menjadi konsorsium Jakarta Monorail, menanam modal US$ 630 juta. Mereka mendapat lisensi build operation transfer hingga 30 tahun ke depan dari Pemerintah Provinsi DKI.
Besarnya modal itulah yang memang akhirnya membuat sistem transportasi umum Jakarta ini seperti gado-gado. Untuk membangun sistem MRT yang kompak (MRT yang makan banyak ruang lebih banyak dibangun di bawah tanah/subwayRed.), misalnya, dibutuhkan modal US$ 105 juta per kilometer. "Memang besar, tapi investasi itu sebanding dengan kebutuhan masa depan," ujar Danisworo.
Apalagi sistem ini berada di bawah tanah dan tidak mempengaruhi ruang tata kota di atasnya. Jalur monorel, jika sudah terbangun, akan mengubah koridor Sudirman yang sudah tertata rapi. Stasiun monorel yang dirancang dengan gaya arsitektur futuristis dan cenderung bulky ini akan sangat mempengaruhi tata ruang koridor itu. "Kami memang sedang mengkaji lagi apakah jalurnya nanti akan di median atau sisi jalan," ujar Bovananto.
Patut dicatat, jalur monorel juga akan membabat habis pohon yang dilewatinya. "Coba bayangkan, berapa pohon yang harus ditebang hanya di jalur monorel di Jalan Sudirman dari kawasan Sudirman Commercial and Business District ke Jalan Asia Afrika itu," kata Danisworo. Itu belum termasuk rencana MRT dari Ratu Plaza hingga Dukuh Atas yang akan sejajar dengan jalan raya. Padahal, di sepanjang koridor itu, pembenahan pedestrian untuk pejalan kaki pun belum selesai (lihat Bukan Surga Pejalan Kaki).
Apa pun itu, Sutanto Suhodo sendiri berpendapat reformasi transportasi publik memang harus segera dilakukan. Dengan duit pemerintah yang cekak, apa boleh buat, sistem transportasi "gado-gado" pun "bolehlah."
Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo