Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Festival yang mengejutkan

Festival pertunjukan seni masa kini di denpasar membuat seniman bali tradisional kaget: elemen-elemen kesenian tradisional ternyata bisa digarap secara lain.

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARUS diakui, seni "masa kini" belum populer dalam masyarakat Bali. Pemunculannya masih bersifat sporadis dan belum memperoleh porsi yang cukup dalam berbagai kegiatan seni budaya di Bali, di pulau yang sudah akrab dengan seni tradisional ini. Maka, Festival Seni Masa Kini yang kegiatannya meliputi gelar seni pertunjukan, seni sastra, seminar, dan pameran seni rupa di Kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar dan Taman Budaya Bali, 20-27 Desember 1993 lalu, diwarnai polemik berkepanjangan. Tapi barangkali polemik itu pun suatu cara untuk mensosialisasikan seni kontemporer ke dalam masyarakat Bali. Seni tari "kontemporer" yang tumbuh di Amerika Serikat sekitar tahun 1920-an itu memang merupakan seni tari "eksplorasi", sebuah wujud seni tari yang tidak mau meniru dan mengambil pola-pola balet klasik. Pada mulanya tari "kontemporer" merupakan "cara hidup" atau suatu ekspresi jiwa manusia yang bebas dari tradisi yang dianggapnya sudah usang dan ketinggalan zaman. John Martin, seorang kritikus teater terkemuka di Amerika Serikat, menyatakan, tari "kontemporer" tak lain hanya untuk mengungkapkan pengalaman yang otentik dari seseorang. Salah satu dari berbagai bentuk gerak yang ada dalam tari "kontemporer" disebut ekspresionisme. Ekspresionisme pada seni rupa merupakan satu ekspresi yang sangat subjektif dari seorang seniman terhadap kejadian- kejadian, objek-objek melalui peleburan dan simbol. Ekspresionisme berpengaruh pada tari "kontemporer," yang muncul dengan nama tari improvisasi, tari kreativitas, atau tari komposisi. Berpangkal dari pokok-pokok pikiran di atas, bisa dipahami bila penampilan seni "kontemporer" dalam Festival Seni Masa Kini itu menimbulkan kejutan bagi seniman-seniman Bali. Festival Seni Masa Kini yang pelaksanaannya diayomi oleh Yayasan Walter Spies pimpinan Dr. A.A. Made Djelantik memang menampilkan beberapa karya seniman bertaraf nasional, seperti pementasan Aum karya Putu Wijaya, Ritus Topeng karya Ikranegara, Panji Sepuh karya Sulistiyo Tirtokusumo, Perjalanan karya I Wayan Dibia, Pelangi Nusantara karya Swasthi Widjaja, dan gelar dan demonstrasi lukis oleh Nyoman Gunarsa dan Made Wianta. Seniman dan masyarakat Bali sempat terpukau oleh pementasan yang disajikan dalam festival ini. Misalnya, pergelaran Ritus Topeng karya Ikranegara mampu membuat kagum penonton karena kemampuan Ikranegara mentransformasikan dirinya ke dalam topeng-topeng yang digunakan. Ritus Topeng adalah pementasan yang padat meski ada adegan-adegan yang kurang kental atau kadang terlalu banyak muatan sehingga tampak berlebihan. Penampilan Panji Sepuh karya Sulistiyo mampu memukau penonton yang memadati gedung itu. Penonton diajak merenung dan bersemadi dalam tempo yang sangat lamban, gaya orang Jawa. Gesekan-gesekan rebab yang diwarnai oleh liris pangkur yang ditulis oleh Goenawan Mohamad menjadikan pementasan ini penuh intelektualitas. Sayang, tampaknya, kebanyakan seniman Bali belum dapat menangkap makna dari pergelaran tersebut. Para seniman (tradisional) Bali juga sempat kagum menyaksikan kemampuan seniman-seniman kontemporer mengolah media yang tersedia di panggung, tata suara, tata lampu, dan tata pentas. Bahkan panggung Ksirarnawa yang berbentuk prosenium diubah total menjadi bentuk arena hal-hal yang selama ini tak terpikirkan oleh seniman Bali itu. Aum Putu Wijaya, yang baru pertama kali dipentaskan di Pulau Dewata ini, memberi kejutan pengalaman yang lain sama sekali pada penonton yang memenuhi Gedung Natya Mandala STSI Denpasar. "Metaksu-metaksu" demikian ungkapan penonton kala itu. Taksu adalah kata Bali untuk menyebutkan karya seni "yang menyirat, penuh empati, yang komunikatif." Putu Wijaya menangkap makna desa, kala, patra (tempat, waktu, dan kondisi) bagi garapannya, sehingga Aum yang penuh dengan teka-teki, atau "selipnya komunikasi antara masyarakat dan Bapak Bupati," terasa akrab dengan penonton Bali tanpa beban yang berlebihan. Garapan yang menampilkan keutuhan antara musik, dekorasi, dan laku itu menawarkan banyak alternatif bagi pertumbuhan seni "kontemporer" di Bali. Kendatipun ada adegan "puputan" yang dipaksakan di tengah- tengah teka-teki tersebut, kejadian itu sama sekali tidak mengurangi nilai artistik dari penampilan itu. Ternyata, di samping terkejut, bisa juga orang Bali mengapresiasi Aum. Demonstrasi dan gelar seni rupa yang dilakukan oleh perupa Nyoman Gunarsa, Made Wianta, dan Nyoman Erawan yang menampilkan seni instalasi dengan membawa sebuah truk mini ke panggung, serta perakitan kalantaka matra, menggugah perasaan para seniman. Lewat karya instalasi itu para seniman tradisional menyadari bahwa mereka sebenarnya punya potensi membuat instalasi. Dan itu sudah terjadi. Lihat, misalnya menari kremasi untuk ngaben. Memang, dalam membuat menara kremasi tak ada "kesengajaan" membuat seni. Mungkin setelah festival ini, potensi itu akan dimanfaatkan untuk memunculkan seni yang bermutu. Barangkali salah satu penampilan yang mudah dicerna dan akrab dengan penonton Bali adalah garapan berjudul Pelangi Nusantara karya Swasthi Widjaja yang menampilkan sekitar 200 orang pemain. Garapan yang temanya diangkat dari legenda kehidupan burung cenderawasih, merupakan tawaran dari penciptanya untuk menghargai kemajemukan budaya Indonesia, yang pada akhirnya memupuk rasa bangga, harga diri, dan kemudian bermuara pada kesatuan dan persatuan bangsa. Kejutan, polemik, kontroversi, atau apa pun yang terjadi selama festival ini, hanyalah menjadi pertanda dan harapan agar festival ini dilanjutkan. Karena ada anggapan festival ini memiliki kontribusi yang cukup baik bagi pembinaan dan pengembangan kesenian di Bali, baik bagi pertumbuhan seni tradisi maupun seni kontemporer. Dipandang dari sudut politik kebudayaan Bali, seni tradisi dan seni "kontemporer" perlu mendapat tempat yang sejajar, baik dalam pembinaan maupun dalam kesempatan penampilan. Kedua seni itu merupakan ekspresi dari masyarakat pada masa kini. Kedua seni ini mempunyai potensi yang sama, dan sama-sama pula memiliki daya eksplorasi dan daya kreasi. Bahkan, di satu pihak, pertumbuhan seni "kontemporer" dapat menguatkan kedudukan seni tradisi. Pada saat itulah seniman-seniman tradisional ditantang untuk berkreasi agar tidak ada stagnasi, dan seni tradisional tumbuh mapan.I Made Bandem

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus