Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

90 menit yang mengguncang

Festival seni masa kini di denpasar, bali, sebuah pertunjukan kontemporer paling gemuruh. mobil pick up masuk panggung. pagelaran ini mengangkat realita konkret kehidupan masyarakat bali.

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH pertunjukan "kontemporer" yang paling gemuruh dalam Festival Seni Masa Kini di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. Soalnya, di panggung itu dimasukkan mobil pikap lengkap dengan muatannya. Yakni, umat Hindu berpakaian adat yang, ceritanya, pergi ke pantai untuk melasti, upacara melepaskan korban ke laut, yang biasanya dilakukan sebelum Hari Raya Nyepi. Di mobil itu pun dipasang Ratu Mas (topeng rangda yang disucikan), seperangkat bleganjur (gong untuk pengiring keberangkatan ke suatu tempat), dan dua gadis menjunjung sesajen. Bukan hanya itu ada juga gadis kulit putih, bercelana pendek, menjunjung tirta suci yang ditaruh dalam botol bekas minuman Coca-Cola. Suara gemuruh mesin mobil masih ditambah deru sepeda motor, yang dinaiki anak muda berpakaian adat Bali, tapi bersepatu hak tinggi. Bleganjur pun terus bertalu-talu membuat suasana gedung pertunjukan makin ingar-bingar. "Babak" selanjutnya, dari pengeras suara yang dipasang di ujung sebuah bambu, terdengar kidung wargasari (kidung suci untuk mengiringi pemujaan Ida Sang Hyang Widhi). Tapi dari pengeras suara itu pun terdengar gumam dan suara-suara lain. Kidung khidmat itu tiba-tiba diganti dengan lagu dangdut. Tak lama, panggung pun diharu oleh "nyanyian" mesin penyedot air yang dihidupkan di panggung. Sorot lampu biru, merah, putih, kuning, lembayung bermain di panggung. Usai mesin penyedot air berakting, panggung gelap. Sebuah lukisan berukuran 4 m x 3 m diturunkan perlahan dari langit- langit, hampir memenuhi ruang panggung. Lampu sorot menari- nari. Tak cukup dengan itu, segitiga visual dari papan (termasuk segitiga pengaman kendaraan) diturunkan bergelantungan dari langit-langit. Lukisan dan segitiga berbagai ukuran ini statis saja, hanya cahaya yang bermain-main, sedangkan dari kegelapan terdengar ilustrasi musik instrumen. Pusat perhatian buyar ketika "terdengar" pembacaan sajak. Rupanya, Perupa Wianta, pencipta mobil masuk panggung dan rangkaiannya ini, pun menulis puisi. Ratusan "sajak seni rupa"-nya siap dipublikasikan, diulas Penyair Afrizal Malna. Kata Afrizal, itulah vinyet kata-kata. Sehabis pembacaan puisi, perhatian penonton dialihkan ke delapan pesawat TV yang dipajang dekat panggung. Dari pesawat itu, muncullah videoklip Wianta, menayangkan proses kreatifnya. Atraksi ini mengejutkan banyak penonton Bali. Kata Wayan Dibia, koreografer yang menciptakan garapan gado-gado Amerika- Bali, Body-Cak, Wianta lewat pertunjukan sekitar 90 menit itu mengangkat realita kongkret yang dihadapi masyarakat Bali kini yang menampung sekaligus budaya tradisional dan modern. Wianta mengakui bahwa ia memang sekadar menyuguhkan realitas masyarakat Bali sekarang. "Orang Bali itu adalah orang yang multidimensional," katanya. Maksudnya, semua kegiatan di Bali bisa berlangsung bersamaan: kesedihan, iri hati, kemunafikan, dan sebagainya. "Coba lihat, saat upacara agama di pura, di luar ada muda-mudi Hindu saling melirik, ada yang menonton pedagang obat, bahkan ada yang main domino." Lalu cepat-cepat ia berkata, "Tapi aku tak mengatakan iman mereka merosot, lo." Jadi? Apakah ini teater? Pertunjukan musik? Atau pertunjukan seni rupa? Wianta, salah seorang pelukis modern kita yang lukisannya laris ketika terjadi boom pasar seni rupa, tak ambil pusing soal nama. Yang penting, ia berniat mengekspresikan penghayatannya pada hidup, dan hidup itu bagi dia mengalir. Ketika sebuah rumah tangga ditimpa musibah kematian, ada yang menangis meraung-raung, ada yang berpelit-pelit dengan uang pengeluaran, ada yang iri hati dan memanfaatkan kesedihan keluarga itu, dan seterusnya. Tapi, "Orang kan tidak terus sedih atau terus tertawa saja?" Apa pun, yang jelas, panggung kesenian di Bali tak hanya bisa diisi legong atau cak atau drama gong, tapi juga pertunjukan yang mengharu biru, seperti mobil masuk panggung itu. Adakah akan terjadi persentuhan, bahkan percampuran, dan melahirkan ciptaan baru, itu yang diharapkan.Laporan Putu Wirata dan Fajar Arcana (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum