Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Film Dirty Vote Tembus 13 Juta Penonton, Dandhy Laksono Jawab Pertanyaan Publik

Sutradara film Dirty Vote, Dandhy Laksono mengungkap proses di balik terciptanya film yang kini telah disaksikan lebih dari 13 juta penonton.

13 Februari 2024 | 13.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Poster film Dirty Vote. Foto: Instagram.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara film Dirty Vote, Dandhy Laksono, berterima kasih kepada penonton yang telah menyaksikan film dokumenter eksplanatori yang menceritakan sebuah desain kecurangan Pemilu 2024. Melalui ungggahan di Instagram pribadinya, film berdurasi hampir 2 jam itu tembus 13 juta penonton hanya dalam jangka waktu dua hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Butuh 7 hari bagi "Sexy Killers" (2019) untuk sampai pada angka ini. Terima kasih telah menonton, menyebarkan, mendiskusikan, bahkan membantu warga yang lain agar lebih mudah memahami film ini. Hormat," tulis Dandhy Laksono pada Selasa, 13 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menanggapi kabar baik tersebut sekaligus viralnya film ini, Dandhy Dwi Laksono menjawab pertanyaan dari netizen di berbagai platform, khususnya Tiktok. Banyak yang menyebutnya hanya bikin film setiap ada Pemilu di Indonesia.  "Kenapa selalu Pemilu? Kalau dilihat dari sudut pandang Pemilu ya pertanyaannya memang kenapa selalu Pemilu? Tapi kalau sudut pandangnya dari yang bikin film, ya enggak. Antara Pemilu ke Pemilu itu saya bikin banyak film," ujarnya dikutip dari tayangan wawancara ekskusif di kanal Youtube Indonesia Baru.

Upaya Dandhy Laksono Memotret Kejadian di Indonesia

Dandhy menjelaskan saat membuat film Yang Ketujuh pada 2014. Di film itu, ia memotret tentang pertarungan para pendukung Jokowi dan Prabowo. "Jadi kehidupan para pendukungnya. Kami gambarkan kehidupan mereka dan gambarkan apa yang ada dalam pikiran-pikiran mereka. Filmnya kemudian di-frame mengglorifikasi Jokowi," ujarnya.

Dia mengaku bahwa setelah itu banyak film lain yang diproduksi. Meski begitu, lagi-lagi orang karena hanya mengingat momen politik seperti saat Pilkada DKI 2017, "Kami bikin film Rayuan Pulau Palsu dan Jakarta Unfair. Lagi-lagi film ini disimpulkan ikut membantu kekalahan Ahok dan dianggap menguntungkan Anies."

Film ketiga, Sexy Killers, ini juga sama kejadiannya. Sexy Killers adalah film tentang batu bara ya dan materi soal syuting itu adalah bagian dari 12 film ekspedisi Indonesia Biru.  Ketika film ini syuting 2015 enggak ada bayangan sama sekali akan tayang di 2019 April. Orang syuting di Kalimantan ya kita syuting sawit, batu bara, di Papua kita syuting proyek Food Estate. Senatural itu produksinya. Jadi kami letakkan sekuennya di ujung. 

Ketika itu risetnya ditambah berkembang, kita lihat kok seru banget. Kayaknya ada konflik kepentingan kenapa kita enggak seperti negara lain mulai meninggalkan energi kotor menuju energi baru yang lebih bersih misalnya. Begitu masuk ke Pilpres, orang-orang ini bersaing tapi sebenarnya mereka ada dalam jaringan kepemilikan saham atau bisnis yang sama. Keputusan itu ada di 2019 ketika muncul nama tim kampanye dari tim Jokowi dan Prabowo. 

Dandhy Dwi Laksono: Pekerjaan Saya Bikin Film

Menjawab soal tudingan bahwa filmnya hanya dibuat saat Pemilu saja, sutradara tersebut memberikan tanggapan. "Kalau memang begitu sejarahnya ketika dia (filmnya) muncul di musim Pemilu ya lebih tepat dong, masa saya harus tunda sampai musim libur lebaran? Atau Natal yang enggak ada kaitannya dengan film yang dibicarakan."

"Memang pekerjaan saya bikin film. Kalau ada yang bilang bikin film 5 tahun sekali, terus saya makan apa? Saya bikin film ada atau enggak Pemilu atau Pilpres ya cuma temanya berbeda-beda. Bikin film adalah pekerjaan saya dengan Watchdog dan ekspedisi Indonesia Biru," ucapnya tegas.

Ide Sutradara Dandhy Laksono Menggarap Film Dirty Vote

Dandhy Laksono mengaku bahwa ide pertama sebenarnya muncul dari kegelisahan publik soal kecurangan Pemilu. "Kita melihat berita sehari-harilah soal menteri yang kampanye dan enggak malu-malu lagi mengatakan bahwa bantuan ini dari presiden. Kok kayaknya kita jadi hancur standar normalnya ya? Konflik kepentingan yang terjadi hari ini itu sebenarnya enggak normal, tapi karena kayaknya dibikin setiap hari jadi lama-lama seperti normal," katanya.

"Ada kecurangan ini itu, aparat enggak netral. Bahkan presiden bikin gestur-gestur yang enggak netral. Bahkan ibu negara mengeluarkan dua jari dari dalam mobil kepresidenan. Itu lama-lama kita anggap normal. Sampai puncaknya kasus di MK, itu kasusnya besar banget," ujarnya,

Dandhy Laksono melihat bahwa di Dirty Vote mengungkap banyak orang yang mengubah ketentuan syarat menjadi presiden yang harusnya presidential treshold jadi hanya 20 persen, yang boleh mengajukan presiden adalah partai-partai yang punya suara 20 persen, diubah hanya demi konflik kepentingan.

"Tiba-tiba ada satu permohonan mengubah syarat presiden yang sudah berat tadi dengan mudah. Umur dibikin muda, saya enggak ada masalah dengan umur. Kemudian semua perubahan itu langsung berlaku seketika, termasuk syarat bahwa berpengalaman menjadi kepala daerah. Semua cerita ini lewat di mata saya, saya pikir kayaknya kita perlu strategi untuk membuat apa yang lewat tiap hari ini menjadi sesuatu yang bisa kita lihat dari jarak yang baik," ucapnya.

Lebih lanjut, dia mentakan awalnya tergugah untuk membuat film itu sebulan yang lalu karena menonton podcast Feri Amsari. "Dia cerita soal peta kecurangan Pemilu. Orang masih percaya dengan sistem demokrasi dan Pemilu. Sistem yang sudah enggak fair ini dicurangi. Bertubi-tubi banget daya hancurnya pada demokrasi. Saya putuskan, sebulan yang lalu pikiran itu," kata Dandhy Laksnono.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus