Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sutradara Hanung Bramantyo merilis film terbaru berjudul Tuhan Izinkan Aku Berdosa.
Aghniny Haque si bintang terang pemeran Kiran.
Kehati-hatian Hanung Bramantyo dalam memfilmkan novel kontroversial Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur.
Sutradara Hanung Bramantyo kembali lagi. Itulah kalimat yang pertama kali terlintas di benak usai menonton film terbarunya yang berjudul Tuhan Izinkan Aku Berdosa di salah satu bioskop di Jakarta Pusat, Kamis, 23 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film berdurasi 117 menit itu menyuguhkan cerita rumit tapi menarik. Karya ini mengisahkan perjalanan spiritual perempuan muda bernama Nidah Kirani yang diperankan oleh aktris Aghniny Haque. Kiran adalah sosok yang lurus sesuai dengan perintah agama sejak kecil hingga duduk di bangku kuliah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, saat berstatus mahasiswi, pergolakan batin Kiran dimulai. Ia berjumpa dengan kelompok Islam radikal pimpinan Abu Darda. Bukan cuma radikal, kelompok tersebut menyudutkan Kiran karena menolak untuk dinikahi Abu Darda.
Konflik tersebut berujung pada ancaman kekerasan fisik hingga permusuhan dengan orang tuanya. Maklum, orang tua Kiran juga pengikut kajian Islam Abu Darda. Selama peristiwa itu, Kiran bersinggungan dengan orang-orang munafik yang selalu berlindung di balik jubah agama.
Rasa kekecewaan berat membuat Kiran lepas kendali. Ia terjerumus dalam dunia prostitusi kelas atas demi menggaet laki-laki untuk ia bongkar kedoknya.
Tuhan Izinkan Aku Berdosa menjadi semacam titik balik kualitas Hanung Bramantyo yang sempat meredup dalam beberapa waktu terakhir. Ya, selama ini tak sedikit penikmat film dalam negeri yang memasang ekspektasi tinggi untuk setiap karya Hanung. Maklum, sutradara kelahiran 1 Oktober 1975 itu dikenal menelurkan karya-karya yang menarik perhatian seperti Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Ayat-ayat Cinta (2008), Tanda Tanya (2009), dan Mencari Hilal (2015).
Sayangnya, sejak 2020, karya-karya film Hanung dianggap mengalami kelesuan. Sebut saja beberapa film karya Hanung, seperti film komedi Benyamin Biang Kerok 2 (2020), film drama percintaan Tersanjung The Movie (2021) dan Catatan Si Boy (2023), film superhero Satria Dewa: Gatotkaca (2022), sampai film horor Trinil: Kembalikan Tubuhku (2024).
Jika menengok situs skor film, sejatinya karya-karya tersebut tidak terlalu jelek. Namun tetap saja, menurut kacamata media dan pengamat film, karya-karya Hanung itu tidak terlalu istimewa. Dengan kata lain, tidak sesuai dengan standar tinggi film Hanung sebelumnya.
Nidah Kiran (Aghniny Haque) (kiri) dalam fim “Izinkan Aku Berdosa” (2023). Dok. MVP Pintures
Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa merupakan adaptasi dari novel karya Muhidin M. Dahlan dengan judul Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur yang terbit pada 2003. Novel ini sempat menjadi buah bibir pada saat itu karena cerita yang diangkat Muhidin terlalu sensitif, bahkan menyudutkan sejumlah kelompok Islam tertentu.
Adapun Hanung mengaku baru membaca novel tersebut pada 2010. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, sutradara asal Yogyakarta itu langsung kepincut ingin memfilmkan cerita tersebut. Sayangnya, butuh waktu hingga 14 tahun untuk mewujudkan keinginan itu. Memang bukan perkara mudah memfilmkan cerita yang sangat kontroversial.
Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa memang sangat berani. Selain isu yang menyinggung perempuan dan prostitusi, film ini mengupas tentang praktik culas orang-orang munafik yang berlindung di balik topeng alim. Adegan-adegan ranjang pun berani tanpa menyajikan gambar porno yang eksplisit.
Aghniny Haque menjadi bintang yang bersinar paling terang dalam film ini. Aktris berusia 27 tahun itu sanggup menerjemahkan sosok Kiran dengan sempurna. Mulai dari Kiran yang masih polos memegang teguh ajaran Islam sampai Kiran yang murtad. Mimik wajah frustrasi bercampur kegilaan saat dikhianati orang-orang yang ia percaya juga ciamik.
Salah satunya dalam adegan Kiran menantang Tuhan saat berdiri di puncak gunung. Di tengah mendung gelap dan kilatan cahaya petir, Kiran mengolok-olok Tuhan dengan penuh emosi.
Salah seorang penonton, Tia Murtiana, terkesan oleh kemampuan akting Aghniny. Menurut Tia, mantan atlet taekwondo itu mampu menyampaikan emosi dan kekecewaan dengan sempurna. Bahkan, rasa kesal dan nelangsa itu bisa ikut dirasakan penonton.
"Aktingnya natural. Tidak kaku, tidak dibuat-buat. Seharusnya Aghniny bisa masuk nominasi FFI nantinya," kata perempuan 32 tahun itu saat ditemui di salah satu bioskop di Jakarta Pusat, Kamis lalu.
Penonton lain, Nora Almeria, memberikan pujian bagi lawan main Aghniny, Donny Damara, yang berperan sebagai Tomo yang merupakan dosen sekaligus muncikari Kiran. Aktor berusia 57 tahun itu mampu memerankan dua sisi wajah dosen sekaligus suami yang baik hati dan lelaki hidung belang yang menikmati tubuh Kiran sekaligus mengkomersialkannya. "Sebuah kombinasi yang sempurna, ya, Aghniny dan Donny Damara," ujar Nora.
Menurut Hanung, cerita dalam novel karya Muhidin M. Dahlan itu memang sangat layak untuk dituangkan ke dalam wahana film. Namun dia mengakui bahwa proses alih wahana tersebut harus dilakukan dengan kehati-hatian. Bahkan, dalam menentukan judul film, Hanung harus lepas dari judul asli novel, Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur.
Nidah Kiran (Aghniny Haque) dalam fim “Izinkan Aku Berdosa” (2023). Dok. MVP Pintures
Menurut Hanung, kata pelacur punya konotasi negatif dan dianggap tidak sopan. Selain itu, cerita dari filmnya tak sama dengan novel tersebut. Sebab, pada novel, cerita sebatas berakhir Kiran menjadi pelacur. Adapun dalam film, Hanung berusaha menciptakan proses hidup Kiran setelah menjadi pelacur. "Saya lanjutkan pada misi Nidah Kirani membongkar orang-orang munafik itu dengan cara apa pun," kata Hanung.
Penambahan cerita diperlukan Hanung karena, dalam novel asli, isinya lebih condong berbentuk memoar yang minim konflik. Sebuah film tak akan layak disajikan jika tidak ada konflik di dalamnya. Beruntung Hanung dibantu penulis skenario muda Ifan Ismail dalam mengembangkan cerita novel karya Muhidin Dahlan itu.
Ifan Ismail rupanya ikut tertantang diajak Hanung menulis naskah film ini. Ia mengaku terbawa dalam perjalanan spiritual di balik kemarahan, kesedihan, dan semua emosi tokohnya. "Menurut saya, perjalanan cerita ini sangat enak," tutur Ifan Ismail.
Dalam proses penulisan naskah, Ifan Ismail punya tugas menjaga netralitas agar tidak bias gender karena tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang perempuan. Menurut dia, netralitas pandangan harus ia pertahankan demi menjaga kelengkapan perjalanan spiritual Kiran.
Penulis novel Muhidin Dahlan sempat bercerita bahwa novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur sebelumnya dicetak sebagai memoar, yang bercerita tentang perjalanan seorang muslimah yang menjadi korban fitnah dan mengalami kekerasan seksual. Namun memoar itu hanya bertahan hingga tiga bulan karena banyak pihak yang tak terima dengan memoar tersebut.
Seperti dipaksa, Muhidin lantas menerbitkan memoar itu menjadi novel, termasuk dengan menyamarkan semua nama tokoh dan tempat kejadiannya. "Semuanya dilakukan agar tidak ada yang tersinggung," kata penulis 46 tahun itu.
Bukan kali ini saja nama Muhidin terseret dalam kontroversi. Beberapa bulan lalu, bukunya yang berjudul Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 juga memunculkan ketegangan. Sejumlah pihak menganggap buku tersebut menyudutkan salah satu peserta pemilu presiden. Bahkan Muhidin sempat dilaporkan ke polisi karena menerbitkan buku tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo