Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Merekam bencana besar dari sudut pandang hewan-hewan.
Sutradara jenius Gints Zilbalodis berhasil menyuguhkan cerita animasi unik berkualitas.
Meski tanpa dialog, kisah si kucing hitam dan kawan-kawannya sukses menguras emosi penonton.
SEEKOR kucing hitam tampak terengah-engah sembari bersembunyi di semak belukar. Beberapa detik sebelumnya, ia berlari secepat angin karena dikejar kawanan anjing. Kucing itu menjadi target buruan anjing-anjing lantaran mencuri ikan hasil buruan mereka. Berkat kecerdikan si kucing hitam, ia bersembunyi dan lepas dari kejaran anjing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru beberapa detik ia mengatur napas, gerombolan anjing itu kembali datang. Seakan-akan pasrah, si kucing hitam itu hanya diam. Namun rupanya para anjing sudah tak lagi berminat mengejar kucing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebaliknya, si kucing melihat sorot mata ketakutan dari para anjing. Benar saja, bahaya besar sedang datang dengan cepat. Air bah menggulung segala benda yang ada di depannya. Tak ada gunanya lari. Si kucing hitam dan anjing-anjing itu tersapu air.
Seperti ranting di tengah aliran sungai, mereka terombang-ambing terbawa derasnya banjir yang entah datang dari mana. Sempat meraih dahan pohon, tapi kucing dan para anjing tersapu air lagi.
Beruntung, si kucing hitam terdampar di tepi daratan lagi. Naluri hewan membawanya pergi ke tempat yang lebih tinggi. Kebetulan, si kucing kampung itu punya tempat istirahat sendiri. Sebuah rumah manusia yang minimalis dan indah. Selama ini ia tidur di sebuah ranjang besar di lantai dua rumah itu.
Sebagai hewan yang bisa tidur 12-16 jam saban hari, kasur empuk itu menjadi tempat paling lama ia kunjungi. Sayangnya, istana tersembunyi kucing hitam itu ikut terendam bah. Dalam beberapa jam, rumah yang dilengkapi patung-patung kucing berukuran besar itu lenyap ditelan air.
Ia harus pergi ke atas bukit yang lebih tinggi lagi. Namun bencana banjir itu terlalu dahsyat. Seluruh daratan terendam air. Bahkan kondisinya sudah seperti lautan dengan ombak yang bergelombang. Di tengah rasa menyerah, muncul keajaiban.
Tampak sebuah perahu kecil berlayar mendekat. Tak ada pilihan lain, si kucing hitam itu melompat memanjat lambung perahu berbekal kuku-kuku tajamnya. Betapa kagetnya kucing hitam itu karena ia tak sendirian di atas perahu.
Cuplikan film Flow (2024). IMDb
Seekor kapibara, hewan pengerat besar yang berasal dari Amerika Selatan, menyapa dengan tampang datar. Hewan bernama Latin Hydrochoerus hydrochaeris itu menjadi penyelamat nyawa kucing hitam. Layaknya hewan liar, si kucing sempat curiga dan menyeringai ke arah kapibara.
Dasarnya kapibara hewan yang susah terprovokasi, ia memilih “bodo amat”. Si kapibara memilih tidur. Ya, di situasi mencekam terombang-ambing badai dan bah, kapibara berkelir cokelat itu bahkan sampai mendengkur. Ibarat kisah Nabi Nuh, kini si kucing hitam dan kapibara mengelana terombang-ambing gelombang bah.
Singkat cerita, perahu yang entah berasal dari mana itu mendapat penumpang lain, yakni anjing labrador retriever, lemur ekor cincin, dan burung sekretaris. Kelima hewan berbeda spesies itu secara tak resmi membentuk geng di tengah lautan.
Pengembaraan si kucing hitam di tengah lautan dadakan itu menjadi tulang punggung cerita film animasi asal Latvia berjudul Flow. Film berdurasi 85 menit itu pertama kali tayang dalam Festival Film Cannes pada Mei 2024. Hingga kini Flow sudah diputar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Film garapan sutradara Gints Zilbalodis itu mendapat respons positif.
Flow mendapat tiga penghargaan dalam Annecy International Animation Film Festival 2024 (Juni 2024), penghargaan film animasi terbaik dalam Guadalajara International Film Festival 2024 (Juni 2024), dan penghargaan grand prize for feature animation dalam Ottawa International Animation Festival 2024 (September 2024). Selain itu, Flow mendapat nilai mentereng di laman skor film, seperti IMDb dengan nilai 8/10 dan 97 persen menurut situs Rotten Tomatoes.
Harus diakui bahwa Flow memang film animasi jempolan. Secara kualitas gambar, memang animasi karya keroyokan Dream Well Studio, Sacrebleu Productions, dan Take Five itu tak sejernih animasi Hollywood bikinan Disney, Pixar, atau Dreamworks. Buktinya, animasi kucing dan hewan-hewan lain dibuat seadanya. Bahkan, jika dilihat lebih teliti lagi, tak tampak helai rambut pada hewan-hewan itu.
Namun Flow menyuguhkan cerita yang sangat dalam. Gints Zilbalodis dan timnya mampu menampilkan gerak-gerik, emosi, dan naluri hewan-hewan yang begitu nyata. Untuk si kucing hitam, misalnya, para animator berhasil memasukkan semua gerak-gerik khas kucing asli ke wujud tokoh utama. Dari cara ia berjalan, tidur melingkar, mendengkur, penasaran mendekati hal baru, aneka gerakan ekor, sampai bersuara meong lirih tanda memohon sesuatu.
Selain itu, para animator Flow sukses membangun dunia yang nyaris realistis, megah, juga rasa cemas dari bencana bah. Ya, meski animasi, Flow menampilkan kengerian kedalaman air, seperti thalassophobia atau ketakutan luar biasa terhadap laut.
Bayangkan, ada beberapa kali adegan si kucing hitam tercebur ke dalam banjir yang begitu dalam. Betapa tidak, daratan yang sebelumnya bukit-bukit sudah tenggelam oleh air. Bisa dibayangkan betapa mengerikan dan gelapnya kedalaman air tersebut. Belum lagi ada sosok monster laut berbentuk paus, tapi dilengkapi sirip-sirip tajam yang ikut berenang di kedalaman air.
Pengambilan gambar yang nyaris melekat dengan si kucing hitam juga menyenangkan. Penonton seperti dibuat menempel dengan tokoh kucing hitam itu. Sebagai bayangan, para penonton seperti sedang mengikuti tokoh dalam game konsol atau game daring, atau disebut sudut perspektif pihak ketiga.
Ide Zilbalodis menghadirkan cerita bencana banjir besar tanpa penjelasan sebab-musabab cukup cemerlang. Walhasil, sutradara 30 tahun itu mempersilakan penonton menebak dan merangkai teori masing-masing tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia film Flow. Seperti Damar Riyanto dan ketiga kawannya yang berdebat tentang asal-muasal dunia banjir setelah menonton Flow di salah satu bioskop di Jakarta Selatan, Rabu, 20 November 2024.
Damar menduga manusia sudah ramai-ramai mengungsi menjelang banjir besar terjadi. Singkat kata, manusia sudah memprediksi tragedi besar nan mematikan itu. Sementara itu, Andien, kawan Damar, justru memprediksi manusia telah lama punah. Ia menduga banjir besar itu telah melalui proses bencana yang panjang hingga manusia tak mampu bertahan.
"Flow ini bisa jadi bahan diskusi menarik. Banyak teori yang bisa muncul. Semoga ada jawaban dari pembuat filmnya," kata Damar.
Pujian lain untuk Zilbalodis. Ia sukses menampilkan film animasi tanpa dialog sama sekali. Interaksi terjadi murni dari hubungan si kucing hitam, kapibara, anjing, lemur, burung sekretaris, dan hewan-hewan lain. Hebatnya, semua interaksi tersebut bisa dipahami dan menjadi tulang punggung penuturan cerita.
Bagi Zilbalodis, bercerita tanpa tutur kata bukan hal baru. Ya, ia pernah membuat film animasi bisu berjudul Away yang dirilis pada 2019. Film berdurasi 75 menit itu bercerita tentang perjalanan hidup nan panjang seorang pemuda.
Menurut dia, perilaku hewan-hewan jauh lebih menarik untuk diceritakan. Terlebih, hewan-hewan tersebut berperilaku layaknya hewan asli, bukan cerita kartun fiksi. Menurut dia, cerita hewan asli lebih mudah diterima penonton.
"Saya pun bisa lebih ekspresif membuat perilaku para hewan. Saya bisa menggunakan beragam alat visual," kata Zilbalodis, seperti dikutip dari IndieWire.
Zilbalodis mengatakan animasi tanpa dialog justru memacu dia untuk bisa membuat karya yang lebih sinematik daripada film pada umumnya. Sebagai contoh, ia bisa memanfaatkan pandangan kamera sebagai sarana untuk bercerita tentang sebuah karakter dan peristiwa yang dialami.
Selain melalui sudut pandang kamera, penuturan cerita bisa dilakukan lewat gerak-gerik dan suara hewan-hewan tersebut. Karena tak ada dialog, suara hewan-hewan diambil dari rekaman asli hewan. Bahkan gerakan animasi hewan-hewan itu disesuaikan dengan perilaku asli binatang tersebut.
"Bagaimana cara karakter (hewan-hewan) ini dibingkai, bagaimana cahaya menyinari mereka, serta bagaimana penyuntingan membantu kami memahami apa yang mereka katakan dan rasakan."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo