SEJUMLAH peta dan beberapa unggun gambar alam, orang, kota, dan desa Indonesia abad ke-17, 18, dan 19 -- semuanya sekitar 800 helai -- dipamerkan dari 9 hingga 17 Oktober di Edwin's Gallery, Jakarta. Galeri muda ini (2 tahun) mengejutkan dengan koleksi lain yang disimpan, semuanya sekitar 2.000 lembar. Gambar dan peta-peta Indonesia kuno itu bisa dinikmati -- dengan macam-macam cara dan kenikmatan. Anda mungkin mula-mula takjub mengetahui bahwa orang Eropa, khususnya Belanda, ternyata membuat begitu banyak gambar tentang begitu banyak hal (lihat Kompeni dan Seni Lukis). Anda mungkin merasa senang mengamati sebuah gambar, karena menjadi tahu bahwa dalam urusan dagang dengan orang Eropa, orang Cina atau Arablah yang I berperan, sedang pribumi memikul hasil bumi. Atau bahwa dalam pertemuan dengan pembesar pribumi, pembesar Belanda -- yang borjuis -- bertingkah seperti aristokrat: diiringi hamba sahaya membawa payung. Melihat gambar sebagai data sejarah punya keasyikan tersendiri. Juga persepsi orang Eropa zaman dulu tentang negeri dan orang kita bisa dinikmati. Siapa tak tersenyum melihat Sumatera tanpa Danau Toba dalam peta abad ke-18? Atau Kalimantan tanpa "kepala"? Mungkin agak keterlaluan jika tarian Jawa, oleh putri-putri, digambarkan seperti tari flamenco. Atau jika lelaki-perempuan pribumi digambar dengan proporsi, sikap, dan raut muka Eropa. Atau Keraton Solo mirip kelenteng atau bangunan Muangthai. Apakah para pelukis kurang cermat dan terlalu banyak berfantasi, seperti dituduhku para arkeolog kepada mereka yang menggambar patung dan relief candi? Tapi mungkin pula para pelukis sungguh setia kepada cerapan (persepsi) mereka. Hanya, seperti halnya dalam berpikir, dalam mencerap pun manusia menerapkan skema atau konsep yang sudah terbentuk. Tentu, gambar-gambar dan peta-peta itu dapat dinikmati karena kebagusannya. Buah tangan Charles William Meredith van de Velde, umpamanya. Dialah pelukis yang karyanya paling banyak dalam pameran ini. Ia membuat pemandangan kota (Ternate, Ampenan, Kupang, Makassar, Serang, Anyer), pemandangan desa dan alam, kehidupan rakyat. Warna-warna yang lembut dan garis-garis rinci yang halus menyebabkan gambarnya nyaman, mengasyikkan. Ia sebentar di Indonesia, antara 1838 dan 1841. Ernest Hardouin, pelukis Prancis yang tiba di Batavia sekitar 1840 dan meninggal di sini pada 1854, cukup banyak pekerjaannya yang bisa dilihat dalam pameran ini. Ia menggambar orang dari macam-macam bangsa atau suku bangsa (Cina, Arab, Jawa, Sunda) dalam pakaian khas masing-masing, macam-macam pekerjaan atau status (gundik, pembantu rumah, penari). Ia pandai menangkap proporsi dan sikap orang Indonesia. Gambar-gambarnya menampilkan sosok manusia seorang diri, dengan latar belakang pemandangan alam atau kampung. Dalam hal menangkap wanda (fisiognomi), sikap, dan air muka, tidak ada yang menandingi A. van Pers dalam Pangeran Jawa. Van Pers banyak bekerja untuk Natuurkundige Commissie. Dalam pameran ini, bukan perkara gampang mengetahui nama pelukis atau penggambar -- dan untuk sejumlah karya hal itu tidak mungkin. Tapi tentu tidak tepat memperlakukan gambar-gambar ini sebagai karya anonim, dan menempuh jalan termudah hanya dengan menyebutkan data buku atau penerbitan tempat gambar itu mulanya berasal. Meski hampir semua gambar, kecuali peta yang jumlahnya lima lembar, semula memang merupakan ilustrasi buku. Misalnya The History of Java karangan Raffles yang terkenal itu. Di samping sejumlah museum di Negeri Belanda telah mengoleksi lukisan para seniman Eropa di Indonesia abad-abad lalu juga sudah ada sejumlah ahli arsip dan sejarawan seni Belanda yang mempelajari dokumen VOC, surat waris, dan inventaris, untuk mendapatkan informasi tentang para seniman dan karya mereka zaman dulu di Indonesia dan negeri-negeri Timur lainnya. Bila koleksi M. Edwin Rahardjo, 35 tahun, dilengkapi informasi secukupnya, niscaya akan bertambah nilainya bagi banyak pihak. Kalangan seni rupa kita, misalnya, akan berterima kasih untuk itu. Mereka selama ini mengira rumus mooi Indie ("Indonesia molek") sudah cukup untuk menggantikan seluruh pengetahuan tentang seni lukis aman kolonial. Pemakaian sebutan "litografi" untuk pameran ini -- lihat uraian dalam bahasa Inggris dalam selipat (folder) -- juga terlalu longgar. Di kalangan seni rupa, tak terkecuali di lingkungan seniman dan pendidikan seni rupa kita, orang memakai istilah itu dengan pengertian terbatas. Tentu lebih mendidik jika kita dapat melatih penglihatan awam untuk mengenali mana hasil cetakan cukilan kayu, mana etsa, mana cetak batu ("lithos" berarti batu), dan lain-lain. Janganlah menyangka bahwa koleksi Edwin itu "litografi Indonesia". Gambar memang dibuat di Indonesia, tapi alih medium melalui proses litografi dilakukan di Eropa (Belanda dan Prancis) oleh ahlinya di sana. Nama si litograf pada umumnya tercantum juga pada hasilnya. Kita gembira ada galeri yang dengan semangat muda mengumpulkan karya grafis zaman kolonial. Untuk mengetahui keaslian karya ini tentu diperlukan keahlian tersendiri. Koleksi yang terpuji ini, tentunya, masih akan berkembang, termasuk kelengkapan informasinya. Orang mengharapkan agar galeri dapat menjalankan peran budaya lebih besar, di samping peran komersialnya. Dan memang, Edwin sendiri mengaku bahwa tujuan utama pameran yang baru pertama kali diselenggarakan ini, "Memasyarakatkan arti litografi sebagai karya seni yang mengandung nilai sejarah." Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini