Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kompeni dan seni lukis

Abad ke-17 adalah awal lukisan eropa memasuki istana-istana indonesia. voc memasukkan seni lukis dalam kerangka diplomasi. seni lukis diikutsertakan dalam upaya memperoleh hubungan baik, gengsi.

24 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kapal barang Belanda berlabuh di Batavia, 1637. Di antara muatannya terdapat sejumlah lukisan menggambarkan kapal, orang bugil, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, dan tokoh-tokoh Kitab Perjanjian Lama. Pemesan: para pembesar Nusantara, di antaranya Sultan Martapura. Abad ke-17 adalah awal lukisan Eropa memasuki istana-istana Indonesia. Menurut sebuah dokumen, Susuhunan Surakarta menerima kado lima lukisan. Kepada Sultan Palembang, Gubernur Jenderal J.P. Coen mempersembahkan lukisan pelabuhan Amsterdam, sedang kepada raja Bali lukisan kapal Belanda. Di Indonesia agaknya VOC tak sampai "meminjamkan" pelukis -- seperti yang dilakukannya kepada Syah Persia. Rupa-rupanya, VOC memasukkan seni lukis dalam kerangka diplomasi. Seni lukis diikutsertakan dalam upaya memperoleh hubungan baik, gengsi, dan pengaruh. Tidak heran, VOC dan seni lukis adalah lambang keunggulan negeri Belanda abad ke-17. Kekuatan laut yang tiada taranya. Seni lukls yang membubung bersama para pelukis Rembrandt, Frans Hals, Vermeer, Ruisdael, Jan Steen. Seni lukis juga mendapat pendukung pada kelas menengah yang luas, bahkan sampai lapisan sosial di bawahnya. Orang Inggris, Peter Mundy, mengunjungi Amsterdam pada 1640, tercengang melihat kegemaran penduduk -- termasuk tukang daging, tukang roti, pandai besi, tukang sepatu, dan sebagainya -- pada lukisan, dan melihat banyak yang pandai melukis. Mafhumlah kita, mengapa VOC mengangkut bukan saja lukisan ke Batavia, tetapi juga pelukis. Di Batavia para pelukis bisa melayani kebutuhan saudagar-saudagar kaya, khususnya elite VOC, akan lambang gengsi dan status. Setiap gubernur jenderal, misalnya, menginginkan potretnya terpasang di ruang sidang (raadzaal) kastil Batavia. VOC juga membutuhkan pelukis untuk keperluan eksplorasi dan dokumentasi. Terlebih sesudah berhasil merengkuh Melaka, Makassar, Cirebon, dan Banten, dalam paruh kedua abad ke-17. Dalam abad berikutnya, digiatkan kerja topografi dengan dokumentasi tentang pantai-pantai, benteng-benteng, dan rumah-rumah pedesaan. Untuk keperluan itu pula pelajaran menggambar diberikan di Sekolah Angkatan Laut (didirikan di Batavia 1743). Antara tahun kedua dan ketiga, para siswa harus berlayar menjelajahi Nusantara dan membawa pulang laporan, dilengkapi gambar pantai dan benteng yang mereka lihat. Dengan politik intervensi dan aneksasi, VOC melebarkan sayap kekuasaannya, antara lain ke Jawa Tengah. Segera VOC tertarik pada monumen-monumen Hindu, dan beberapa pelukis sibuk menggambar peninggalan sejarah itu. Belanda juga tertarik pada eksplorasi dan dokumentasi itu. Dan pada 1778, mendirikan Bataviaasch Genootschap voor Kunsten on Wettenschappen cikal-bakal Museum Nasional kita -- dengan tugas mempelajari Kepulauan Indonesia. Akhir abad ke-18 VOC bangkrut. Lalu dengan selingan kekuasaan Inggris, Indonesia berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Awal abad ke-19, penelitian dan dokumentasi tinggalan-tinggalan kuna di Jawa memasuki tahap sistematisasi. Beberapa pelukis jadi terkenal sehubungan dengan dokumentasi candi: Hermanus Christiaan Cornelius dan Hubertus Nicolaas Sieburgh (Prambanan), Frans Carel Wilson (Borobudur). Eksplorasi dipergiat. Casparus Georgius Reinwardt, bertugas membantu pemerintah dalam soal-soal pendidikan, pertanian, dan sejarah, menjelajahi kepulauan dan didampingi pelukis Belgia Antoine Auguste Joseph Payen serta pelukis Belanda Adrianus Johannus Bik dan Jannes Theodorus Bik. Mereka menggambar negeri dan rakyatnya, serta flora dan fauna. Reinwardt mendirikan Kebun Raya Bogor, 1817. Kegiatan komisi Reinwardt dilanjutkan oleh Natuurkundie Commissie. Di sini bekerja pelukis-pelukis yang juga berperan-serta dalam ekspedisi. Pelukis Pieter Van Oort dan G. van Raalten, misalnya, ikut dalam ekspedisi Salomon Muller ke Irian. Pelukis A. van Pers mendampingi Schwaner ke Kalimantan. Ternyata juga ada pelukis "bebas" di Indonesia, khususnya di Batavia. Pada akhir abad ke-18, akibat guncangan sosial dan politik, banyak pelukis meninggalkan Eropa dan mengembara ke Timur. Jumlah mereka bertambah di abad ke-19, sesudah ada kapal api. Seni lukis "bebas" juga berkembang. Payen, van Oort, dan Abraham Salm, misalnya, melukis pemandangan alam dengan cat minyak dan kanvas. Begitu pula Ernest Hardouin, pelukis Prancis yang meninggal di Batavia. Dan Jan Daniel Beynon, pelukis kelahiran Batavia yang sempat belajar di Koninklijk Academie di Amsterdam, dan yang di samping melukis potret dan alam benda, juga melukis pemandangan alam. Pasaran lukisan tumbuh, terutama di kota-kota: Bandung, Batavia, Semarang, Surabaya, Bogor, Malang. Menjelang akhir abad ke-19, organisasi seni di Eropa, seperti Arti et Amicitiae (Belanda) dan Art Union (Inggris) mempunyai 300 anggota di Hindia Belanda. Pada masa itu pula, di kalangan pimpinan Bataviaasch Genootschap timbul angan-angan membeli lukisan dari Paris, sebagian untuk dijual lagi, sebagian lagi untuk mendirikan museum seni di Batavia. Di abad ke-19 mulai terdapat pribumi terutama di lingkungan keluarga bupati yang tertarik kebudayaan Barat. Ada Panembahan Noto Kusumo (Sumenep) dan Raden Ajeng Kartini. Dan tentu saja: Raden Saleh. S.Y.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus