HAMPIR 60 tahun lalu, 10 orang pedagang kecil keturunan santri merencanakan mendirikan bank. Padahal, masa itu, dunia sedang dilanda depresi luar biasa hebat setelah Perang Dunia I. Zaman malaise, kata orang dagang. Zaman beras mahal, kata orang desa. Perdagangan tidak jalan, modal sulit dicari. Justru itulah yang mendorong ke-10 pedagang kecil itu untuk bersekutu. Sembllan dl antara mereka memandang bank itu semacam koperasi simpan pinjam. Hanya seorang yang memikirkan bank dalam arti sebenarnya, karena telah mendapat petunjuk dari Dokter Sutomo, yang mendirikan Bank Nasional Indonesia di Surabaya. Dan, Mohammad Hatta, seorang ahli ekonomi keluaran Rotterdam, malah mengejek ke-10 saudagar kecil itu dengan menggunakan alasan situasi ekonomi dunia dan teori perbankan yang semestinya. Entah karena pandir atau lantaran usaha yang terjepit akibat kekurangan modal, mereka jalan terus. Selain tumbuh di zaman depresi ekonomi dunia, bank itu pun dilanda tragedi sejarah Indonesia sejak masa pendudukan Jepang, serta deraan inflasi dan pukulan devaluasi yang datang berulang. Tapi, kini bank yang didirikan oleh 10 orang santri pedagang itu telah menghimpun 3.000 pemegang saham. Sehingga, Dirut Bank Duta Abdulgani mengkhayalkan, andai kata setiap pemegang saham dapat menarik lima nasabah mendepositokan uangnya, potensi bank itu akan luar biasa sekali. Bahkan menjadi sangat luar biasa bila dibandingkan dengan bank yang didirikan kaum cendekiawan yang tergabung dalam Indonesisch Studie Club di Surabaya, yang bubar pada zaman Jepang. Ada beberapa hal mendasar di antara anggota, hingga bank itu bisa hidup dan berkembang sampai saat ini. Antara lain, bagi mereka profesi pedagang atau pengusaha sama terhormatnya dengan ulama, karena Muhammad sebelum menjadi nabi juga pedagang. Mereka memandang keuntungan dan kekayaan yang diperoleh merupakan rahmat dari-Nya, karena itu mereka berusaha sebagaimana yang dikehendaki-Nya dan setia membayar zakat, sedekah, serta infak sebagai ibadat Bank berperan membantu kesulitan pengusaha kecil dalam mengembangkan usaha, dan mencegah anggota saling memakan dalam bersaing. Misalnya, tidak memberikan kredit besar kepada seseorang untuk membeli perusahaan kecil yang lagi sulit hidupnya. Malah yang sering dilakukan adalah bila yang mendapat kesulitan itu tidak bisa memperoleh kredit dari bank, temannya yang kuat membantu meminjamkan pada bank. Sebaliknya, pada saat-saat sulit setelah sanering pada masa akhir Orde Lama, para anggota ramai-ramai menyetorkan uang sebagai giro sehari atau dua hari agar bank dapat menutup kliring pada waktunya. Yang paling berperan dalam pengembangan bank ini ialah anggaran dasar bank yang dikonsep Bung Hatta, yang tidak mengenal istilah pemegang saham mayoritas berkuasa mutlak menetapkan kebijaksanaan bank. Setiap anggota, yang sekalipun punya banyak saham, hanya memiliki maksimum lima suara. Karena itu, direksi atau komisaris tidak dipilih berdasarkan banyak saham yang dimiliki, melainkan atas kepercayaan bahwa mereka mampu memelihara dan mengembangkan bank sesuai dengan anggaran dasar. Kepercayaan itu bersumber dari pengamatan sehari-hari para anggota terhadap tingkah laku direksi dan komisaris sebagai warga masyarakat yang saleh dan takwa kepada-Nya. Sehingga, pada setiap rapat pemilihan komisaris dan direksi, anggota dengan leluasa menyampaikan kritik, usulan, bahkan uneg-uneg yang pahit sekalipun, ke alamat pimpinan. Anggota memiliki sense of belonging. Bank itu adalah Bank Nasional, yang berpusat di Bukittinggi. Mungkin bank itu merupakan model dari sistem ekonomi koperasi sebagaimana dicita-citakan UUD 45, yang juga ikut dikonsep Bung Hatta, yang 15 tahun sebelumnya telah menyusun Anggaran Dasar Bank Nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini