Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Jokowi lahir dengan nama Mulyono.
Kebanyakan masyarakat Jawa bagian tengah dan timur meyakini ganti nama sebagai bagian dari penolak bala.
Praktik ganti nama perlahan memudar sejak 1970-an, seiring dengan pengadopsian nama kontemporer dan tertibnya pencatatan sipil.
MULYONO menjadi nama yang sering bergema dalam sepekan terakhir, seiring dengan munculnya demonstrasi kawal putusan MK pada Kamis, 22 Agustus 2024. Mulyono dipakai untuk mengganti penyebutan Jokowi dan sempat membingungkan banyak orang. Belakangan diketahui bahwa itu adalah nama lahir Presiden Joko Widodo. Widjiatno Notomihardjo dan Sudjitami mengganti nama anaknya itu lantaran sering sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat Jawa bagian tengah dan timur memegang keyakinan asmo kinaryo jopo, nama adalah doa. Karena itu, setiap orang tua memikirkan betul nama anaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sahid Teguh Widodo, guru besar etnolinguistik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, dalam penelitiannya pada 2014 menyebutkan orang tua punya banyak hitung-hitungan sebelum menyematkan nama bagi anak mereka. Dari melihat primbon untuk mendapatkan hari baik, mendiskusikannya dengan kerabat yang dituakan, sampai memperhitungkan latar belakang keluarga.
Nama bagi kebanyakan orang cenderung lebih sederhana. Misalnya, Poniyem yang merujuk hari kelahiran, Pon, atau Slamet yang berarti keselamatan.
Para orang tua tidak selalu memilih nama paling baik. Sebab, nama dengan makna yang terlalu bagus dianggap mengandung harapan yang kelewat muluk dan berbalik menjadi beban bagi si anak. Istilahnya, kabotan jeneng atau keberatan nama. Ujung-ujungnya, anak menjadi sering sakit. Jika begitu, orang tua mengganti nama anak mereka, seperti yang dilakukan kepada Jokowi saat bayi.
Ilustrasi anak-anak dalam budaya Jawa. Shutterstock
Prasetyo Adi Wisnu Wibowo, dosen sastra daerah Universitas Sebelas Maret, mengatakan praktik ganti nama dijalankan sebagian besar masyarakat, kecuali keluarga keraton dan kalangan ulama. Nama pengganti pun dipertimbangkan matang-matang. "Tetap mengandung makna dan doa yang baik," ujarnya kepada Tempo pada Senin, 26 Agustus 2024.
Proses ganti nama itu hanya bisa berlangsung pada hari-hari tertentu, yaitu setiap siklus 35 hari. "Misalnya, anak yang lahir pada hari Kliwon, 35 hari setelahnya, didoakan lewat bancakan," kata Bima Slamet Raharja, dosen Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Acara itu berupa doa bersama, lalu membagi-bagikan makanan ke orang-orang di sekitar rumah.
Meski ganti nama menjadi praktik umum, Bima menolak menyebutnya sebagai tradisi. "Itu adalah peristiwa karena tidak dialami semua orang. Biasanya hanya satu orang dalam sebuah keluarga," ucapnya. Praktik itu, ia melanjutkan, masih sering berlangsung hingga 1970-an, sebelum kebanyakan masyarakat Jawa mengadopsi nama-nama kekinian.
Ganti nama tidak hanya dikenakan pada bayi, tapi juga orang dewasa yang dikenal dengan nyukani jeneng tuwo atau mengganti nama tua. Hanya, alasannya bukan kesehatan, melainkan pernikahan. "Diberikan bagi kedua mempelai," kata Prasetyo. "Sebagai doa orang tua karena menganggap menantunya anak sendiri."
Berdasarkan pengamatannya, Prasetyo mengatakan nyukani jeneng tuwo tak lagi ditemui setelah 1980-an. Alasannya adalah kepatuhan pada aturan pencatatan sipil. Mereka yang masih menjalankannya harus menempuh proses administrasi ganti nama yang panjang dan merepotkan. Pada akhirnya, praktik ganti nama tua hanya dilakukan saat dibutuhkan. Misalnya ketika laki-laki menjadi sering sakit tak lama setelah menikah.
Meski kerap dianggap tak sejalan dengan nilai agama, Prasetyo menyebutkan prosesi ganti nama merupakan bentuk doa. Dalam menghadapi tantangan, termasuk penyakit, ia melanjutkan, manusia kerap kali bermunajat. "Bentuknya tak selalu ucapan, bisa juga lewat upacara," ujarnya. Ia mencontohkan, nasi tumpeng menjadi menu wajib dalam prosesi ganti nama. "Bentuk lancip tumpeng yang paling tinggi menyimbolkan permohonan yang ditujukan ke satu titik, yaitu Yang Maha Kuasa."
Ilustrasi nasi tumpeng dalam upacara bancakan ganti nama dalam budaya Jawa. Shutterstock
Karena prosesi ganti nama berlangsung saat bayi, banyak orang yang baru tahu nama lahir mereka saat dewasa. "Bapak saya bilang nama saya Nuraini," kata Kun Ma'rifah Cahya, 59 tahun. Warga Yogyakarta itu tidak tahu alasan penggantian nama tersebut.
Saat diberi tahu nama lahirnya, Kun sempat protes karena lebih menyukai nama lamanya yang berarti sumber cahaya. "Belakangan baru tahu arti nama saya yang sekarang juga bagus, yaitu menerangi bagai cahaya," ucapnya.
Sebagai bagian dari keluarga Jawa, Kun mengimbuhkan, ia harus pandai-pandai memahami makna setiap kalimat dari orang tuanya. Termasuk saat mereka memberi nasihat. "Karena orang Jawa sering pakai sanepo atau kiasan," tuturnya. "Begitu juga dengan pemberian nama."
Yudhia Nurbaiti, adik Kun, juga pernah bersalin nama. Eyang mereka mengatakan nama lahirnya adalah Yudhiawati. Namun, saat bayi, ia pernah terjatuh sampai tak bisa menggerakkan leher. "Lalu nama saya diganti," ujar perempuan 57 tahun tersebut. Keduanya tidak merasa direpotkan dengan proses ganti nama karena baru membuat akta kelahiran sekian tahun kemudian, saat hendak masuk sekolah.
Menurut Bima, pemilihan nama pengganti kerap juga didasari tren dan faktor estetika. Dia mencontohkan, penggantian nama Mulyono menjadi Joko Widodo pada 1961. "Nama Joko saat itu dianggap keren," katanya. Mulyono bermakna mulia, sementara Joko Widodo berarti laki-laki yang sejahtera.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo