LAZIMNYA, jika membahas ekonomi selalu mengacu hanya ke dua kutub: kapitalis dan sosialis. Sedangkan kalau membicarakan "Ekonomi Islam" orang malah sering bersyakwasangka. Padahal, Islam itu universal - bukan saja ibadat, juga, antara lain, mengatur kerja atau usaha, dan kreatif (lihat: Ulama dalam Ragam Pesona). Karena kerja itu bagian dari ibadat, lalu itulah yang dilihat dan dihayati Hidayat Nataatmaja. Namun, ada yang menganggap dia keterlaluan. Pensiunan Kepala Bidang Penyaluran Hasil Penelitian, Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Departemen Pertanian ini justru dibilang mencabik filsafat, teori dan praktek ekonomi - bahkan ilmu-ilmu lainnya, seperti fisika dan sosial. Sebaliknya, doktor ekonomi lulusan Universitas Hawaii itu makin mengkristal dengan pemikirannya. Ia teguh. "Saya menghargai usahanya. Dia memang berpikir keras untuk menuangkan konsep ekonomi Islam," kata Dr. Sri-Edi Swasono, yang kenal dekat dengan Hidayat. Menurut Swasono, dosen FE-UI, yang menyoroti filsafat ekonominya, dalam Islam itu banyak pokok pikiran yang cukup gamblang. Contohnya ada di Quran. Dalam surah An-Nahl (Lebah), ayat 13-14- bumi ini diciptakan Allah dan diperuntukkan untuk manusia. Dan, manusia di bumi ini adalah khalifah (wakil) Allah atas ciptaan-Nya, baik yang di langit maupun di bumi. Karena itu, sebagai das sollen, manusia memanfaatkan berdasarkan aturan-aturan dan hukum-hukum-Nya. Pada ayat lain, tutur Swasono, firman Allah menyatakan, manusia itu sama derajatnya di mata Allah - kecuali dibedakan menurut kadar imannya. "Maka, tidak boleh ada bentuk monopoli," katanya. Ia juga menyitir kembali kandungan surah Al Humazah (Pencela), ayat 2, yang pada dasarnya mengutuk manusia yang mengumpulkan harta, dan menghitunghitungnya. Memang ada di Kitab Suci itu yang mengakui hak milik pribadi, tetapi tanpa lepas dari dasar tauhid dan kekeluargaan - hingga sebuah pemilikan itu bukan mutlak. Murasa Sarkaniputra, doktor dari Universitas Gadjah Mada yang bikin disertasi tentang ekonomi pertanian model Islam, malah lebih kongkret. Staf Biro Perencanaan Setjen Departemen Pertanian itu mengatakan teori Islam yang paling cocok adalah zakat dan qiradh - bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengusaha dengan berbagi untung ruginya. "Ini solusi yang membangkitkan solidaritas sosial dan jiwa agama," katanya. Hidayat, 55 tahun, pun mengacu ke Quran sebagai pedoman sempurna. Bahasannya menjadi tegas karena ia berani menjelaskan dalam kurva-kurva, yang boleh saja mengejutkan para pakar ekonomi. Tapi ia bukan mengada-ada. Ia sadar, ajaran Islam itu merupakan wahyu Ilahi. Karena itu, ia tak seenak perut mengaitkannya, atau mencampur dengan pikiran yang terbatas. Itulah sebabnya mengapa ia menyebut pemikirannya itu sebagai konsep ekonomi humanistik. "Biar orang tidak alergi terhadap Islam," kata penulis sejumlah buku, antara lain Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik itu. Hidayat bertolak dari sifat "rakhman-rakhim " - sebagai inti etika Islam - dan menurunkan etika kreasi, yang oleh Max Weber disebut sebagai etika kerja. Bagi Hidayat, bukan pekerjaan itu yang penting, melainkan kreativitas dalam pekerjaan itu. Teori etika itu lalu dijadikan model dasar dalam peri laku manusia. Beda dengan teori kontemporer, yang berakar ke peri laku homo eonomious - binatang berakal yang mencari kepuasan konsumtif sebesar-besarnya bagi dirinya tanpa memperhatikan orang lain. "Itu konsep jahiliyah," kata Hidayat. Kalau juga memperhatikan orang lain, jelas ada pamrihnya, misalnya, dengan mengenakan doktrin bahwa konsumen itu raja. Jadi, bukan ikhlas. Sementara, kepuasan konsumtif tidak diukur langsung, melainkan dihitung dari tingkat konsumsinya. Padahal, menurut Hidayat, di balik kepuasan konsumtif itu ada kepu'asan kreatif. Kemudian, kreativitas itu ia interpretasikan dengan"cinta". Contoh: orang yang mencintai profesinya menjadi kreatif karena berkesempatan menciptakan sesuatu. Hanya dengan kesadaranlah, kepuasan konsumtif itu tak lebih sebagai kepuasan "antara" untuk mencapai kepuasan lebih tinggi, atau kepuasan kreatif. Hidayat menggambarkan kepuasan konsumtif itu dalam arti siap kreasi dengan asas kreasi optimal. Kandungan maknanya: "Bukan konsumsi sebanyak-banyaknya, melainkan secukupnya." Bila konsumsi itu ditingkatkan melebihi takaran perut, kata Hidayat, bukan siap kreasi yang diperoleh, melainkan mabuk kekenyangan atau lupa daratan. Padahal, Rasulullah, menurut Hadis, berpesan, "Berhentilah makan sebelum kenyang." Berdasarkan Hadis tersebut, kemudian Hidayat mengungkapkan kurva yang dibangun dari konsumsi dan kepuasan. Atau, disebut "daya guna" seperti lazim dalam teori ekonomi (lihat kurva). Yang muncul? Ada pembatasan antara halal, mubah, haram. Jabarannya begini: kalau makan sampai tingkat q-(max), berarti tambahan terakhir makanan itu tak ada gunanya. Dan bila melewati batas q-(max), itu sudah jadi haram, karena tingkat siap kreasi justru menurun (atau di tingkat itu mungkin teler). Kendati pada titik q-(max) itu tertinggi, maksimum, ini bukan berarti siap kreasi optimum - tambahan daya guna tertinggi terletak di situ. Pencapaian siap kreasi optimum, sebagaimana hukum menurunnya kenaikan daya pada tingkat konsumsi lebih tinggi, itu jika harga tambahan barang konsumtif sama dengan harga tambahan manfaatnya. Sehingga, batas halal dan mubah jadi tampak jelas: pada batas q-(op). Bukan baru sebatas itu saja Hidayat memperlihatkan kejernihan berpikirnya dengan landasan universal. Konsumsi dua komoditi, kurva produksi juga ia bahas. Bahkan teori investasi, mekanisme pasar, pasar modal, perbankan sudah ia cerna. Tapi konsep dan pemikirannya itu masih juga terganjal. Sayang, apalagi kini ia di posisi gayung tak bersambut. Suhardjo Hs., Ahmadie Thaha (Jakarta), Herry Mohammad (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini