Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Gong Kompetisi Telah Ditabuh

Festival Film Asia Pasifik ke-46 di Jakarta baru saja usai. Iklim kompetisi semakin ditajamkan dengan pengumuman nominasi pemenang yang untuk pertama kalinya dilakukan. Sebelumnya, ajang ini lebih mirip arisan dengan sebagian pemenang yang digilir. Kini dengan kehadiran film-film Iran, Taiwan, Korea, serta Thailand yang cemerlang, Indonesia harus semakin gigih mencari posisi di kawasan ini.

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagi ini, mereka akan terbang dengan sejumlah piala di dalam bagasi. Festival Film Asia Pasifik ke-46 telah usai. Karpet merah sudah digulung. Jakarta kembali dengan persoalan rutin: ekonomi yang ambruk, agenda demonstrasi, dan saling gontok di gedung parlemen. Sudahkah masyarakat Indonesia mengenal film-film bagus dari kawasan Asia Pasifik (paling tidak untuk mengimbangi film Hollywood sebagai makanan kita sehari-hari)? Ahem. Tentu saja belum. Kemeriahan yang terpancar disiarkan oleh Indosiar pada saat pembukaan festival ini—yang anehnya lebih banyak dibanjiri bintang sinetron daripada pemain film Indonesia—tak terasa di bioskop Plaza Senayan 3, tempat penayangan film peserta festival ini. Pekan silam, ketika panitia menayangkan sekitar 20 film pilihan dari 36 film yang berpartisipasi dalam festival ini, toh banyak kursi yang tak terisi. Bahkan film Bang Rajan karya Thanit Jitnukul dari Thailand, yang menjadi nomini film terbaik tahun ini, hanya ditonton 30 orang. Film The Child and the Soldier karya Sayyed Reza Nurkanmi, yang melejit di dalam festival ini, juga tak diserbu penonton. Festival ini memang sepi publikasi. Tak banyak orang yang mengetahui pemutaran film festival di Senayan, padahal tiket itu bisa didapatkan di sekretariat secara gratis. Sementara itu, penonton yang kebetulan berada di sinepleks tersebut dan ingin menonton film festival juga tak bisa masuk karena tak tersedia tiket yang dijual. Akibatnya, meski acara nominasi dan penyerahan penghargaan disiarkan secara langsung oleh Indosiar, festival ini tak terlalu bergaung di telinga publik. Sayang, karena sesungguhnya ada beberapa film bermutu yang hadir. Selain Bang Rajan, ada Friends karya Kwak, Kyung Taek dari Korea, juga The Child and the Soldier (Iran). Belum lagi film What Time is it There karya Tsai Ming Liang (Taiwan), seorang sutradara kelahiran Malaysia yang ber-migrasi ke Taiwan karena merasa teralienasi dan keluar sebagai pemenang film terbaik. Tak ketinggalan Pasir Berbisik karya Nan T. Achnas dari Indonesia yang bersaing cukup ketat dalam kategori film terbaik. Tentu saja negara yang memiliki tradisi perfilman kuat seperti Taiwan, Iran, Korea, dan Thailand mendominasi daftar nominasi lain. Yang menarik, Korea sebagai kekuatan baru perfilman Asia terlihat mulai unjuk taji. Indonesia meraih enam nomisasi, lima untuk Pasir Berbisik (film, sutradara, sinematografi, musik, dan tata suara terbaik), dan satu nominasi untuk Telegram (kategori aktris terbaik, Ayu Azhari); tetapi akhirnya keluar sebagai pemenang untuk tata suara; sinematografi terbaik untuk film Pasir Berbisik, serta Ayu Azhari yang keluar sebagai aktris terbaik dalam film Telegram. Sementara itu, dari 25 judul film lainnya seperti film Musa (Korea) yang kolosal, atau Shaolin Soccer (Hong Kong) yang superkocak, atau My Beautiful Days (Korea) yang meraih penghargaan khusus bagi sutradara baru. Memang, tak semua film peserta layak diberi pujian. ”Mutu film peserta tak merata, karena campur antara seni dan industri. Jadi seperti batik tulis dan batik cap yang dijadikan satu,” kata Garin Nugroho, sutradara Indonesia yang jadi juri tahun ini. Hulu persoalan, FFAP tak punya spesifikasi khusus seperti Festival Cannes—yang jadi ajang paling tepat untuk lomba film artistik dan personal. Aturan FFAP yang menyebut tiap negara boleh mengirim tiga film membuat kesan ”pemenuhan kuota” tak terhindarkan. Hadirnya film lokal Reinkarnasi—juga film yang tak layak festival dari negara lain seperti Tattoo Killer dari Thailand—memang sedikit banyak menyandera festival ini ke masa lalu. Lahir di Manila, Filipina, dengan nama Festival Film Asia (FFA) pada 1953, hajatan ini memang semula lebih diniatkan sebagai ajang perkenalan budaya. Salah satu pendiri adalah Run Run Shaw, produser legendaris dari Hong Kong. Anggotanya, asosiasi poduser di Asia, dengan hanya satu asosiasi dalam satu negara yang bisa menjadi anggota. Dengan tempat penyelenggaraan yang bergilir, diharapkan publik tuan rumah berkesempatan mencecap film Asia lain yang datang sebagai peserta. Suasana penuh rasa silaturahmi ini bermuara pada satu hal: tak ada kompetisi. Tak terlalu penting bila sebuah film bagus tak menjadi pemenang (atau bahkan tak ikut dilombakan, karena seleksi awal film peserta berdasarkan pilihan asosiasi produser di negara masing-masing). Penobatan film, sutradara, aktor, dan pendukung lain jadi pemenang tak ubahnya seperti arisan. Negara tuan rumah sering—meski tak selalu—menjadi penyabet penghargaan terbanyak. Mendiang Tanty Yosepha, misalnya, pernah meraih penghargaan aktris terbaik lewat akting sangat ”bersahaja” dalam film Setulus Hatimu, saat festival digelar di Jakarta pada 1975. Ketika FFA berubah nama jadi FFAP dengan total 17 negara sebagai anggota pada 1982, suasana kekeluargaan masih kental. Dato’ Jins Shamsudin, sutradara dari Malaysia yang juga Ketua Dewan Juri FFAP ke-46, punya cerita. Pekerja film yang sarat pengalaman sebagai juri dalam festival-festival sebelumnya ini menyebut rasa solider dan keinginan untuk mendorong perkembangan industri film di sebuah negara lebih dipentingkan ketimbang kompetisi yang ketat. Misalnya dalam satu tahun jumlah peserta minim, agar tahun depan jumlahnya tak menipis, penghargaan pun disebar rata. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tentu FFAP tak bisa lagi bertahan dengan format ”hura-hura” seperti itu. Sudah begitu banyak persaingan di kawasan tersebut. Ada Festival Film Tokyo yang mencari film Asia yang sangat bermutu, ada Festival Film Singapura yang juga luar biasa kompetitif, dan ada Festival Film Pusan yang cenderung memperhatikan sutradara baru dan muda di Asia. Jika FFAP tetap bersandar pada karakter awal, lama-kelamaan festival ini—seperti kata Garin Nugroho—akan sia-sia. ”Apa gunanya jika setiap tahun berputar antarnegara, dengan dukungan pemerintah dan institusi formal, jika cuma arisan? Karena kerja sama film antarnegara Asia juga tidak terjadi. Kerja sama pada level teknik dan keterampilan juga tidak pernah terjadi. Bahkan kerja sama marketing juga tidak pernah terjadi. Jadi, tiga nilai itu tidak didapat, festivalnya pun arisan. Buat apa?” Itulah sebabnya, berdasarkan berbagai pengalaman puluhan tahun, secara perlahan FFAP mulai memosisikan diri sebagai festival yang kompetitif. Iklim kompetisi ini juga diakui oleh Ketua Juri FFAP ke-46, Dato’ Jins Shamsudin (Malaysia), yang sudah lima kali berturut-turut menjadi juri dalam FFAP. Persaingan bisa dimulai karena film peserta yang bagus sudah cukup banyak. ”Kita lihat dari sinematografi saja, misalnya, film Asia sudah bisa bersaing dengan film Amerika dan Eropa,” kata Dato’ Jins. Memang, dalam dua tahun terakhir, film tuan rumah masih dinobatkan jadi yang terbaik. Doi Cat (Kehidupan di Kawasan Pasir) karya Nguyen Thanh Van dari Vietnam menang di Hanoi pada tahun 2000, sementara Nang Nak karya Nonzee Nimibutr dari Thailand menang di Bangkok pada 1999. Alasan kemenangan Doi Cat bisa dipertanggungjawabkan secara artistik. Buktinya, Doi Cat juga berhasil menyisihkan 21 nomini lain untuk meraih Special Prize pada International Film Festival di Amiens, Prancis, bulan November 2000. Doi Cat memang memikat. Film ini bercerita tentang sisa kegetiran perang yang membayangi satu pasangan yang hidup di kawasan berpasir di sebuah desa di Vietnam bagian tengah. Sementara itu, film Nang Nak memang harus diakui tak sedahsyat Doi Cat. Nang Nak adalah film horor yang dibuat berdasarkan kisah nyata. Kisah seram tentang seorang hantu wanita yang meneror warga sebuah desa ini sebetulnya sudah difilmkan hampir 20 kali, yang uniknya semuanya laris manis. Keunggulan Nang Nak yang menang dalam festival di Bangkok adalah gambar yang kuat. Film Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho, yang meraih penghargaan film terbaik dalam FFAP di Taiwan tahun 1998, menunjukkan sifat kompetitif FFAP yang menyegarkan. Soalnya, tak ada satu pun juri Indonesia yang terlibat. Ini sudah memperlihatkan obyektivitas pada mutu film. Tahun ini pun, meski ada dua film Indonesia yang kuat seperti Pasir Berbisik karya Nan T. Achnas dan Telegram karya Slamet Rahardjo, toh pemenang film terbaik adalah film What Time is it There karya Tsai Ming Liang (Taiwan). Melihat kecenderungan film peserta FFAP beberapa tahun terakhir, terlihat kini film dari kawasan ini memiliki pijakan kuat pada budaya lokal. Selera para juri FFAP ini tampaknya paralel dengan perkembangan industri film di Asia. Menurut sutradara Slamet Rahardjo Djarot, sineas Asia selama 10 tahun terakhir seperti menemukan ”kebenaran” dalam akar budaya mereka sendiri. Selain itu, yang tak kalah penting, ”eksostisme” Asia justru terbukti mampu menembus pasar film dunia. Contoh terkuat, apa lagi kalau bukan Crouching Tiger, Hidden Dragon karya Ang Lee, yang bukan saja mampu meraih empat Academy Award tahun ini, tapi juga menjala pemasukan US$ 124 juta (Rp 1,24 triliun) untuk peredaran di Amerika Utara saja. Pasar dunia memang jadi semacam mantra yang memikat. Masalahnya, pasar lokal sering tak bersahabat. Shun-Ching Chiu, produser dari Taiwan, menyebut film produksi negaranya yang menang di pelbagai festival dunia, seperti What Time is it There?, Millenium Mambo, dan A One and A Two, malah tak berhasil memikat publik sendiri. Penonton di Taiwan—seperti halnya penonton di belahan dunia lain—lebih tergiur melongok produksi Hollywood. Di sisi lain, perubahan sikap penjurian FFAP tampaknya juga tak bisa dilepaskan dari kondisi riil banyaknya festival internasional lain di kawasan ini yang mengepung. Sebut saja festival di Singapura, Tokyo, Hong Kong, Pusan, Jeonju, atau Puchon dengan karakternya masing-masing yang kuat. Karena FFAP tak punya kriteria khusus—juga hadiah konkret berupa uang—pilihannya memang tak bisa lain menobatkan film terbaik sebagai pemenang agar mutu festival bisa terjaga. Pengumuman nominasi calon pemenang yang dimulai tahun ini adal ah langkah yang bagus. Terlepas dari pembacaannya yang belepotan oleh para bintang sinetron Indonesia pada malam pembukaan, pengumuman ini adalah bentuk pertanggungjawaban dewan juri. Menurut Dato’ Jins, lima nomini film terbaik dipilih karena dianggap paling memenuhi persyaratan kaidah pembuatan film yang baik. ”Penjuriannya ketat, semua menonton dari awal sampai akhir. Kalau ada juri yang tertinggal, akan kita ulangi, karena kita ingin menilainya bersama-sama,” kata Dato’ Jins. Juri yang terdiri dari Dato’ Jins Shamsudin (Malaysia), Garin Nugroho, Rae Sita Supit, Leila S. Chudori (Indonesia), Byung Lock Min (Korea), Simon Liu (Taiwan), Manotham Theamtheabrat (Thailand), bekerja dengan pegangan ketat pada estetika dan merit film tanpa gangguan soal nasionalisme, apalagi soal ”arisan hadiah”. Harapan peningkatan mutu di FFAP memang baru masuk tahapan bertunas. Ada kelemahan serius lain di luar tak meratanya kualitas yang disebut Garin. Ia menganggap festival ini tak bermuara pada bentuk kerja sama film antarnegara Asia pada tataran teknis, keterampilan, ataupun pemasaran. Padahal, menurut Garin, sebetulnya festival ini memiliki peluang besar bila kerja sama semacam ini terjalin. Bukankah bisnis di antara ”keluarga Asia” ini bisa lebih menguntungkan? Yusi Avianto Pareanom, Arif A. Kuswardono, Gita W. Laksmini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus