Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mereka yang Berlaga dan Menghibur

Ada yang memberikan penyajian penuh perenungan seperti What Time is It There? (Taiwan) karya sutradara yang tengah melesat bak meteor, Tsai Ming-Liang. Ada pula karya yang lucu, menghibur, dan penuh efek spesial seperti Shaolin Soccer. Meski festival ini tak ramai diserbu penonton—tampaknya karena publikasi yang minim—kali ini film-film yang tampil sungguh kompetitif. Untung saja sebagian dari film ini akan diputar ulang di Jakarta International Film Festival pekan depan. Berikut ini adalah film pilihan majalah ini.

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banjir Darah di Padang Rumput Sebuah kisah kepahlawanan warga sebuah desa di Thailand pada abad ke-18 melawan penjajahan Burma. Kolosal dan penuh darah. Bang Rajan (Thailand) Sutradara : Thanit Jitnukul Penulis Skenario : Kongkait Komesiri dan Boontin Tuykaew Pemain : Jaran Ngamdee, Chumphorn Thepphithak Produksi : Bec Tero Entertainment, 2001 KILAT pedang, ayunan kapak, dan lesatan peluru berpesta di padang rumput dan hutan. Tubuh manusia bergelimpangan seperti pohon pisang kena tebas. Warna hijau daun pun kehilangan dominasi dan tergantikan merah darah. Film Bang Rajan karya Thanit Jitnukul dari Thailand ini nyaris tak menyisakan ruang di luar adegan keganasan. Setelah munculnya Braveheart (karya Mel Gibson) dan Saving Private Ryan (karya Steven Spielberg), tabu penggambaran realistis kebrutalan dalam film perang memang telah rontok. Bang Rajan ikut dalam aliran ini. Alkisah, pada 1767, Kerajaan Burma sedang berupaya melebarkan sayap. Siam, sebagai negara tetangga yang kaya hasil bumi, menjadi incaran utama. Laju agresi yang hampir mencapai Ibu Kota Ayudhaya tertahan di Bang Rajan, sebuah desa kecil. Ketika pemimpin desa Taen (Chumphorn Thepphithak) yang gaek cedera, ia melimpahkan wewenangnya kepada Chan (Jaran Ngamdee), laki-laki gagah berkumis melintang mirip tokoh Gatotkaca dalam pementasan wayang orang. Pergantian ini tak diterima mulus karena Chan bukan warga asli. Namun, perseteruan ini pupus karena mereka punya tujuan bersama: mengalahkan pasukan Burma. Tak ada kelokan berarti dalam plot Bang Rajan. Memang ada potongan kisah cinta, penolakan pemerintah pusat Ayudhaya untuk membantu warga desa, atau jagoan kapak yang selalu mabuk. Namun, sajian utama tetap saja adegan kekerasan dalam dosis besar. Karakter dalam film ini juga terlalu hitam-putih, dengan tentara Burma semuanya berwatak bengis serba keji. Pendekatan macam itu membuat Bang Rajan membuka luka lama saat dirilis di Thailand pada Maret 2001 lalu. Kebencian antarpuak ratusan tahun sempat tersulut lagi. Di perbatasan, saling tembak bahkan sempat terjadi. Bang Rajan memang bukan film biasa. Dibuat dengan biaya US$ 1,3 juta (sekitar Rp 13 miliar) atau empat kali rata-rata biaya produksi film Thailand lainnya, film ini berhasil mencetak pemasukan US$ 9 juta (sekitar Rp 90 miliar). Berkat film ini pula Thanit berhasil meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam festival film pan-Asia di Deauville, Prancis, Maret 2001 lalu. Sukses Bang Rajan juga membuat sebagian besar film terbaru, misalnya Moon Hunter dan Suriyothai, menerapkan formula yang serupa. Semula tontonan yang digemari di Negara Gajah Putih ini adalah opera sabun kacangan di televisi—beberapa di antaranya bisa kita tonton di stasiun televisi swasta di Tanah Air. Dalam bentuk layar lebar, film ini menjadi lebih serius. Dan kini kebrutalan ternyata lebih mempesona. Saat Shaolin dan Sepak Bola Berlaga Stephen Chow, yang disebut-sebut pemain laga komedi generasi setelah Jacky Chan, mengejutkan bioskop Asia dengan persembahannya yang baru. SHAOLIN SOCCER Sutradara : Stephen Chow Skenario : Stephen Chow Pemain : Stephen Chow, Lee Wai Produksi : Universe Entertainment dan The Star Overseas SEPAK BOLA dan Shaolin kungfu bercinta di telapak kaki Sing (Stephen Chow). Pemuda yang sehari-hari bekerja menggotong sampah ini percaya, Shaolin kungfu bisa menyelesaikan banyak soal di dunia, termasuk memenangi National Soccer Championship. Inilah pertandingan sepak bola bergengsi yang dikuasai—secara permainan ataupun organisasi—oleh Hung dan kesebelasan Evil Soccer Team. Sing dan pemain veteran Fung—yang selama ini adalah musuh Hung—kemudian bahu-membahu membentuk sebuah kesebelasan untuk melibas kesebelasan Evil yang dahsyat itu. Tetapi bagaimana mereka bisa mengalahkan kesebelasan itu dengan modal pemain si pencuci piring, pemulung, pemain saham, atau si gendut yang doyan makan? Shaolin kungfu adalah sebuah jalan keluar. Stephen Chow—yang sebelumnya mengagumkan penikmat film kungfu melalui seni makan dan kungfu dalam God of Cookery—kini meramu permainan sepak bola dengan kungfu dan koreografi yang luwes dari Ching Siu-Tung, yang menggunakan efek spesial kompugrafik. Bola tidak hanya bermain di sekitar ujung jempol dan paha, tetapi benda bulat itu bisa melayang dan melambung seenaknya sesuai dengan loncatan kungfu yang dahsyat. Kali ini lawan adalah sebuah bola yang menggelinding dan mengalir di udara, seolah dalam imajinasi kita terbentang berlapis-lapis jalan tol tempat bola menggelinding dan menari-nari dengan bebasnya. Cerita film ini sudah tak penting karena akhirnya mudah terduga. Kesebelasan underdog itu sudah pasti menang pertandingan. Cuma, bagaimana Shaolin kungfu itu melibas para pemain profesional? Itulah adegan yang lezat disantap mata. Bagi mereka yang siap melahap hiburan sembari tertawa rileks menikmati berondong jagung, inilah pilihan yang tepat untuk Anda. Sakura dalam Keheningan Film ini bermaksud mengangkat kemandirian seorang tunarungu, tapi terlalu berbunga-bunga. I Love Friends Sutradara/Skenario : Yutaka Osawa Pemain : Akiko Oshidari, Masato Hagiwara, Tomoko Fujita Produksi : Kobushi Production DALAM keheningan, Miki (Akiko Oshidari) hidup untuk kehidupan ini. Meski ditinggal mati muda oleh suaminya, yang meninggalkan sebatang kamera sebagai alat penyambung hidupnya dan sang anak, Yuta, Miki menghadapi semua kesulitan dengan elegan. Bersama kakak iparnya, Miki membuka kedai cuci cetak film. Dalam keheningan dan kesunyian, fotografer bisu tuli itu menyambangi setiap orang untuk dijepret di atas film negatif. I Love Friends merupakan film kedua Akiko Oshidari. Aktris tunarungu ini sebelumnya bermain dalam I Love You, juga garapan Yutaka Osawa. Gara-gara film itu, dalam sebuah festival film di Amerika Serikat dua tahun silam, Akiko, yang sehari-hari bekerja di program pendidikan NHK, dinobatkan sebagai aktris pendatang baru terbaik. Dalam film ini pun Akiko berakting tidak mengecewakan. Sebagai orang yang memiliki keterbatasan, lulusan Sekolah Tinggi Yokohama khusus tunarungu ini mampu menerjemahkan paparan Yutaka Osawa, yang pernah membesut film-film sosial—salah satunya Harukanaru Kôshien, yang berkisah tentang anak-anak korban tragedi Okinawa. Kelemahan dari film ini justru terletak pada jalinan ceritanya. Dengan durasi sekitar 111 menit, film ini sungguh manis dan berbunga dan terlalu banyak tema yang campur aduk. Ada arwah sang suami yang masih mengunjungi Miki dan putranya; ada Makoto, seorang pria yang menyandang trauma karena pernah menabrak seorang anak kecil hingga tewas; dan ada kisah Miki sendiri yang mencoba meniupkan napas optimisme kepada orang di sekelilingnya. Miki, yang ingin mengembalikan Makoto kepada rel hidupnya semula, merangkai perjalanan hidup Makoto. Miki mengabadikan berbagai pohon sakura yang ditanam Makoto. Pada saat itu pula kamera menambah panorama alam Kota Kyoto dengan teknik pengambilan gambar yang terasa mencolok. Bahkan beberapa gambar diulang-ulang. La, kok jadi begitu? Ternyata film ini dibiayai Pemerintah Daerah Kyoto. Pemda kota ini memang menyediakan dana hingga 100 juta yen untuk setiap film yang dibuat di Kyoto. Malah, kabarnya, sebelum memulai syutingnya pada Januari lalu, Pemda Kyoto mengundang 40 penduduk untuk ikut menentukan bagian kota yang masuk dalam agenda syuting. Ini patut disayangkan. Tema kemandirian Miki menjadi sirna. Seorang Pencuri dan Sinema Perjalanan Sekali lagi film Iran membuktikan bahwa persoalan dunia anak dapat menjadi sebuah film yang berkualitas. The Child and the Soldier Sutradara : Sayyed Reza Mir Karimi Skenario : Mohammad Reza Rad Pemain : Mehdi Latfi, Rayhallah Hasseini Seuntai kalung emas dalam genggaman erat jari-jari berkuku kotor itu. Mungkinkah dia membelinya untuk sang ibu, seperti yang diakuinya? Para polisi di polsek lebih percaya si anak kumal dekil itu mencurinya. Dia lebih tampak seperti seorang anak nakal yang baru saja kabur dari panti rehabilitasi. Maka film ini menjadi sebuah perjalanan mengantar sang anak (kembali) ke pintu gerbang panti rehabilitasi. Pedih? Setiap kisah tentang anak—seberapa pun bandelnya—akan menggerogoti hati. Anak, demikian tulis seorang pengamat film, menjadi sumber kekuatan para sineas Iran. Dari kacamata anak yang lugu, para sineas Iran mencoba berkelit dengan sensor politik, menggambarkan hitam pahit realitas sehari-hari. Hampir semua sutradara senior Iran, seperti Jaffar Panehi dan Abbas Kiraoustami, pernah membuat film dengan aktor utama seorang bocah. Hingga kini para sutradara muda Iran mengawali karirnya dengan film yang bertumpukan pengalaman seorang anak, seolah anak adalah latihan terbaik untuk menyelami wajah mereka sendiri. Tampaknya itulah yang ditempuh Sayyed Reza Mir Karimi, kelahiran 1966, dalam film debutnya, The Child and the Soldier (Koudak va Sabraz), yang menjadi bintang cemerlang dalam festival ini. Film ini berkisah tentang seorang anak pencuri bernama Mansoor Nazary. Aminpoor (Rayhallah Hasseini), seorang tentara muda di Khorassan yang tidak mendapat cuti di hari libur tahun baru, menerima perintah atasannya untuk mengantar Mansoor Nazary (Mehdi Latfi) ke Teheran, ibu kota Iran, dengan harapan bisa singgah ke rumah ibunya. Anak kecil 14 tahun itu dituduh mencuri kalung emas dan kabur dari panti rehabilitasi anak nakal di Teheran. ”Tidak, tidak, saya tidak mencuri,” kata Mansoor. Ia memakai celana panjang dan kemeja lengan panjang. Raut mukanya keras, bengal, tidak pernah tersenyum. Mukanya yang murung selalu meyakinkan kita bahwa ia memang tak bersalah. Aminpoor memborgol tangan Mansoor dan mereka berdua melakukan perjalanan dari Khorassan ke Teheran berganti-ganti naik bus atau truk. Film Amerika pada 1970-an pernah memiliki genre film perjalanan (road cinema), yang kemudian memberikan inspirasi pada sineas Jerman Wim Wenders. Salah satu karya awal Wenders, Kings of the Road, berkisah tentang reparator proyektor yang mengendarai truknya dari satu kota ke kota lain untuk mencari proyektor gedung bioskop yang rusak. Tanpa merujuk Wenders atau Amerika, agaknya Iran memiliki tradisi sendiri mengembangkan kisah perjalanan. Menurut para pengamat sastra, Iran sungguh bertaburan dengan narasi perjalanan. Sepanjang lebih dari 90 menit, Aminpoor dan Mansoor berjumpa dengan berbagai macam orang dari kendaraan satu ke kendaraan lain. Yang menarik, seperti kebanyakan film Iran, para pemain ini bukanlah aktor profesional—tapi memang masyarakat biasa—sehingga respons dan keheranan mereka begitu wajar melihat anak yang diborgol. Kecenderungan ”neorealis” gaya Italia ini memang sering digunakan hingga sineas Iran sering berhasil mendapatkan reaksi spontan yang wajar di hadapan kamera. Dari mengendarai bus, mereka ganti menumpang truk. Perjalanan dengan truk ini menimbulkan dialog hangat dengan sang sopir. Sayyed Reza fasih bercerita. Film mengalir dari satu perjumpaan ke perjumpaan lain. Meski tidak saling berhubungan, seolah semua kepingan itu memiliki satu kesatuan yang utuh. Rute truk melewati padang pasir yang berkelok-kelok, tapi kamera tidak berhasrat untuk mengeksplorasi relung-relung pasir yang indah. Demikian juga ketika keduanya singgah di masjid, rumah-rumah batu, dan desa-desa kering berdebu, yang secara visual menampilkan panorama Iran yang berbeda dan jauh dari eksotisme. Kamera terjaga tidak berusaha berkenes-kenes memaksakan estetika pemandangan. Yang terasa justru kekuatan sang sutradara menampilkan adegan bagai sebuah film dokumenter yang jujur. Itu terutama ketika sang tentara mengajak si bocah singgah ke rumah orang tuanya. Ia melepas borgol dan memperkenalkan Mansoor kepada keluarganya sebagai putra atasannya. Si bocah diterima sebagai bagian dari keluarga. Kehangatan keluarga terasa bisa sampai penonton. Remah-remah kebersahajaan keluarga seperti membaca Al-Quran, tradisi mencium Al-Quran, dan makan kecil-kecilan di antara reriungan keluarga menyambut tahun baru tidak menjadi sesuatu yang eksotis, melainkan kesederhanaan yang jujur. Kebahagiaan yang dipancarkan keluarga dusun itu terasa tidak dibuat-buat. Tanpa berelok-elok dengan gambar, film ini terasa mampu memunculkan kejujuran moral orang kecil. Untuk pertama kalinya Mansoor, yang sepanjang perjalaman lebih banyak diam, tertawa terbahak-bahak—menampakkan sederetan gigi putihnya—ketika menyaksikan sang tentara dikeramas adik perempuannya yang berjilbab lantaran busa-busa sabun di kepalanya sengaja tidak diguyur. Kamera tidak berusaha melebih-lebihkan. Semua terasa begitu spontan. Inti kisah ini adalah soal kejujuran dan kepercayaan. Bagaimana lambat-laun suatu kepercayaan dapat timbul akibat sebuah kejujuran. Toh, barang siapa mengharapkan akhir film ala Holywood akan kecewa. Setelah bersama-sama melalui perjalanan dan ketika sang tentara mulai bisa bersimpati kepada sang bocah, ternyata Mansoor mengaku memang telah mencuri. Dan kita pun terkecoh hampir sepanjang pertunjukan. Kamera menyorot pintu gerbang panti anak nakal di Teheran. Gerbang dibuka. Mansoor masuk. Penonton tak tahu apakah memang sebelumnya Mansoor adalah penghuni di situ. Tapi tatapan mata Mansoor seolah berkata itu adalah tempat yang dikenalnya sebagai sebuah ”rumah” yang tak nyaman dan menyesakkan dada. Sekali lagi, dengan anggaran tak menjulang, pemain amatir, dan tema sederhana, tapi dikerjakan dengan teknik penceritaan yang proporsional, pas, dengan daya sensibilitas pada kehidupan yang dalam, film Iran mampu membuktikan kualitasnya. Waktu, Cinta, dan Kepahitan Film terbaru karya sutradara kontroversial kelahiran Malaysia yang kini menetap di Taiwan. Fokusnya, seperti biasa, adalah keterasingan dan kepahitan akan rasa kehilangan. What Time is It There? Sutradara : Tsai Ming-Liang Skenario : Tsai Ming-Liang dan Yang Pi-Ying Pemain : Lee Kang-Sheng, Chen Siang-Chyi Produksi : Homegreen Films KEMATIAN menghentikan denyut kehidupan rumah itu. Ia telah mengubah seluruh kehidupan Hsiao Kang (Lee Kang-Sheng). Waktu menjadi relatif panjang dan keramaian menjadi petunjuk kesepian dan alienasi. Sejak kematian ayahnya, Hsiao Kang bahkan tak mampu keluar dari kamarnya pada malam hari karena merasa arwah ayahnya masih menyangkut di mana-mana. Sementara itu, sang ibu dengan begitu obsesif ”menghidupkan” kembali kenangan sang suami dengan tetap menyediakan makanan untuk suaminya dan ”bercinta” (baca: bermasturbasi) dengan bayang-bayang mendiang suaminya. Sutradara Tsai Ming-Liang kembali menampilkan karya yang mengusik yang sungguh tak nyaman. Setelah filmnya yang menggegerkan, The River—tentang hubungan inses homoseksual antara ayah dan putranya—Tsai Ming-Liang mempertanyakan seberapa besarkah relativitas waktu dalam hidup. Hsiao Kang bertemu dengan seorang gadis (Chen Shiang-Chyi) yang membeli jam tangan darinya untuk dibawa ke Paris. Sejak saat itu, Hsiao Kang secara membabi-buta memutar semua jam di Taipei sesuai dengan waktu Paris, sementara sang gadis bergelut dengan keasingan di kemegahan Kota Paris sembari bereksperimen dengan sebuah hubungan sejenis. Lahir di Malaysia pada 1957, Tsai Ming-Liang memutuskan untuk bermigrasi ke Taipei karena rasa keterasingan atau alienasi yang kemudian sering menjadi tema utama dalam filmnya. Sejak debutnya, Rebels of the Neon God, Tsai Ming-Liang telah memaksa penikmat film artistik menoleh kepada gebrakannya. Vive L’Amour, yang diproduksi oleh Hu Li-Kong—produser terkemuka yang selama ini memproduksi film-film Ang Lee—semakin memperlihatkan kecenderungan Tsai Ming-Liang yang sangat menekankan mood film berdasarkan tata cahaya dan ritme gerak kamera. Seperti film The Hole (1998) dan The River (1999) yang menggegerkan itu, ritme film What Time is It There mengirim rasa bahwa hidup tampak lamban seperti perpindahan jam dari detik ke detik. Tata cahaya yang redup, dialog yang minim, dan dominasi bahasa tubuh, yang merupakan kekhasan film Tsai Ming-Liang—yang akan ditayangkan kembali dalam Jakarta International Film Festival pekan depan ini—lebih akrab bagi penonton film-film Truffaut. Tsai, dalam keheningan dan kepahitan, menampilkan karya yang paling menyayat dalam festival ini. Saat Persahabatan Diuji Sebuah film tentang persahabatan dan darah yang batasnya setipis sehelai rambut. Melihat film ini, Korea tampak memiliki masa depan yang cerah dalam perfilman internasional. FRIENDS (CHINGU)Korea Sutradara : Kwak, Kyung-taek Skenario : Kwak, Kyung-taek Pemain : Yoo, Oh-seong Produksi : Jang, Dong-gun PUSAN di tahun 1976. Di bawah cahaya matahari yang menjilat-jilat kulit, empat sekawan berenang-renang ke tengah lautan. Empat lelaki kecil itu, di usianya yang 13 tahun, menggelantung dengan ban mobil sembari membicarakan tubuh perempuan (”Apa itu menstruasi? Bagaimana bentuk vagina?”), bertukar majalah porno, dengan mulut menganga memperhatikan adegan ranjang di video sembari menahan lonjakan hormon di masa pertumbuhan. Dong-su, Joon-suk, Sang-taek, dan Joong-ho adalah empat sekawan di sebuah distrik di Pusan yang menikmati masa kecilnya yang normal seperti anak lelaki lain. Latar belakang keluarga mereka yang berbeda tak menjadi soal. Dong-su adalah putra seorang pengurus jenazah, Joon-suk putra kepala mafia di kawasan itu, Sang-taek anak dari keluarga biasa yang rajin sekolah dan menjadi panutan teman-teman sekelasnya, sementara Joong-ho adalah ”badut” dari keempat geng yang paling banyak bicara. Tapi sejak kecil sudah terlihat bahwa Joon-suk, yang dibesarkan di kalangan mafia, menjadi pelindung kelompok itu. Tujuh tahun kemudian, persahabatan mereka tak pupus dimakan waktu. Meski Sang-taek dan Joong-ho sudah diterima di universitas ternama di kotanya, sementara Dong-su dan Joon-suk sudah menjadi jagoan di kota itu, mereka toh tetap mementingkan persahabatan itu. Perkawanan itu mulai mendapat tantangan setelah Dong-su bergabung dengan kelompok mafia lain dan ditugasi membunuh sahabatnya sendiri, yang menjadi kepala mafia yang ditakuti di kawasan itu. Sekilas, paruh awal film ini mengingatkan kita pada suksesnya film Sleepers, yang menampilkan persahabatan empat anak lelaki. Namun paruh kedua film ini berubah menjadi persaingan kedua tokoh utama gangster yang tertantang oleh soal kesetiaan: setia pada persahabatan atau pada kelompok mafia yang membesarkannya? Sutradara Kwak, Kyung-taek menyajikan sebuah pertanyaan moral di dalam dunia mafia yang memiliki ukuran dan aturan mainnya sendiri. Kesetiaan kepada kelompok—apa pun dan bagaimanapun caranya—adalah di atas segala-galanya. Kawan atau keluarga bisa saja diterabas demi menjaga kerahasiaan. Menebas leher dan menggorok jantung adalah pekerjaan kacangan yang dengan enteng dilakukan demi persatuan. Bahkan Sang-taek dan Joong-ho, dua sahabat di luar lingkaran mafia itu, tak akan bisa memahami dunia sahabatnya. Di antara film-film yang disajikan dalam festival ini, Friends luar biasa menonjol tidak hanya karena penggarapan yang serius atas setiap karakter, tetapi juga efektivitas kamera merekam banjir darah yang meneror jiwa. Menyaksikan karyanya yang kedua ini, sutradara Kwak, Kyung-taek jelas memiliki masa depan gemilang di antara para sutradara papan atas internasional. Di Gujo, Mereka Melawan Sebuah film di periode Edo yang mempertanyakan keadilan. Tema yang orisinal karena mempermasalahkan kenaikan pajak yang gila-gilaan. Riot in Gujo Sutradara : Seijiro Koyama Skenario : Nobuyo Kato dan Seijiro Koyama Pemain : Naoto Ogata, Hiromi Iwasaki Produksi : Koyama Production. NUN di sebuah abad, para petani mempertanyakan keadilan. Abad itu disebut sebagai periode Edo (yang belakangan disebut Tokyo) dan petani itu mengguncang Gujo karena hasrat mempertanyakan hak. Syahdan di masa itu, para petani yang sudah didera kewajiban membayar pajak mendapatkan pengumuman yang mengejutkan. Gara-gara utang salah satu pejabat, Kanamori Yoshikane, yang men-dapat getah untuk pengumpulan dana adalah para petani dalam bentuk kenaikan pajak. Tentu saja ini keputusan gila. Maka para petani bersetuju mengeluarkan petisi yang menentang kenaikan pajak itu. Untuk menyelenggarakan sebuah demonstrasi menentang pejabat tinggi di abad itu, tentu dibutuhkan keberanian tingkat tinggi. Tekad itu semakin keras dan liat ketika para petani itu ditangkap, disiksa, dan dikembalikan ke dalam kandang bak binatang. Toh, petisi tetap meluncur. Isinya tetap sama: menentang kenaikan pajak. Para pejabat tak tahan menahan kesumat. Para pemimpin petani dipenggal dan sejumlah kepala dipajang di balai desa. Inilah film yang paling mencekam dengan penggarapan tata artistik yang dahsyat. Gambaran Gujo sebagai sebuah desa yang tenang tapi liat dan keras tersaji tak hanya melalui karakter para pemainnya yang matang, tapi juga melalui berbagai bahasa gambar. Petani Gujo digambarkan sebagai kumpulan petani yang hidup komunal dan menjadikan problem warganya sebagai problem seluruh desa, sehingga pemberontakan para pemimpinnya kontan dianggap sebagai perjuangan para pahlawan. Karena film ini menampilkan kekuatan komunal, para aktor dan aktrisnya cenderung membaur dan tak ada yang menonjol. Perlawanan, dalam film ini, tidak dimenangkan secara fisik. Harga diri dan keberanian untuk memburu keadilan sudah menjadi sebuah kemenangan yang lebih abadi. Darah untuk Sang Putri Jelita Sebuah kolaborasi kolosal antarnegara Asia yang menghasilkan sebuah film hiburan yang digarap dengan serius. MUSA (Korea) Sutradara : Kim, Sung-su Skenario : Kim, Sung-su Pemain : Zhang Zi-Yi, Ahn Sung-Gi, Jung Woo-Sung Produksi : Siclus Corp Di gurun yang tak bertepi, rombongan utusan diplomatik Koryo itu seolah tanpa tuan. Sedianya mereka diutus Kerajaan Korea untuk misi perdamaian dengan dinasti Ming, yang baru saja bertakhta di Cina pada 1375. Namun, para petinggi Ming, yang masih sibuk berseteru dengan keturunan dinasti Yuan, mencurigai delegasi ini dan menyangka mereka adalah mata-mata dinasti Yuan. Mereka diusir ke tengah gurun dengan kawalan serdadu Ming. Di perjalanan itu, tentara Yuan menghajar tentara Ming dan membiarkan delegasi Korea itu memilih jalannya sendiri. Pemimpin rombongan, Jenderal Choi Jung (Jin Mo), memutuskan untuk melalui gurun itu kembali ke tanah air, meski misi mereka untuk bertemu dinasti Ming sudah gagal. Seluruh cerita ini adalah kisah gerunjal-gerunjal yang mereka alami untuk kembali ke Korea di antara permusuhan dinasti Ming dan dinasti Yuan yang membabi buta. Apalagi, sang putri dinasti Ming yang jelita, Furong (Zhang Zi-Yi, aktris yang dikenal di Indonesia melalui film Crouching Tiger, Hidden Dragon), menjadi persoalan besar. Dia diculik rombongan perwira Yuan. Kelompok Korea, yang terdiri dari Jenderal Choi Jun dan beberapa perwira, termasuk budak ganteng berambut gondrong Yeosol (Jung Woo-sung), tampaknya setuju membantu sang bidadari jelita dari cengkeraman begundal Yuan. Maka, perjuangan kembali ke tanah air berubah menjadi perjuangan merebut hati sang putri. Sang putri menyadari kekuatan kecantikannya itu. Dia mengibaskan seluruh auranya, memerintahkan mereka mengembalikan pada kerajaan Ming, meski puluhan perwira Korea harus mampus di tangan jagoan Yuan. Inilah film kolosal yang melibatkan ribuan pemain, dengan adegan peperangan yang dahsyat, sinematografi yang gesit, yang menyajikan adegan-adegan berdarah—tombak Yeosol yang menerabas setiap kepala tentara Yuan dengan gerak koreografi yang terjaga estetikanya—yang akhirnya menyisakan satu pertanyaan: benarkah seluruh darah ini tertumpah hanya karena sang putri yang jelita? Jung Woo-Sung bermain simpatik. Si budak, yang lebih sering membisu, lebih banyak ”menari” dengan tombak dan berakting dengan sorotan mata yang tajam dan memabukkan. Zhang Zi-Yi lebih tampak seperti putri cantik yang manja, menjengkelkan, dan tak berbeda dengan aktingnya dalam film sebelumnya, Crouching Tiger, Hidden Dragon. Sebetulnya, yang layak dipujikan dari film ini, selain dari sinematografi dan tata artistiknya, juga adalah kemampuan kolaborasi antarnegara Asia dalam produksinya. Film ini melibatkan pemain Cina dan Korea; musisi Jepang dan sutradara Korea. Eksotisme Homoseksual ala Hsu Sebuah film yang menggambarkan kehidupan hubungan homoseksual di balik panggung Opera Kun Cina. Ide cerita dan musik yang bagus, sayang berakhir melodramatik. Fleeing by Nºight Sutradara : Li Kong Hsu dan Chi Yin Skenario : Hui-ling Wang dan Ming-xia Wang Pemain : Lei Huang, Chao-te Yin Produksi : Zoom Hunt International Productions APAKAH gerangan yang terjadi di balik layar Opera Kun itu? Sebuah percintaan? Penindasan? Atau keperihan? Setelah Chen Kaige menampilkan kisah kolosal opera Cina Farewell to My Concubine, kini giliran Li Kong Hsu, sutradara Taiwan—yang dikenal juga sebagai produser Crouching Tiger Hidden Dragon karya Ang Lee—menggarap percintaan dengan latar Opera Kun, sebuah tradisi besar opera Cina lain. Namun, kali ini Hsu lebih memfokuskan diri pada seputar hubungan homoseksualitas di balik panggung yang melibatkan penindasan dan percintaan yang terlarang. Erotisme di balik panggung teater Timur selalu menjadi perhatian sarjana kebudayaan. Memang tak banyak yang membuka tabu homoseksualitas. Toh, dalam kesenian tradisional teater Timur, seperti halnya di Indonesia—reog Ponorogo atau tari spiritual bissu Bugis—hubungan antarmanusia semacam itu pun telah hidup sejak dulu. Hsu tidak ingin menukik secara antropologis. Ia hanya seorang tukang cerita. Kisah dilokasikan di Tianjin pada 1930-an. Shaodung (Lei Huang), seorang anak muda yang baru pulang dari sekolah perbankan di Amerika—dan di waktu selangnya lebih sering bermain selo—baru saja bertemu dengan tunangannya, putri pemilik gedung Opera Kun. Mereka menyaksikan pertunjukan berjudul Ye Ben (Fleeing by Night). Shaodung terpikat pada keperihan cerita yang dibawakan sang aktor utama, Lin Chung (Chao-te Yin). Kamera secara repetitif merekam adegan monolog Lin Chung tatkala sosok berahang keras, bersorot mata dingin, dan pendiam itu mengalunkan bait-bait puisi pedih. Ternyata sosok Lin Chung tidak hanya mengikat hati Shaodung, tapi juga menawan hati Ing’er (Rene Liu), tunangannya sendiri. Lin Chung juga telah membuat Huang, ”konglomerat” setempat, mabuk kepayang. Shaodung, yang sering mengunjungi Lin Chung, membuat Huang cemburu. Di suatu malam, sepulang bercengkerama di luar dengan Shaodung, Lin Chung disiksa sang sutradara teaternya, yang lebih suka dia menyerahkan diri kepada sang konglomerat. Li Kong Hsu lantas mengolah kompleksitas percintaan tiga lelaki dan seorang wanita. Ia ingin penonton merasakan nuansa-nuansa aneh di antara mereka. Penonton disuguhi gambar adegan persetubuhan antara Huang dan Lin Chung, rasa gamang pada diri Shaodung antara menolak dan mengakui adanya naluri homoseksualitas dalam dirinya, dan kebimbangan Ing’er ketika menyadari ada suatu hubungan aneh antara kekasihnya dan sang aktor panggung. Seluruh lanskap adegan dan musik ditata untuk mendukung perasaan hampa Shaodung. Bunyi simbal plus intonasi lengkingan suara khas aktor-aktor opera Cina, panorama tembok Cina, butir-butir salju, dan gesekan selo yang dimainkan Shaodung itu ditampilkan ngungun. Hsu menjaga agar kehampaan itu menjadi puitis, liris. Indah tapi tertib dan tidak liar. Shaodung akhirnya kembali ke Amerika menjadi pemain selo profesional. Adapun Lin Chung kemudian hidup dalam pe-larian karena membunuh sutradara teaternya, yang terbukti memerkosa para siswanya. Pendekatan Hsu dalam mengeksplorasi nuansa-nuansa hubungan seksualitas dalam film ini berbeda dengan pendekatan Deepta Mehta, sutradara perempuan India yang pernah menampilkan persoalan lesbianisme di India dalam filmnya Fire. Dalam Fire—yang ditayangkan di Teater Utan Kayu setahun silam—adegan lesbianisme Mehta dipicu oleh alasan sosial, yaitu betapa direndahkannya kedudukan para istri di India. Sementara itu, kita tidak tahu alasan ”erotisme” homoseksual dalam film Hsu ini. Apakah ini disebabkan oleh insting semata atau memang ada suatu tradisi panjang yang tersembunyi? Kita tidak tahu, misalnya, mengapa Lin Chung akhirnya tetap merawat Huang sampai mati. Saat Jepang menguasai Tianjin, Huang jatuh miskin. Adegan Lin Chung menyisir rambut Huang yang panjang terjuntai basah ke sebuah baskom ditampilkan lamat-lamat. Homoseksualitas dalam berbagai adegan ini terkesan bukan untuk efek erotis, melainkan eksotis. Dan Hsu seperti kesulitan mencari akhir cerita. Lin Chung berusaha menyusul Shaodung ke Amerika, tapi—alangkah tragisnya—ia tertangkap sebagai imigran gelap dan mati di rumah sakit. Shaodung tua kemudian digambarkan berdiri di atas buritan di dek kapal, menatap lautan, dan merenungkan kepahitan cintanya. Sebuah kesedihan yang dilarut-larutkan dan membuat film Hsu jatuh jadi melodramatik. Irfan Budiman, Seno Joko Suyono, Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus