Komaruddin Hidayat *)
*) Staf pengajar Universitas Paramadina
DALAM berbagai literatur Barat, kata ideologi memiliki konotasi negatif karena ideologi, berbeda dari sains dan filsafat, pendekatannya cenderung emosional, menyederhanakan persoalan, cara pandangnya hitam-putih, eksklusif, dan meniscayakan adanya lawan. Karena itu, penyebaran sebuah ideologi selalu mengandalkan kekuatan retorika untuk menarik simpati massa dan kemudian dihadirkan sosok musuh bersama yang harus dilawan. Ibarat oksigen, tanpa hadirnya musuh bersama, sebuah ideologi akan lemas.
Sebaliknya, dalam literatur yang beredar di Indonesia, kata ideologi memiliki konotasi positif, terutama ketika ideologi itu dibangun berdasarkan agama. Ideologi adalah sebuah cita-cita sosial yang dilandasi nilai-nilai suci keagamaan, sehingga mampu menggerakkan para pendukungnya untuk rela berkorban harta, tenaga, dan jiwa yang kemudian disublimasikan dengan simbol jihad, berjuang di jalan Tuhan dan atas nama Tuhan. Ketika ajaran agama yang pada mulanya merupakan wahyu ilahi telah memperoleh kemasan ideologi, di dalamnya hadir pula berbagai ragam pemahaman, unsur kebudayaan, dan kepentingan kelompok. Yang terjadi kemudian, bisa saja muatan agama yang memancarkan kasih dan pencerahan hidup lalu tergeser oleh artikulasi, kepentingan, dan gemuruh retorika politik yang menakutkan.
Sesungguhnya, ideologi apa pun, baik yang berdasarkan paham keagamaan, kebangsaan, kelas, maupun suku, memiliki ciri yang hampir sama, sebagaimana yang disebut di atas, yaitu cenderung melihat persoalan secara hitam-putih, lawan-kawan, lebih mengedepankan emosi ketimbang analisis rasional, dan meniscayakan adanya ancaman dari luar. Negara-negara besar yang menyatakan diri telah modern pun acap kali terjatuh pada jebakan ideologis, termasuk Amerika Serikat.
Pasca-Perang Dunia II, kebangkitan ideologi kebangsaan di negara-negara bekas penjajahan memang terlihat sangat mencolok. Di Indonesia, ideologi kebangsaan ini bersimbiose dengan ideologi keagamaan (Islam). Jadi, menghadapi negara Barat yang lebih unggul dalam aspek senjata dan ekonomi, senjata yang diandalkan oleh Dunia Ketiga adalah kekuatan ideologi kebangsaan dan keagamaan. Fenomena ini sekarang mengemuka secara telanjang ketika pejuang Afganistan dan para pendukungnya menyatakan siap berjihad menghadapi serangan Amerika Serikat dengan peralatan militer dan jaringan ekonomi serta politik yang sangat canggih. Secara karikatural, perbedaan antara keduanya memang tampak mencolok. Yang satu mengandalkan keyakinan agama dan berbasis di lereng-lereng gunung, sementara yang lain mengandalkan kekuatan pesawat yang beroperasi di udara. GeorgeW. Bush mungkin didorong oleh tekad untuk membela harga diri bangsanya, sedangkan pejuang Afganistan berjihad untuk membela kehormatan dan keyakinan agamanya.
Pada saat dan peristiwa tertentu, gerakan ideologi keagamaan memang sangat diperlukan karena bisa mengerahkan kekuatan massa pendukungnya secara militan untuk menghadapi lawan. Tetapi yang jadi pertanyaan, relevankah saat ini mengedepankan sentimen dan kekuatan ideologis untuk mengatur tatanan dunia global yang semakin pluralistik dan saling tergantung ini? Beberapa pakar ilmu sosial mengatakan bahwa masa kejayaan ideologi sudah berlalu. Yang diperlukan oleh masyarakat dunia adalah sebuah etika global yang dibangun dan dijaga secara terus-menerus melalui dialog kebudayaan, sharing of power and knowledge antarbangsa, dan bersama-sama menyadari bahwa kekerasan, perusakan lingkungan, peperangan, dan penindasan antarsesama warga dunia adalah sebuah kejahatan kosmis dan kemanusiaan yang mengancam masa depan manusia dan kelestarian bumi. Paham keagamaan dan kebangsaan yang mengental dalam sebuah gerakan ideologis yang agresif dan ekspansif, pada urutannya hanya akan menghancurkan peradaban dan martabat manusia, juga keluhuran agama sebagaimana telah disajikan secara gamblang pada abad lalu.
Di balik prestasi sains dan teknologi serta advokasi kemanusiaan yang ditawarkan oleh gerakan demokratisasi serta hak asasi manusia, kita melihat berbagai ironi dan paradoks peradaban, yaitu munculnya fenomena global tribalism pada skala dunia dan radikalisme etnis pada skala nasional. Yang pertama bergerak dengan baju transnasionalisme ekonomi yang pada urutannya berubah menjadi kekuatan antinasioanalisme. Tribalisme global ini telah merobek rajutan mozaik peradaban dunia bersamaan dengan munculnya radikalisme etnis dan gerakan ideologi keagamaan, sehingga keresahan sosial juga ikut mengglobal. Janji-janji surga yang ditawarkan oleh ideologi dan agama besar dunia untuk melahirkan tatanan dunia yang damai dan sejahtera semakin diragukan validitasnya. Arogansi Gedung Putih yang merasa dirinya sebagai the center of the world telah mengecilkan suara-suara yang berbeda. Seruan hati untuk berbagi kasih dan rasa damai di antara kita tenggelam oleh hiruk-pikuk teriakan para demonstran yang dipicu oleh provokasi duet George W. Bush-Tony Blair.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini