FESTIVAL film Ujung Pandang telah berlalu, tapi ekornya masih
terus membelit hingga kini. Yang mula-mula jadi soal adalah
putusan juri atas diri Kaharudin Syah yang menyebabkan pemain
utama film Letnan Harahap memperoleh piala Citra. Tapi serta
hari-hari berlalu, muncul pula kenyataan bahwa dua pemain cilik
yang mendapat piala khusus -- Amalia dan Supit -- ternyata juga
tidak mengisi suara sendiri, yakni persoalan yang sama yang
menyebabkan kemenangan Kaharudin Syah mendapat protes.
Protes di hari-hari pertama diselesaikan lewat musyawarah antara
pihak Yayasan Festival Film Indonesia dan dewan juri.
Kesepakatannya: keputusan juri tidak bisa diganggu-gugat. Tapi
justru kesepakaun itu yang kemudian menimbulkan soal. Tanda
tangan Turino Junaidi, sebagai ketua YFI, pada kesepakatan itu
menimbulkan protes kalangan perfilman. "Ketua YFI sangat
impulsif sehingga melibatkan diri, padahal soal itu adalah
urusan panitia penyelenggara," kata Hoffman, seorang pengurus
Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI).
Mengirim Surat
Turino sendiri tetap berkeras pada pendapatnya semula. Katanya:
"Kalau bisa diubah, putusan juri itu nanti tidak akan berwibawa
lagi." Dan para pimpinan 5 organisasi perfilman pekan lalu
secara bersama mengirim surat kepada Turino. Isinya: mendesak
agar pihak panitia mengakui kesalahannya yang menyebabkan juri
membuat putusan melanggar aturan yang ada dan agar juri
mengubah putusannya yang keliru itu.
Karena Turino berkeras pada pendapatnya dan dewan juri telah
menyatakan diri bubar, maka soal pun menjadi semakin ruwet. Lalu
bagaimana? "Kita akan berapat lagi dalam waktu dekat. Di sana
akan kita tentukan sikap kita terhadap Turino," kata Wim Umboh
yang kini menjadi ketua periodik PPFI. Kabarnya kalangan
produser sudah sepakat untuk pada rapat nanti memutuskan agar
PPFI menarik Turino dari YFI dan menggantikannya dengan orang
lain. Seperti diketahui, para pengurus YFI itu adalah
tokoh-tokoh perfilman yang mewakili berbagai organisasi
perfilman.
Kekisruhan festival yang bersumber pada kerja YFI yang amat
dikecam oleh kalangan perfilman itu kemudian ternyata
menimbulkan berbagai gagasan terhadap cara penyelenggaraan
festival. Dalam suatu kesempatan bicara pada diskusi yang
diselenggarakan oleh PWI seksi film 24 Mei yang lalu, sutradara
Wahyu Sihombing ada mengemukakan gagasan agar festival tidak
diselenggarakan oleh orang film sendiri, melainkan oleh suatu
badan yang independen. "Kalau kita sendiri yang
menyelenggarakannya, ya, terus kacau seperti sekarang ini, "
kata Sihombing.
Hak Untuk Mengimpor
Tidak meremukakan gagasan mengenai festival, tapi Ami Priyono
-- sutradara terbaik tahun ini versi FFI Ujung Pandang --
melihat kekacauan yang terjadi itu sebagai suatu hal yang
menimbulkan ketidak-adilan. "Sebelum festival, atas. nama
peraturan, 3 film dinyatakan tidak bisa diikut-sertakan. Kini 3
orang mendapat hadiah, meski kemenangannya melanggar aturan.
Nah, ini ada yang dirugikan ada yang diuntungkan." Begitu Ami
menjelaskan.
Tapi pernyataan ke-5 organisasi perfilman itu, apakah bisa
dinilai sebagai tanda bahwa mereka tidak mengakui kesahan 3
pemain yang dihebohkan? "Ya, begitulah," kata Ami pula. Bahkan
menutut Wim Umboh, hak sertifikat -- yakni hak untuk mengimpor
sebuah film -- bagi Citra yang dipegang oleh Kaharudin Syah akan
diusulkan kepada pemerintah supaya ditiadakan. Tapi Wim
membantah bahwa hal ini akan merusak kewibawaan juri. "Wah, yah
tidak begitu. Yang salah kan bukan juri, tapi penyelenggara yang
tidak memberi informasi yang lengkap kepada para juri," kata
Wim.
Ketika masih belum selesai dengan urusan perjurian yang kisruh,
Turino ternyata masih pula harus berurusan dengan panitia
penyelenggara FFI di Ujung Pandang. Ini ceritanya
bersangkut-paut dengan sejumlah uang yang menurut Turino
dikumpulkan oleh panitia Ujung Pandang lewat cara
mengkomersiilkan para artis yang datang sebagai peserta
festival.
Sebuah sumber di kalangan panitia di Ujung Pandang menjelaskan
kepada TEMPO bahwa panitia kini sedang memikirkan untuk
mengadukan Turino ke pengadilan. "Ucapan Turino itu amat tidak
bermoral," kata seorang anggota panitia di Ujung Pandang. "Dia
kan datang ke mari, dan bisa menanyakan segala hal penting yang
mau diketahuinya. Tidak tanya, tidak menyelidiki tahu-tahu
memberi keterangan pers yang memfitnah," kata Rahman Arge, ketua
PWI Ujung Pandang yang juga menjadi ketua penyelenggara FFI
1978.
"Merugi"
Tapi bukan tak ada baiknya ucapan Turino yang menjengkelkan
panitia di Ujung Pandang itu. Kabar terakhir dari ibukota
Sulawesi Selatan itu menyebutkan bahwa untuk membuktikan bahwa
panitia tidak mengumpulkan uang sebanyak yang disebut Turino,
sebuah tim verifikasi dari Kudam (keuangan Kodam) XIV Hasanuddin
kini baru saja melakukan pemeriksaan keuangan panitia. Dari
hasil pengecekan ternyata pemasukan panitia terdiri dari: 45
juta rupiah dari pemerintah -- 25 juta untuk biaya FFI dan 20
juta untuk membeli perlengkapan perfilman -- 11,5 juta dari
hasil penjualan karcis serta sumbangan masyarakat.
"Jadi jumlah dana keseluruhan FFI adalah 36,5 juta, dan tidak
125 juta seperti yang dikatakan oleh Turino," kata Ridwan
Suryanto, kepala bagian hubungan masyarakat panitia FFI di
Ujungpandang. Dan ini juga ulah TEMPO memperoleh keterangan
bahwa biaya FFI seluruhnya adalah Rp 40.495.000. "Jadi panitia
Ujung Pandang masih merugi sekitar 4 juta."
Turino sendiri tak bisa dihubungi karena dia shooting film di
luar kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini