Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Resolusi 1747: Susah-susah Gampang

2 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dino Patti Djalal

  • Staf Khusus Presiden RI Bidang Hubungan Internasional

    JARANG ada Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang didukung semua anggota Dewan. Resolusi secara aklamasi biasanya terjadi pada isu-isu yang tidak kontroversial, misalnya perpanjangan mandat misi PBB di Timor Leste, Haiti, atau Somalia. Namun, isu yang kontroversial juga bisa gol 15-0, misalnya Resolusi 1701 mengenai konflik Libanon-Israel yang kini turut dijaga Indonesia melalui kontingen TNI di UNIFIL di Libanon Selatan.

    Lahirnya Resolusi 1747, yang didukung semua anggota Dewan Keamanan, mencerminkan bahwa masyarakat internasional semakin prihatin terhadap program nuklir Iran. Pandangan ini dianut oleh negara-negara yang berhubungan erat dengan Iran (Rusia, Cina), negara yang dikenal sangat independen (Afrika Selatan), negara Islam yang mewakili Timur Tengah (Qatar), dan sejumlah negara berkembang (Peru, Ghana, Kongo, Panama). Hal ini jugalah yang dirasakan Indonesia sebagai negara yang berada di garis terdepan dalam diplomasi nonproliferasi senjata nuklir dan pemusnah massal.

    Memang, sahabat-sahabat Iran di DK PBB, termasuk Indonesia, semakin sulit mendukung posisi Iran. Mengapa? Pertama, karena Iran sudah dua kali tidak mematuhi Resolusi DK PBB sebelumnya mengenai nuklir Iran (Resolusi 1696 dan 1737). Padahal, resolusi Dewan Keamanan bersifat mengikat (binding) dan harus dipatuhi oleh semua anggota PBB. Kedua, sikap Iran terhadap Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) masih belum kooperatif, bahkan konfrontatif.

    Pada Januari lalu, Iran melarang 48 inspektur IAEA masuk ke fasilitas nuklirnya, dan sebelumnya mencabut kamera pengawas IAEA di fasilitas nuklirnya. Iran juga belum memberikan informasi kepada IAEA mengenai undeclared nuclear materials. Sementara itu, Direktur Jenderal IAEA, Muhamad el-Baradei, memberikan kesaksian kepada DK PBB bahwa Iran, bertentangan dengan dua Resolusi DK PBB sebelumnya, masih terus melakukan peng-ayaan uranium dan pembangunan heavy-water reactor. Bila dalam dua bulan mendatang Iran tetap berkeras tidak mematuhi Resolusi 1747, Iran akan semakin terpojok dalam pergaulan internasional dan ketegangan akan memuncak.

    Sebenarnya, jalan keluar tidak begitu rumit. Titik temu posisi Iran, Indonesia, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Cina, Uni Eropa, dan lain-lain sebenarnya sama: membangun energi nuklir untuk tujuan damai (bukan militer). Mengenai hal ini semua sepakat, namun ini susah-susah gampang.

    Susahnya, ada kendala politis dan teknis. Politis: karena negara-negara Barat tidak mempercayai Iran (yang dipandang telah merahasiakan program nuklirnya selama 20 tahun sebelum diumumkan pada 2002). Teknis: karena IAEA belum dapat menjamin program nuklir Iran adalah untuk tujuan damai.

    Namun, semua masalah ini bisa menjadi gampang bila Iran menempuh strategi bekerja sama secara total, penuh, dan transparan dengan IAEA, termasuk dalam program pengayaan uranium. Hal ini tidak akan dipandang merendahkan Iran, karena IAEA kini mengurus sekitar 435 reaktor nuklir (dan 31 reaktor yang sedang dibangun) yang tersebar di 31 negara. Dengan kata lain, dengan bekerja-sama penuh dengan IAEA, Iran melakukan hal yang tidak beda dengan yang dilakukan oleh negara-negara anggota IAEA lainnya.

    Bila IAEA kemudian memberikan jaminan bahwa program nuklir Iran bersifat damai, maka Iran dengan telak akan membungkam semua kecurigaan dan kritik, dan negara Timur Tengah, negara Islam, negara berkembang, bahkan negara Barat akan ramai-ramai mendukung Iran. Bahkan Iran akan segera meraih keuntungan ekonomi dan teknologi, mendapat energi nuklir, serta kemenangan diplomasi dan moral.

    Susah-susah gampang, memang. Untuk mencapai ini, Iran perlu dengan kepala dingin mematuhi Resolusi 1747 dan kembali ke meja perundingan. Bila Iran masih ragu, mungkin format perundingan (yang selama ini dilakukan Iran dengan negara P5 plus 1, yakni AS, Inggris, Prancis, Cina, Rusia, dan Jerman) dapat dimodifikasi dengan mengikutsertakan juga negara-negara tertentu, termasuk negara berpenduduk Islam yang disetujui Iran. Ide semacam ini pernah disampaikan Presiden Yudhoyono kepada Presiden Iran Ahmadinejad.

    Sebagai sahabat Indonesia akan selalu berupaya membantu Iran. Dan sebagai sahabat, ada kalanya Indonesia mendukung Iran, namun ada kalanya Indonesia, dengan itikad baik, perlu jujur dan lugas berbeda pendapat dengan Iran mengenai hal-hal yang prinsipil. Inilah namanya politik bebas aktif.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus