Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAULO FREIRE: KEHIDUPAN, KARYA, DAN PEMIKIRANNYA | ||
Judul Asli | : | Paulo Freire: His Life,Works and Thought |
Penulis | : | Denis Collins |
Penerjemah | : | Henry Heyneardhi dan Anastasia P. |
Penerbit | : | Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Oktober 1999 |
Bagi Paulo Freire (lahir 1921), seorang pemikir dan praktisi dari Brasil, pendidikan tidak semata-mata persoalan transfer pengetahuan satu arah (dari guru ke murid). Pendidikan adalah suatu proses ''mengetahui" yang didasarkan pada subyektivitas untuk mengonstruksi dialog antarmanusia. Proses pendidikan hanya bisa diselenggarakan jika guru memosisikan diri sejajar dengan orang yang dididiknya. Artinya, guru dan murid adalah subyek yang sama-sama ingin tahu tentang dunia dan harus mengubahnya agar lebih baik.
Freire menekankan perlunya metode pendidikan kritis-dialogis bagi masyarakat miskin, tertindas, dan bodoh. Dalam suatu masyarakat terbelakang dan tertindas, diperlukan suatu model pendidikan yang mendorong perubahan sifat seseorang agar berwatak demokratis. Jadi, pendidikan dilakukan tidak hanya untuk mengatasi masalah buta huruf, tetapi juga untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang demokrasi.
Ia telah mencobanya lewat metode alfabetisasi yang menyajikan kata-kata generatif (seperti gubuk, sumur, bajak, kumuh, dan sekolah). Lewat metode ini, orang-orang miskin yang menjadi peserta pendidikan dapat belajar membaca dan mengeja dengan cepat. Kata-kata generatif tersebut sekaligus menunjukkan situasi kehidupan nyata manusia dalam hubungannya dengan dunia di sekitar mereka. Selanjutnya diskusi berkembang ke tema-tema kehidupan manusia yang harus dipecahkan oleh orang-orang itu: kelaparan, ketergantungan, pengangguran, dan sebagainya.
Terpengaruh oleh Marx, Mao, Marcuse, Fanon, Lukacs, dan Althusser, analisis sejarah dan budaya yang tampak dari pemikiran Freire menjadi sangat antidominasi. Walaupun demikian, yang menarik, filsafat kependidikannya tidak pernah mengarah pada aliran mana pun. Pemikiran Freire mengalir dari pengalaman hidupnya, sehingga ia berkesimpulan bahwa pendidikan harus mengarah pada pembebasan manusia. Keyakinan Freire itu pula yang memunculkan tuduhan-tuduhan bahwa ia adalah seorang idealis, komunis, ''teolog yang menyamar", fenomenolog, bahkan eksistensialis.
Ia sangat mementingkan dialog berlandaskan kesadaran kritis karena manusia memiliki fitrah sebagai subyek yang mandiri. Sebagai seorang subyek, manusia diberi kekuatan untuk berinteraksi dengan dunia (obyek). Saat subyektivitas dan obyektivitas disatukan melalui tindakan-tindakan autentik yang mentransformasi dunia, manusia menjadi pencipta dan pengarang sejarah.
Freire memang memfokuskan perhatiannya pada masalah kesadaran kritis-reflektif (conscientizacao). Sementara Peter L. Breyer dalam Pyramids of Sacrifice (1975) menafsirkan ''konsientisasi" semata-mata sebagai teknik eskalasi kesadaran, Freire lebih menekankan tumbuhnya kesadaran reflektif pada setiap subyek dan tidak bermaksud mengubah kesadaran seseorang. Baginya, upaya mengubah kesadaran lewat pemaksaan idiom-idiom kebebasan adalah bentuk lain penindasan.
Walaupun gagasasn-gagasan Freire cukup brilian, bukan berarti ia tanpa kritik. Ketika Freire merilis magnum opus-nya, Pedagogy of the Oppressed (1970), Edgar Freidenburg bersikap sangat keras dengan menyebutnya sebagai ''terjemahan yang kaku" dan ''sebuah buku yang benar-benar jelek". Kalangan akademisi di Amerika Serikat pun menyoroti karya besar Freire, yang khas berwarna sosialisme dan cenderung revolusioner. Di tengah deraan kritik tersebut, Freire tetap bersikukuh dengan metode pendidikan dialogis. Sementara Ivan Illich hanya mendekonstruksi kelembagaan pendidikan dengan mewujudkan deschooling society, Freire mengelaborasinya lewat praksis dalam institusi dan intuisi kependidikan.
Buku yang ditulis Denis Collins ini didominasi oleh deskripsi gagasan-gagasan Freire tentang pendidikan dan pembebasan. Sayangnya, penulis kurang mengemukakan kritik sehingga buku ini lebih tepat disebut sebagai ''penjelasan ulang" daripada ''pembacaan ulang" atas pemikiran Freire. Tampaknya, hal ini menjadi kecenderungan umum buku-buku yang mengupas kehidupan seorang tokoh.
Kritik terhadap Freire harus ditujukan pada pemikirannya yang berwarna strukturalis. Ia pernah mengatakan, antara lain, bahwa fatalisme kaum tertindas tumbuh semata-mata karena implikasi hegemoni politik. Dalam hal ini, tampaknya ia menafikan faktor-faktor nonpolitis lainnya. Gagasan tentang pengembangan budaya antipenindasan lebih didasarkan pada asumsi awal yang monolitis.
Walaupun demikian, deskripsi epistemologis Freireian yang ada dalam buku ini tetap menarik sebagai introduksi diskursus pendidikan yang membebaskan. ''Educacao como practica da liberdade," kata Freire. Suatu kredo yang relevan untuk mereformulasi realitas pendidikan yang selama ini belum memanusiakan manusia.
Ade Ma'ruf, Staf di Institute of Education and Development Studies (IEDS), Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo