Jin Bagdad Amankan Muktamar''. Tulisan itu menghiasi baliho berukuran 2 x 3 meter di dekat pintu gerbang arena muktamar NU XXX di pesantren Hidayatul Mubtadi'in Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, akhir November lalu. Maklumat sensasional itu dibikin oleh sebuah tabloid lokal. Ide panitia? Bukan. Tapi, Gus Maksum Marzuki, 54 tahun, pengasuh pesantren tersebut, yang dikenal sakti, mengaku mempersilakan sejumlah jin untuk ikut mengamankan muktamar. Bernarkah pasukan spesies gaib itu berasal dari Bagdad, Irak? "Bukan. Mereka tinggal di sekitar pesantren ini saja," kata Gus Maksum kepada TEMPO.
Kalangan kiai memang akrab dengan dunia metafisis, termasuk spesies jin. Dan pasukan jin itu, menurut Gus Maksum, adalah penghuni kerajaan di Lirboyo. Sebagian mereka adalah santri pesantren Lirboyo, sebagian yang lain bekas murid Mbah Sepuh, pendiri pesantren Lirboyo. Keterlibatan para jin untuk kepentingan pesantren terbilang langganan. Karena itu, sebelum muktamar, mereka mendatangi Gus Maksum untuk menawarkan jasa pengamanan secara sukarela. Jumlahnya tidak jelas. "Mereka tanya, boleh dibantu enggak. Saya jawab, ya, silakan, asal kamu tidak mengganggu," kata Gus Maksum.
Kabar tentang muktamar yang melibatkan jin dan dimuat di koran itu mengusik sebagian orang. Lia Aminuddin, pemimpin Majelis Taklim Salamullah, Jakarta, mengirim surat terbuka ke media. Isinya, protes atas penggunaan jin tersebut. Menurut Lia, perbuatan itu menyekutukan Allah. Dasar pijak Lia adalah ayat-ayat Alquran yang secara eksplisit melarang manusia menggantungkan diri kepada yang bukan Tuhan. Dalam bahasa Islam: syirik (menyekutukan Tuhan). "Memprakarsai penjagaan muktamar dengan ratusan jin sungguh merupakan bahasa kemusyrikan," kata Lia dalam surat itu. Lebih jauh dia mencemaskan bahwa perbuatan tersebut bisa merusak akidah umat Islam.
Bagaimana pandangan Islam tentang jin? Menurut Alquran, jin adalah makhluk yang diciptakan dari api. Berdasarkan suatu penafsiran, jin memiliki akal dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka, seperti manusia, dibebani kewajiban dan larangan. Sebagian mereka beriman, lainnya kafir. Sulaiman adalah salah satu nabi yang dikisahkan mampu menguasai sekelompok jin untuk membangun gedung dan patung.
Agama Kristen dan Hindu juga mengakui keberadaan jin dan setan dengan beberapa perbedaan. Sebagian penganut Katolik, seperti kata Pastor Nico S. Ditzer, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, memahami setan sebagai suatu kekuatan kegelapan. I.N. Djoni Gingsir, Ketua Lembaga Babad Bali Agung, yang beragama Hindu, berpandangan bahwa jin adalah spesies seperti manusia yang memiliki kekuatan gaib.
Dari sisi normatif, seperti kata Lia, Tuhan jelas melarang penggunaan jin untuk kepentingan manusia. Pastor Nico dan Djoni Gingsir pun menyatakan bahwa agama mereka melarang perbuatan itu. Persepsi tentang jin, juga setan, sebetulnya menarik diamati secara sosiologis. Andrew Delbanco, penulis masalah kemanusiaan lulusan Universitas Harvard, menulis buku The Death of Satan tahun 1995. Menurut dia, masyarakat Amerika pada abad pramodern tahun 1700-an menganggap sikap mengejar kepentingan pribadi sebagai dosa. Latar sosiologis pandangan itu: mereka hidup dalam unit-unit pertanian kecil yang membutuhkan kerja sama dan gotong-royong. Setan karena itu masih menjadi simbol yang sangat penting.
Namun, begitu kehidupan mulai dinamis, komersial, dan cenderung berorientasi pasar, setan merosot pamornya dan sekadar menjadi metafora pribadi yang kerdil. Seiring dengan kemajuan sains pada abad ke-19, yang ditandai dengan rasionalisme dan sekularisme, terjadilah gelombang demistifikasi terhadap segala sesuatu. "Gelombang liberalisme sekuler telah menanamkan keyakinan baru bahwa manusia bisa hidup tanpa harus mempercayai bayang-bayang matafora (Tuhan ataupun setan)," tulis Andrew Delbanco.
Lalu apa penjelasan sosiologis dari fenomena Lirboyo itu? Dibutuhkan waktu untuk mengkajinya. Namun, kritik halus Dr. Komaruddin Hidayat, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, layak didengar. "Sesungguhnya, peradaban dibangun bukan dengan jin," kata Komaruddin.
Kelik M. Nugroho, Adi Prasetya, Purwani Diyah Prabandari, Hani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini