Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ICAD tidak peduli apakah sebuah karya merupakan karya seni rupa atau “hanya” model rencana untuk, misalnya, mebel suatu ruangan di hotel. Yang hendak disuguhkan ICAD, Indonesian Contemporary Art and Design, adalah suatu kolaborasi antara seni rupa, desain, dan ruang (hotel) dengan kreatif. Makna kata terakhir itu yang tidak lazim. Maka dalam pameran ICAD bisa saja kursi yang biasanya tertata rapi di sebuah ruangan hotel ditumpuk bersusun ke atas mencapai lantai atas. Atau, seperti bisa disaksikan dalam pameran ICAD terbaru—berlangsung hingga akhir November ini—sebuah bangku duduk yang lazimnya serba lurus dibikin meliuk bak sungai. Bangku Ciliwung, begitu judul karya ini.
Sembilan tahun lalu, ICAD lahir di Hotel Grand Kemang, Jakarta. Sejak itu, tiap tahun ICAD menggelar pameran seni rupa dan desain. Pameran tahun ini (18 Oktober-30 November) merupakan perhelatan kesembilan. Karena itu, bisa dikatakan ruang untuk memajang, menggantung karya yang dipamerkan, pada dasarnya tak berubah. Misalnya di ruangan depan Hotel Grand Kemang akan selalu terpajang karya instalasi selama pameran ICAD berlangsung. Pernah di tempat itu dipasang karya berupa batu-batu digantung. Kini ada suatu bentuk komposisi mirip kerangka payung raksasa berbahan bambu dan besi.
Konsep dasar pameran pun tetap: meretas batas seni rupa dan desain. Arah pameran ini, dengan demikian, adalah mendorong keberanian para perupa dan desainer- keluar dari kelaziman.
Namun ada yang berubah, ternyata. Pemasangan karya makin rapi. ICAD 2018 ini mungkin yang paling terencana, bersih, dan akurat. Yang saya ingat, dalam pameran pertama, beberapa karya tiga dimensi ditaruh di koridor sehingga orang yang melintas mesti berhati-hati agar karya tak tersenggol. Kini berjalan di koridor hotel terasa aman-aman saja.
Dan, harus diakui, karya-karya yang ditampilkan kini, dengan tema “Kisah”, benar-benar karya pilihan. Susah menemukan karya yang bisa dianggap kurang layak sebagai karya seni rupa. Kisah Sebutir Telur, instalasi Tatang Ramadhan Bouqie, misalnya, adalah seperangkat meja-kursi makan yang dihias dengan komposisi bidang warna-warni sangat meriah. Di tiap kursi ada sebentuk bulatan kuning dibingkai bidang putih yang juga bulat. Mereka yang bersiap menduduki kursi makan ini akan berpikir dua kali. Pertama, sayang benar kemeriahan warna-warna itu kalau harus diduduki- dan disandari, biarpun di kursi ditaruh bantal putih hampir bulat dan di tengahnya berwarna kuning telur. Kedua, bersandar di kursi Tatang mestilah tidak nyaman: bagian atas sandaran tidak rata, dibentuk menjadi sendok dan garpu seukuran kursi.
Sementara itu, karya-karya dua dimensi yang dipasang di dinding adalah karya yang patut diapresiasi. Gambar-gambar Restu Ratnaningtyas adalah karya komposisi gambar benda sehari-hari, seperti gunting, korek api, botol, pecahan mangkok, sepotong tali, dan mobil mainan utuh atau hanya bannya—mungkin lebih dari seratus gambar benda dalam ukuran mini. Keterampilan menggambar Restu memberikan kesan seolah-olah karya ini adalah puisi benda-benda. Demikian juga 25 sketsa karya kelompok Milisifilem Collective, yang menunjukkan kepiawaian para perupa membuat sketsa. Karya ini bertajuk Proyek Pasar Minggu, menggambarkan kesibukan di sudut-sudut sebuah pasar. Ke-25 sketsa itu, dalam tiga jenis ukuran, disusun sedemikian rupa sehingga seperti membentuk sebuah cerita.
Ada sebuah karya dua dimensi, terkesan sebagai tipografi yang susunan kata-katanya berserak acak dengan huruf-huruf terbesar dalam beragam tipe membentuk kata “BERLIN”. Judul karya Danton Sihombing ini Typoetry “Berlin Proposal”. Dalam lembaran katalog untuk Danton (katalog ICAD kali ini berupa sepotong kertas berukuran sekitar 14,5 x 10,5 sentimeter, satu potong untuk satu peserta, warna kertas berbeda-beda) disebutkan bahwa karya ini berangkat dari buku kumpulan puisi Afrizal Malna, Berlin Proposal (2015). Ini karya tipografi dengan serakan kata (tentunya diambil dari puisi-puisi Afrizal) yang “sembarangan”, lebih sebagai ekspresi daripada susunan kata yang membentuk kalimat dan pengertian, kecuali enam huruf terbesar yang jelas-jelas terbaca “BERLIN”. Inilah karya yang saya kira mewakili jargon “estetika bisa ada di mana saja”, termasuk dalam karya tipografi.
Sejumlah karya lain adalah karya seni rupa kontemporer yang tak lagi mengejutkan, tapi memang diciptakan dengan kemampuan menggaris, mewarnai, membentuk, menyusun, dan menempel dengan teknik yang sulit dikatakan tidak dikerjakan secara cermat dan sungguh-sungguh. Halaman buku komik yang diperbesar di tembok. Karya gelas dalam bentuk vas yang bolong-bolong dengan lampu yang berubah-ubah warnanya. Gambar yang mengisahkan bencana banjir dan usaha seorang raja menyelamatkan rakyatnya. Sebuah karya instalasi bentuk berongga mirip bentuk adonan semen pada truk molen. Untuk melihat karya ini, penonton mesti memasukkan kepala ke rongga tersebut dan mendapati suatu kehidupan “modern” di sebuah “gua”. Setelah menyaksikan “gua” itu, penonton diminta mengungkapkan kesannya di sepotong kertas yang disediakan dan dipersilakan menempelkan kertas itu pada dinding depan karya tersebut.
Masih banyak karya lain yang susah dibilang tak atau kurang memadai. Jadi ICAD kali ini lebih terkesan sebagai sebuah pameran seni rupa kontemporer. Seni rupa masa kini yang membuka peluang untuk segala macam penggunaan media, bermacam titik tolak gagasan (dari sekadar melihat sampai meneliti dan menganalisis sesuatu). Hal ini tentu saja bukan berarti buruk. Namun muncul pertanyaan begitu melangkah keluar dari Hotel Grand Kemang: apa beda pameran ICAD ini dengan pameran seni rupa, misalnya, di Galeri Nasional Indonesia, atau pameran-pameran dua tahunan di Jakarta, Semarang, atau Malang?
Atau ICAD memang sudah menjadi cap kegiatan pameran di Grand Kemang, apa pun tema pamerannya. Pameran ICAD bukan lagi suatu upaya meretas batas antara seni rupa dan desain, atau lebih tajam lagi antara yang disebut sebagai seni murni dan seni terapan. Dalam perkembangan seni rupa masa kini, masalah ini tak lagi menjadi penghambat. Karya seni terapan bisa dipamerkan sebagai karya seni rupa “murni”. Sebaliknya, karya seni rupa “murni” bisa juga difungsikan. Tentu pameran ICAD punya andil meruntuhkan batas seni rupa dan desain, sebuah proses, relatif, panjang—sejak pameran “Seni Rupa Baru” (1975), pameran “Jadex ’92” (Jakarta Art & Design Expo 1992), pameran-pameran lain yang arahnya meruntuhkan batas itu, disengaja atau tidak, dan kemudian pameran ICAD pertama (2009). Sesudah dunia seni rupa menerima bahwa pada dasarnya tidak perlu secara ketat membedakan antara yang “murni” dan terapan, masih perlukah sebuah pameran yang mengangkat masalah tersebut, sekalipun—atau justru—atas nama ICAD? Tanpa menggeser atau menemukan gagasan lain, betapapun bagusnya pilihan dan tampilan, pameran terasa tak lagi “penting” dibanding pameran ICAD 2009.
BAMBANG BUJONO, PENGAMAT SENI RUPA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo