Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUHNYA tak pernah memberi nama pada diri sendiri; tak pernah membedakan gender lelaki, perempuan. Setiap kali rohnya menggerakkan jari-jarinya, kakinya, matanya, dan membentuk keindahan, saat itu Wahyu Juno akan menjadi penari yang menyatu dengan fitrahnya.
Wahyu Juno (diperankan dengan bagus oleh penari Rianto) bercerita menatap kamera, berbicara tak hanya dengan suara, tapi juga dengan seluruh tubuhnya sekaligus sepasang matanya. Tentang masa kecilnya, tentang masa remaja, dan tentang masa dewasa. Tapi yang paling penting adalah bagaimana sepanjang hidupnya tubuh Juno selalu menjadi pusat perhatian sekaligus pusat persoalan justru karena keindahannya.
Dan Juno dewasa pun membuka layar masa kecil: kita berkenalan dengan si kecil Juno (Raditya Evandra), yang tak pernah mengenal ibunya. Si bapak begitu saja meninggalkannya dan membiarkan tetangganya yang mengurus Juno. Belakangan, melalui mulut salah seorang sanak, Juno baru tahu bapaknya dituduh terlibat dalam tragedi 1965. Tapi itu semua bukan sesuatu yang dipahami si kecil Juno, seperti halnya dia juga tak paham mengapa setiap orang dewasa tertarik pada gerak tubuhnya yang lentur. Sejak kecil, Juno satu-satunya lelaki di kampungnya yang dianggap layak menjadi penari lengger.
-Four Colours Film
Menari lengger. Ini nama yang biasa saja di masa lalu, tapi pada zaman sekarang dianggap sebagai suatu ketidakwajaran.
Lengger lanang, yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah, adalah sebuah tradisi yang sudah berabad-abad usianya yang pernah menjadi inspirasi dalam penulisan Serat Centhini. Garin Nugroho dengan berani menampilkan Juno sang protagonis sebagai penari lengger, penari lelaki yang menari sebagai perempuan dan tak jarang bersikap luwes seperti perempuan di luar panggung.
Tapi Garin tidak sekadar menciptakan tokoh lelaki yang senang menari. Garin juga memberi konteks bagaimana lingkungan dan tokoh-tokoh keluarga Juno sungguh ganjil sehingga sejak usia dini Juno sering menjadi saksi kekerasan. Adegan Sudjiwo Tedjo menyiksa pacar istrinya hingga darah si lelaki menyembur-nyembur disaksikan Juno kecil. Itu salah satu peristiwa yang menciptakan luka besar pada jiwa Juno, selain luka karena ditinggalkan bapaknya.
Dari satu lelaki ke lelaki lain yang merasa memiliki dan menikmati tubuhnya, Juno tetap setia pada fitrahnya: dia seorang penari yang setia mengikuti rohnya yang menggerakkan tubuh. Bahwa ada bupati yang telanjur kesengsem padanya atau ada warok reog yang juga menganggap Juno sebagai teritorinya, sebetulnya Juno tahu tak pernah dimiliki siapa pun, bahkan oleh orang tuanya.
Kali ini karya Garin yang ditayangkan di Festival Film Venesia adalah sebuah karya yang lebih naratif dibanding film-film sebelumnya. Dia menyusun cerita dengan rapi meski tetap memberi ruang yang luas untuk interpretasi pada setiap karakter, setiap adegan, bahkan setiap gerakan. Bukan hanya seksualitas Juno yang sengaja dibuat kabur, semua tokoh lain bahkan juga berada di garis perbatasan.
Ada beberapa jejak khas Garin yang mengingatkan pada film-film sebelumnya, seperti jari yang terluka oleh jarum jahit dan darah yang diisap yang pernah tampil dalam film Cinta dalam Sepotong Roti (1991) dan Bulan Tertusuk Ilalang (1995). Mereka yang memahami kosakata filmografi Garin akan tahu bahwa inilah cara Garin menunjukkan sensualitas dan seksualitas, selain kalimat “lubang dalam hidup” yang berulang-ulang disebutkan dan divisualkan melalui si kecil Juno yang kencing ke dalam lubang tanah.
Tapi, yang lebih menarik, seperti yang diperbincangkan di Ubud Writers and Readers Festival 2018, pekan lalu, sementara putri Garin, Kamila Andini, merasa sering “dituduh” terpengaruh gaya sinematik ayahnya, kini justru sang ayah yang terpengaruh bahasa sinematik anaknya. Misalnya adegan menari di atas tempat tidur dalam film ini yang jelas mengingatkan kita pada film The Seen and Unseen karya Kamila, yang juga ditayangkan di Ubud Writers and Readers Festival ini. Adegan si kembar menari di tempat tidur menjadi bagian yang paling mengesankan dalam film itu.
-Four Colours Film
Hal lain yang tak kalah penting adalah tokoh Juno dewasa yang penuh ekspresi menabrak “tembok” antara dirinya dan penonton—atau istilahnya “breaking the fourth wall”—sehingga kita manut pada ajakannya menjenguk masa remajanya yang sensual sekaligus menyiksa.
Bagi Garin, film terbarunya ini adalah “sebuah pernyataan sekaligus kritik”. Dia ingin menyatakan bahwa persatuan maskulinitas dan femininitas adalah suatu hal yang wajar di negeri ini berabad-abad lamanya. Garin menyadari betapa makin berlebihan sikap masyarakat terhadap kesenian tradisional hingga terjadi pelarangan-pelarangan yang kemudian menghilangkan nama mereka sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Kritik Garin yang terasa keras dalam film ini adalah bagaimana brutalitas terhadap tubuh (baik perempuan maupun lelaki) dianggap sebagai sesuatu yang lazim oleh masyarakat.
Film ini mungkin salah satu film Garin yang digarap dengan baik, selain Daun di Atas Bantal, Rindu Kami Padamu, Opera Jawa, dan Setan Jawa. Dalam film ini, meski kini memilih bertutur dengan sederhana, Garin sengaja membuat berbagai adegan yang pasti akan melahirkan diskusi, bahkan perdebatan. Misalnya mengapa perempuan dalam film ini hampir semuanya menjengkelkan dan ke mana sang ibu yang begitu dirindukan, mengapa Garin tampak sangat menahan diri untuk menggambarkan keintiman tokoh-tokohnya (yang tentu saja saya asumsikan karena penonton Indonesia makin konservatif), dan mengapa bapak Juno hanya digambarkan sekilas sebagai korban 1965.
Tapi, sekali lagi, saya bahagia tahun ini akhirnya menyaksikan sebuah film Indonesia yang digarap dengan serius yang isinya serta para tokohnya memberikan peluang untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Yang lebih penting: Rianto adalah bintang baru yang layak diperhatikan dan akan berkembang menjadi aktor masa depan kita.
LEILA S. CHUDORI
Sutradara: Garin Nugroho
Skenario: Garin Nugroho
Pemain: Raditya Evandra, Muhammad Khan, Rianto, Sudjiwo Tedjo, Teuku Rifnu Wikana, Whani Dharmawan, Endah Laras
Produksi: Four Colour Films
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo