Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sajak-Sajak Kesatria Kelana

Komunitas Salihara kembali mementaskan pembacaan sajak-sajak yang menafsirkan novel Don Quixote. Kolaborasi bait dan musik.

2 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pembacaan sajak-sajak Goenawan Mohamad yang menafsir novel Don Quixote karya Miguel de Cervantes di Teater Salihara, Jakarta Selatan. -Salihara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GOENAWAN Mohamad berdiri di depan mikrofon. Di sekelilingnya gelap. Hanya ia yang kebagian sorot cahaya kekuning-kuningan dari atas panggung. Tak terburu-buru, sastrawan 77 tahun itu membacakan setiap kalimat dari selembar kertas yang ia pegang. Goenawan mengutip kalimat-kalimat—kendati tak sama persis—dari “Dalam Siluet”, salah satu tulisannya tentang Don Quixote dalam buku Si Majenun dan Sayid Hamid (2018).

Di tulisan itu, Goenawan membayangkan Don Quixote ada dalam sebuah sketsa Pablo Picasso. Don Quixote sedang duduk di atas pelana. Di punggung kudanya, Rocinante, melintas dataran La Mancha yang kosong, dengan lanskap yang hanya di-selang-selingi kincir angin rusak. Don Quixote tak sendiri. Ia ditemani Sancho, si gemuk yang memanggilnya tuan tapi tak mengerti mengapa ia mengembara.

“Ada yang jenaka di sana, tapi juga murung. Sebab, inilah sebuah kisah kocak yang menyimpan sesuatu yang tak pernah bahagia. Tentang seorang yang kurus-tua, yang berjalan jauh di abad ke-17, mengkhayalkan diri sebagai kesatria kelana di zaman yang lalu. Tapi rombeng, terombang-ambing, dan majenun,” kata -Goenawan.

Selama tiga menit Goenawan menceritakan sedikit kisah tentang Don Quixote- sambil diiringi bunyi piano yang terdengar mencekam serta animasi dan gambar dari pasir yang bergonta-ganti di layar panggung. Penampilan itu sekaligus mengawali pertunjukan pembacaan sajak-sajak bikinannya yang menafsirkan kembali novel Don Quixote karya Miguel de Cervantes di Teater Salihara, Jakarta Selatan, pada Selasa-Rabu pekan lalu.

Pembacaan sajak tersebut menjadi pembuka Literature and Ideas Festival (Lifes), festival sastra dan gagasan tahunan yang digelar Komunitas Salihara. Tahun ini, -Lifes berlangsung selama satu pekan pada 23-28 Oktober 2018. Selain menampilkan pembacaan sajak tentang Don Quixote, festival ini menghadirkan dua pementasan karya sastra, yakni Sound Poetry yang dibawakan Sonority Turner (Inggris) dan Other Motherland yang disutradarai Komang Rosie Clynes (Australia). Di luar pentas sastra, festival juga menghadirkan lokakarya serta diskusi dan bincang sastra.

Pameran “Don Quixote” di Galeri Salihara. -Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya P

Total ada 21 sajak tentang Don Quixote yang dibacakan dalam pementasan pembuka Lifes. Karya Goenawan itu termuat dalam buku kumpulan sajak—juga diberi judul Don Quixote—yang terbit pada 2011. Don Quixote merupakan novel berbahasa Spanyol yang terbit dalam dua bagian pada 1605 dan 1615. Novel itu diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 1612 dan bahasa Prancis pada 1613. Ia menjadi salah satu novel terlaris dalam sejarah dan tak putus diperbincangkan hingga sekarang. Penulis terkenal seperti Milan Kundera, Michel Foucault, Vladimir Nabokov, dan Fyodor Dostoyevsky pernah membahas novel itu.

Novel Don Quixote bercerita tentang Alonso Quixano, seorang pria dari sebuah dusun di Spanyol pada abad ke-17 yang suka membaca buku cerita fantasi tentang kesatria kelana zaman dulu. Karena menggilai dongeng itu, ia merasa sebagai seorang kesatria berkuda bernama Don Quixote. Pria itu kemudian pergi dari desanya untuk bertualang. Ia mengendarai seekor kuda yang diberi nama Rocinante dan ditemani Sancho Panza, pembantu yang dianggap dungu. Ia yakin petualangannya nyata, tapi semua orang justru menertawakannya. Di akhir cerita, pria itu pulang ke rumah dan terluka parah. Ia kembali waras, tapi kemudian meninggal.

Pembacaan sajak-sajak Goenawan tentang Don Quixote ini bukan yang pertama. Pementasan serupa, dengan jumlah total sajak yang sama, pernah digelar di Salihara pada Mei 2015. Bedanya, dalam pertunjukan kali ini dilakukan sejumlah modifikasi. Aktor pembaca sajak menjadi empat orang, yakni Landung Simatupang, Niniek- L. -Karim, Rebecca Kezia, dan Sam Ancoe Amar. Adapun pertunjukan sebelumnya hanya menampilkan dua orang, yakni Landung Simatupang dan Niniek L. Karim, yang bergantian membacakan sajak.

Cara membawakan sajak pun berbeda. Kali ini Landung dan Niniek tak perlu repot-repot menghafalkan sajak Goenawan yang tak linier dan selalu bercabang itu. Sebab, para aktor diberi modal berupa teks sajak yang akan dibacakan. Dibanding pertunjukan pada 2015, pementasan kali ini boleh dibilang relatif lebih ringan bagi Landung dan Niniek. “Tapi upaya menggeluti dan mencari makna sajak-sajak itu supaya bisa kami ucapkan dengan baik tetap sama dengan pementasan sebelumnya,” ujar Niniek. “Itu tantangannya.”


 

Don Quixote merupakan novel berbahasa Spanyol yang terbit dalam dua bagian pada 1605 dan 1615. Novel itu diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 1612 dan bahasa Prancis pada 1613.

 


 

Untuk musik, pementasan kali ini tetap mengandalkan kolaborasi bunyi piano sebagai melodi dasar dan organ Hammond yang memberikan semacam efek suara. Keduanya dimainkan dua komponis yang juga terlibat dalam pementasan sebelumnya, yakni Sri Hanuraga, lulusan Conservatorium van Amsterdam; dan Adra Karim, alumnus Prince Claus Conservatoire Groningen, Belanda. Modifikasi musik hadir melalui flute yang dimainkan Carmen Caballero Fernandez (Spanyol). Selama hampir satu jam, suara mencekam dan ceria yang terdengar silih berganti dari bunyi tuts piano berpadu dengan suara flute. Kadang dengungan menjadi pengantar empat aktor membacakan sajak.

Dalam pertunjukan, perpaduan bunyi piano, organ Hammond, dan flute agaknya berbaur menjadi satu bagian dengan sajak-sajak tentang Don Quixote. Kolaborasi bait-bait sajak dan musik pengiring seakan-akan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Seolah-olah keduanya satu karya: Don Quixote adalah sajak dengan iringan bunyi-bunyian itu.

Ini misalnya tergambar dari selarasnya musik dan bait dalam sajak “Ke Arah Balkon” yang dibacakan Niniek L. Karim. Sajak yang dibikin Goenawan pada 2007 itu menampilkan ketegangan yang sempurna dalam irama musik bertempo cepat dan kadang lambat. “…. Dan laki-laki yang merasa dirinya gagah itu pun turun dari kudanya. Ia berjalan mendekat. Ia melihat, sekilas, tangan Peri Kesepian mengangkat tubuh rapuh itu ke dalam sebuah gumpalan mega, di mana setiap perempuan akan ditinggalkan…,” ucap Niniek, membacakan sajak itu.

Kolaborasi bait sajak dan musik makin lengkap dengan gambar pasir dan animasi yang tak henti ditampilkan di layar panggung. Merah dan hitam menjadi warna yang mendominasi layar. Mulanya animasi lebih banyak muncul. Salah satunya bergambar seseorang yang menunggang kuda, yang diibaratkan sebagai Don -Quixote dalam sketsa Picasso. Animasi-animasi itu dibuat Tri Doso Novrianto berdasarkan gambar-gambar Goenawan. Kemudian lebih sering muncul gambar pasir karya Niar Febriyani. Salah satu yang kerap ditampilkan adalah gambar pohon tanpa daun yang barangkali menyimbolkan dataran La Mancha yang gersang.

PRIHANDOKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus