BENGKEL Pelukis Jakarta, muncul di ruang pameran TIM (25 s/d 31
Maret) dengan lebih dan 100 buah karya. 36 buah nama muncul
serentak - di antaranya Sulebar Sukarman, Dolorosa Sinaga, Ugo
Haryono, Nasrul Taher nama-nama yang dikenal di lingkungan LPKJ.
Pameran ini diikuti pula oleh omong-omong tentang senirupa oleh
pelukis Nashar dan Mustika.
Semangat untuk melukis terbayang jelas dalam pameran ini.
Berbagai kecenderungan muncul. Yang menarik adalah bahwa mereka
tidak merupakan kelompok atau gerombolan yang disatukan oleh ide
yang sama, sebagaimana kelompok Senirupa Baru. Sulebar, salah
seorang dedengkot Bengkel, dalam diskusi 27 Maret sempat
menerangkan bahwa yang mau digapai memang bukan organisasi.
Lebih ditekankan pada penyaluran bakat mereka yang sudah
terlanjur jatuh cinta pada senirupa. Ini dapat menjelaskan
kenapa muncul berbagai kecenderungan.
Seli Rupa Bau
Dari sekian banyak hasil, belum munul satu tokoh yang
benar-benar dapat diketengahkan sebagai kampiun. Yang jelas
terasa adalah nafas mencari. Banyak hal yang bersifat teknis
belum selesai, sehingga kadangkala kita berhadapan dengan ide
yang telanjang bugil. Hal itu sudah terlewati oleh kelompok Seni
Rupa Baru dalam pamerannya yang lalu.
Edi Th misalnya, yang menampilkan karya-karya yang meruang,
hanya sempat mengesankan banyaknya pengaruh dari pameran
kelompok Seni Rupa Baru. Ia membalut tiang gedung dengan karet
busa putih. Ia juga menyuguhkan lukisan Lingkaran Merah dan
Putih yang diletakkan di kursi dengan dipagari tali plastik
kuning. Tetapi semuanya baru ide. Segi pertukangannya - meminjam
istilah Umar Khayam - belum mantap.
Pengaruh pelukis senior, seperti Nashar, banyak terlihat. Sayang
sekali bukan pengaruh rohani, tetapi bentuk. Pengaruh tersebut
menjelaskan bahwa usaha pencarian dari anak-anak Bengkel ini
kebanyakan menjurus pada penemuan bentuk: pemahiran teknis dan
kemudian pemantapan pada idiom-idiom lahiriah. Tidak terasa
semacam penggalian nilai-nilai sebagai dimensi yang dapat
memberi kedalaman pada karya.
Kita lihat misalnya karya-karya Jimi B. Ardi: triplek yang
ditempeli guntingan gambar. wanita yang bergantung di seluruh
ruangan. Usaha itu bukan merupakan respons pada ruangan. Tidak
mengisi ruangan itu. Malah tiba-tiba menjadi barang asing yang
mengganggu. Berbeda dengan lukisan-tanpa judulnya yang terdiri
dari dua buah bingkai dengan komposisi-komposisi yang menarik di
dalamnya. Karyanya yang belakangan ini menunjukkan
ketrampilannya yang besar dalam soal warna dan emosi garis.
Kosong
Yang pantas disebut dalam pameran ini adalah Asriljoni Lesmana,
Djoni Bharata, F.X. Poernomo, Ipung Gozali, Iskandar SA, M. Noer
dan Suryadi. Deretan nama tersebut tampil dengan karyakarya yang
segar serta mantap tekniknya. Mereka memiliki semacam isi yang
membuat karya mereka berbicara. Memang ada juga pengaruh pelukis
senior, tapi sudah sempat dimanfaatkan dengan baik.
Sedang Sulebar, yang pernah kita lihat punya kemungkinan baik
dengan lukisan cat airnya, kini bergulat dengan cat minyak.
Belum sempat mengoper semua yang diperolehnya dari kemungkinan
transparan cat air. Akibatnya adalah bahwa sapuan-sapuannya jadi
kaku, kadangkala hanya terasa untuk memindahkan lukisan cat
airnya ke kanvas.
Parade anggota Bengkel menunjukkan satu hal yang penting: bahwa
latihan melukis, kalau hanya dititikberatkan pada praktek, akan
membuat lukisan timpang. Kosong. Sementara ketrampilan teknis
membuat orang pintar meniru tetapi tidak menampilkan sesuatu
yang khas. Agaknya dengan imbuhan latihan rohani, pengisian pada
bagasi fikir?n,
Bengkel masih dapat diharap memberi hasil yang lebih mantap.
Diskusi sering diejek sebagai arena omong besar dari orang-orang
yang tak pernah menghasilkan apa-apa, karena sibuk bicara.
Tetapi diskusi juga seperti vitamin yang mutlak dibutuhkan,
kendati dalam jumlah yang pas saja.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini