KANTORNYA di samping Istana Merdeka, jalan Merdeka Utara 17.
Sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung kamarnya di lantai dua,
naik turun taAgga sejumlah lebih dari 20 trap.
Sudah berusia 68 tahun dan rambut sudah memutih semua. Tapi
Wilopo hadir tiap hari sejak jam 9 sampai jam 14. Meski
anggota-anggota DPA sendiri (seluruhnya 22 orang) tidak selalu
ngantor setiap hari. Bahkan tak jarang anggota Badan Pekerja ada
yang cukup datang setiap Kamis - waktu tetap rapat Badan
pekerja. Kecuali kalau kemudian masalahnya tak selesai
dibicarakan sehari itu.
Meski untuk jabatan itu merasa sudah kecapean, sesungguhnyalah
ia masih segar-bugar. Soalnya: setiap pagi ia rajin aerobics
sekitar rumahnya, jalan Sriwijaya 20 Kebayoran Baru. Sehabis
sembahyang subuh, ia jalan kaki dari jalan Sriwijaya belok ke
jalan Mataram, masuk jalan Pattimura lantas pulang.
Tanya: Bapak diangkat jadi ketua DPA tahun 1968. Jadi sudah dua
kali masa jabatan. Sekarang hampir 10 tahun. Bagaimana kesan
Bapak?
Jawab: Puas dan tidak puas. Puas, karena setelah kurang tenaga
duduk dalam jabatan eksekutif, saya toh masih punya kesempatan
mengikuti bagaimana kita membangun negara dan membina bangsa:
memberi nasihat kepada eksekutif -- diminta atau tidak diminta.
Tidak puas, karena tugas dan komposisi DPA saya anggap masih
kurang. Pada akhir masa jabatan tahun depan, saya akan
menyampaikan memorandum kepada kepala negara tentang bagaimana
sebaiknya tugas DPA dan bagaimana komposlsmya. Tunggu saja
nanti. Itu tak bisa saya ceritakan sekarang, lebih-lebih kepada
saudara, karena jelas harus disampaikan kepada kepala negara
lebihdulu .
Kulit Pisang
Kedudukan DPA sekarang sebenarnya jauh lebih jelas ketimbang DPA
di masa revolusi, pada tahun-tahun pertama Rl berdiri. Juga DPA
di zaman demokrasi terpimpin. Di masa revolusi rnenurut Wilopo,
"kedudukan DPA samar-samar". Sebab Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat, waktu itu cukup kuat. Tapi pada zaman demokrasi
terpimpin, DPA (yang ketika itu disebut Dewan Nasional) malah
bekerja kelewat jauh, sampai-sampai ikut menentukan hal-hal,
yang sebenarnya lebih merupakan pelaksanaan satu sikap politik.
Misalnya turut merumuskan apa yang disebut komando-komando
rakyat seperti Dwikora untuk mengganyang Malaysia. Sekarang
kedudukan DPA lebih jelas, meski UUD '45 sendiri hanya
menyebutnya dalam satu pasal saja.
(Tahun lima puluhan DPA tidak dikenal dalam ketatanegaraan,
karena UUDS 1950 menggariskansistim pemerintahan dengan kabinet
parlementer. DPA hanya ada dalam rangkaian kabinet presidentil).
Sejak 1968, ada beberapa rekomendasi yang disampaikan DPA
pimpinan Wilopo kepada pemerintah. Antara lain mengenai
pemberantasan korupsi, soal Pertamina, politik luar-negeri
sesudah masalah Vietnam. Juga mengenai Timor Timur.
Rekomendasi-rekomendasi itu diputuskan oleh sidang pleno DPA
yag acaranya disiapkan sebelumnya oleh Badan Pekerja.
T: Seberapa jauh satan-saran DPA mendapat perhatian pemerintah?
J: Soalnya bukan seberapa jauh saran DPA diperhatikan. Tapi yang
jelas, banyak hal yang dilaksanakan pemerintah ternyata sama
dengan usul yang kami sampaikan. Contohnya, ya mengenai hal-hal
yang disebut dalam rekomendasi-rekomendasi tadi.
T: Tentang komersialisasi jabatan. Samakah itu dengan korupsi
atau bagaimana?
J: Itu salah satu corak korupsi. Betapapun meman harus dikikis.
Saya gembira, pemerintah sepenuhnya sadar.
Menurut Wilopo, untuk melaksanakan pembangunan diperlukan
pemerintahan yang kuat. Dan parlemen yang kuat pula, hingga
keseimbangan tercapai. "Karena itu saya berharap: dengan
pemilu, keseimbangan ini bisa dicapai", ucapnya.
T: Jadi parlemen kita sekarang ini tidak kuat?
J: Ya. Misalnya terlambat memberi peringatan kepada pemerintah
soal Pertamina.
Yang dimaksud dengan parlemen kuat, menurut Wilopo, tidaklah
harus berarti bisa dengan mudah "mempermainkan" pemerintah. Ia
serdiri sejak dulu sering mengemukakan pandangan tentang
perlunya kekuatan-kekuatan sosial politik diringkaskan. Jumlah
yang ideal tak sempat ia pikirkan. Multi partai seperti pada
masa menjelang pemilu 195 5, menurut Wilopo merupakan sebab
kelemahan ketatanegaraan kita. Mengutip kata-kata Wilopo
sendiri, waktu itu soal kulit pisang saja bisa menggelincirkan
pemerintah atau kabinet. "Mana bisa kita membangun kalau kabinet
misalnya cuma berumur 6 bulan?".
Tanjung Morawa
Tapi Wilopo pernah bertahan memimpin kabinet sampai 17 bulan.
Mewakili PNI, sebagai perdana menteri ia bekerjasama dengan
Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi yang duduk sebagai wakil.
Koalisi itu dimungkinkan hanya karena PNI dan Masyumi dianggap
sebagai dua terbesar. Toh karena masih banyak "partai gurem" tak
kebagian kursi, kesulitan sering terjadi. Tapi kabinet koalisi
PNI-Masyumi jatuh bukan lantaran gangguan "partai gurem"
melainkan beda pendapat antara PNI dan Masyumi sendiri dalam
kasus Tanjung Morawa.
Waktu itu ada sejumlah rakyat menggarap tanah bekas perkebunan
di Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Gubernur Hakim yang Masyumi
tidak setuju, lantas mengerahkan petugas yang menggunakan
traktor dan senjata. Seorang petani penggarap matl tertembak.
"PNI ingin membela korban, sedang Masyumi mempertahankan
kebijaksanaan pemerintah. Padahal tanah yang jadi sengketa belum
jelas statusnya, sedang rakyat sudah menggarapnya sejak
beberapa tahun sebelmnya", tutur Wilopo. Walhasil, karena
selisih pendapat Itulah, kabinet Wilopo-Prawoto bubar diganti
oleh pasanan All Sastroamidjojo-Mohammad Roem, masih koalisi
PNI-Masyumi. "Saya mundur-sambil mengharap pemilu 1955 bita
lebih menghasilkan keseimbangan politik yang lebih baik",
tambahnya.
Pomilu 195S menghasilkan PNl-Masyumi tetap sebagai dua
terbesar. Berpengalaman dalam keramaian yang macet seperti
itu, sesudah pemilu Wilopo lebih senang sibuk di Dewan
Konstituanto. Untuk jabatan ketua dewan itu ada dua calon.
Wilopo didukung oleh hukum "non Islam" sementara KH Mohammad
Dahlan almarhum (NU) oleh kolompok Islam.
Yang dimaksud dongan kolompok Islam waktu itu: mereka yang
menghendaki Islam sebagai dasar negara. Kelompok lain pun tidak
otomatis beragama lain. Pokoknya kelompok yang mendukung Wilopo
tidak setuju Islam sebagal dasar negara. Dalam pemilihan ketua,
Wilopo cuma mendapat kelebihan suara 15. Menurut Wilopo, "itu
merupakan angka kelebihan yang sangat tipis". Karenanya "sejak
pemilihan itu saya sudah khawatir konstituante tidak akan
berhasil menyusun konstitusi".
Betul saja. Sampai 2 tahun kemudian setelah dewan dilantik tahun
1957, konstituante belum berhasil merumuskan undang-undang
dasar. Bung Karno pun turun tangan, menggunakan semacarn
kekerasan. Dengan dokrit 5 Juli 1959, konstituante dibubarkan,
sementara UUDS tidak berlaku, berlakunya kembali UUD '45.
Disusul dengan beberapa tindakan, terutama setelah pada 17
Agustus 1959 Bung Karno berpidato dengan judul "Penemuan Kembali
Revolusi Kita" alias Manipol yang terkenal itu. "Sejak itu saya
nganggur.
Baru 1968 kembali ke lembaga pemerintahan, ditunjuk oleh
Presiden Soeharto menjadi ketua DPA sampai sekarang".
Betapapun, "saya bangga pernah jadi ketua Konstituanto". Kenapa?
"Sebab dalam dearah ropublik, baru sekali itu ada Konstituante",
katanya.
Jumlah 3 kekuatan sosial politik sekarang ini - Partai
Persatuan Pembangunan, Golongan Karya dan Partal Demokrasi
Indonosia - monurut Wilopo memenuhi syarat minimal demokrasi.
Demokrasi, menurut Wilopo "ya demokrasi". Dari kata-katanya
dapat disimpulkan, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang
sesuai untuk negeri ini. Dengan demokrasi macam terakhir ini
pemerintah dan parlemen. bisa sama sama kuat. Satu hal, baginya,
demokrasi Pancasila masih dalam taraf pertumbuhan. Sesudah
pemilu 1977, Wilopo berharap pengertian demokrasi Pancasila bisa
lebih mendekati bentuknya.
"Non-Koperasi"
Wilopo lahir 1909 di Purworejo, anak seorang karyawan pabrik
gula di sana. Sesudah menamatkan AMS-B 1930 di Yogyakarta
(sebelumnya HIS 1923 di Purworejo dan Mulo 1927 di Magelang),
semula Wilopo masuk Technsche Hoe School (Sekolah Tinggi
Teknik, ITB sekarang) di Bandung. Niatnya jadi insinyur gagal
karena udara Bandung yang basah sering membuatnya asma. Ia tak
sanggup menyelesaikan ujian-ujian. Setelah 1 tahun kuliah, ia
mencoba jadi guru Taman Siswa di Sukabumi yang berhawa sejuk
tapi tidak lembab. Karenanya ia sempat 2 tahun tinggal di sana
sebelum akhirnya kuliah di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi
Hukum) di Jakarta tahun 1933. Sejak muda senantiasa bersikap
"non-koperasi" dengan pemerintah penjajah, setamat sekolah hukum
tahun 1939 ia menjadi pokrol bambu alias advokat.
Perkara-perkara berat dikerjakan almarhum Muhammad Yamin, yang
enteng-enteng oleh Wilopo.
Sejak muda ia sudah berkecimpung dalam pergerakan. Setelah Jong
Java kemudian Indonesia Muda, lantas Partindo. Ketika kuliah di
Bandung, meski sudah jadi anggota Partindo, tapi duduk sebagai
pengurus baru tahun 1932 di Sukabumi dengan jabatan pertama
ketua cabang.
Setelah Partindo dibubarkan pemerintah Belanda akhir 1930-an,
Wilopo mengajar di Perguruan Rakyat dan Taman Siswa Jakarta.
Mr. Sumanang memimpin Perguruan Rakyat keseluruhan, sedang
Wilopo selain mengajar ilmu bumi ekonomi sekaligus memimpin
SMA-nya. Tapi ia juga masih merangkap sebagai guru Kweekschool
(pendidikan guru Perguruan Rakyat) yang di antara murid-muridnya
terdapat Sukarni dan Pandu Kartawiguna - dua-duanya kemudian
tokoh Murba, kini sudah almarhum. Sampai 1938 ia masih
berkecimpung dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan Institut
Jurnalistik bersama Mr. Sumanang dan Maruto Nitimiharjo.
Sumanang mengajar ekonomi, Maruto sejarah dan Wilopo mengajar
hal-hal yang bersangkutan dengan "ranjau pers".
Wilopo suka menulis. Artikel-artikelnya (bersifat politik)
dimuat dalam penerbitan Indonesia Muda. Dalam koran Indonesia
Raya yang diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Pelajar Indonesia
(PPPI) ia bahkan jadi redaksi. Salah seorang murid sekolah
jurnalistiknya adalah Anwar Tjokroaminoto almarhum, kendati yang
bersangkutan waktu itu sudah aktip sebagai wartawan harian
Pemandangan. Zaman Jepang, baik Perguruan Rakyat maupun Institut
Jurnalistik, bubar.
Dalam dunia pergerakan, ketika Partindo bubar dan Bung Karno
dipenjarakan di Sukamiskin Bandung, Wilopo mendirikan Gerundo
(Gerakan Rakyat Indonesia) di Jakarta bersama Mr Sartono dan dr.
Adnan Kapau Gani. Pada masa Perang Dunia II, ketika Jepang masuk
Kuala Lumpur, Gerindo mengeluarkan maklumat mengecam fasisme.
Tak ayal, ketika Jepang masuk Indonesia, Wilopo ditangkap dan
dibawa ke markas Kenpeitai di jalan Medan Merdeka Barat
sekarang. Markas Kenpeitai yang kini ditempati Departemen Hankam
itu, sebelumnya adalah Sekolah Tinggi Hukum -- almamater Wilopo
sendiri. "Saya ditallan cuma sehari, persis di kamar tempat
kuliah saya dulu", katanya seraya tertawa.
Menurut Wilopo yang agaknya membantu dia bebas dari Kenpeitai
adalah Mr. Soedjono, mertua Sawito. Beberapa waktu sebelum
Jepang datang, Soedjono pergi ke Jepang mengajar. Waktu itu
Soedjono anak buah Sartono. Ketika Jepang masuk, Soedjono
ternyata jadi orang besar Jepang dengan pangkat kolonel. Merasa
pernah bekerjasama dengan Sartono dan Sartono adalah kawan
Wilopo, Wilopo pun bisa lolos atas bantuan Soedjono. Syaratnya:
tidak mengadakan gerakan. Sartono sendiri meski sama-sama orang
Gerindo, bebas dari penangkapan Kenpeitai. Adapun AK Gani
nasibnya lebih buruk. Ia ditahan beberapa waktu di Palembang dan
disiksa.
Di zaman Jepang Wilopo tak ketinggalan memasuki perkumpulan
Poetera (Pusat Tenaga Rakyat) pimpinan Bung Karno dan Barisan
Pelopor. "Ke manamana saya sering bawa pistol, tapi sesungguhnya
saya tidak sefaham dengan pimpinan Barisan Pelopor: dr Muwardi",
katanya. Sementara Barisan Pelopor mengisyaratkan kekerasan atau
setidaknya pertempuran fisik, Wilopo lebih menekankan perlawanan
politik.
Pernah terjadi, di zaman pendudukan Inggeris, setelah Jepang
bertekuk lutut pada Sekutu, Wilopo berurusan ke markas tentara
yang juga sebelumnya adalah markas Kenpeitai. Ketika keluar, ada
seorang Indo Belanda. Terjadi sengketa mulut. Wilopo yang selalu
membawa pistol itu lantas mengeluarkan senjatanya. Si Indo
pingsan. Bukan ditembak, tapi diketok dengan popornya -- sebab
"saya tidak bisa menembak" - tutur Wilopo.
Ketika RI diproklamirkan, ketika itu menurut Wilopo, suasana
lebih banyak "dikuasai orang kini" -- dalam hal ini Syahrir dan
kawan-kawan. Maka Wilop ditunjuk Bung Karno mendampingi Suwiryo
yang waktu itu Walikota Jakarta. Kerjanya ya sebagai pendamping
saja, meski kemudian mendapat formalitas sebagai kepala Jawatan
Penerangan Kota. Kecuali itu ia menjadi anggota KNIP Pusat yang
berkedudukan di Yogyakarta. Ia mondar-mandir Jakarta-Yogya.
Tahun 1946 banyak sembunyi di Cikampek, karena Inggeris pernah
menyebut Wilopo tersangkut Perkara kriminil yang rupanya
sehubungan dengan insiden memukul Indo dengan popor pistol
hingga pingsan itu.
Setelah persetujuan Linggarjati, Wilopo tampil sebagai ketua
Komisi Perburuhan. Berturut-turut kemudian ketika Mr Maria Ulfah
(TEMPO, 26 Pebruari) jadi Menteri Sosial, Wilopo diangkat
sebagai kepala bagian (kemudian ditingkatkan menjadi jawatan)
Perburuhan. Tahun 1947 sebagai Menteri Muda Perburuhan dengan
Menterinya dra SK Trimurti -- sementara Amir Syarifuddin Perdana
Menteri.
Gara-gara persetujuan Renville, kabinet Amir Syarifuddin jatuh.
Hatta mengambil oper pemerintahan. Trimurti masih Menteri
Perburuhan, Wilopo sekjennya. "Segala peraturan
perundang-undangan mengenai perburuhan saya yang bikin. Yu Tri
cuma tinggal neken saja", katanya.
Tahun 1948 waktu Belanda menyerang Yogya, Wilopo dipenjarakan di
Wirogunan. Belakangan terjadi KMB. "Semua penghuni Wirogunan
sepakat menolak KMB. Makanya ketika saya keluar dan dikirim
untuk mengikuti konperensi itu di Nederland, saya menolak",
tuturnya. Wilopo baru bersedia pergi ikut sebagai penasihat
delegasi lndonesia ke KMB itu setelah pemerintah mengirimnya
dengan embel-embel "ditugaskan untuk mempelajari soal-soal
perburuhan di negeri Belanda". Jadi ia lebih banyak belajar
daripada mengikuti konperensi.
Tahun 1950, pada Kabinet Hatta, Wilopo ditunjuk sebagai Menteri
Perburuhan. Selanjutnya sebelum memangku jabatan Perdana
Menteri, 1952-1953, lebih dulu Wilopo menjadi Menteri
Perekonomian pada Kabinet Sukiman Wirjosandjojo dari Masyumi.
Wilopo 4 bersaudara. Ia tertua. Kedua dan ketiga laki-laki tapi
keduanya sudah meninggal. Yang keempat jadi isteri seorang
penjabat Departemen PUTL sekarang. Hubungan antara Wilopo dan
saudaranya itu pada mulanya tidak begitu intim. Bukan lantaran
apa-apa. Soalnya cuma: sebelum lahir, Wilopo sudah "dipesan"
oleh kakak ibunya. "Pak De saya itu tak punya anak. Beliau
mantri guru, kepala Sekolah Rakyat pribumi: Hollands Inlands
School. Beliau sangat berpengaruh pada orangtua saya. Karenanya
meskipun saya anak pertama, saya toh kemudian boleh saja diambil
anak oleh Pak De itu".
Di rumahnya yang lumayan besar di jalan Sriwijaya no 20
Kebayoran Baru, selain tinggal bersarna isteri yang dtnikahinya
40 tahun lalu, juga berikut seorang anak, dua mantu dan 5 cucu.
Anaknya 2 orang, keduatuanya wanita. Yang pertama seorang
dokter, meninggal 2 tahun lalu dan meninggalkan 4 anak - di
samping tentu saja seorang laki-laki menantu Wilopo. Anak Wilopo
kedua sarjana psikologi, kini bekerja di Unilever. Suaminya
sarjana ekonomi bekerja di Bank Dagang Negara. Dari anak kedua
itu Wilopo mendapat cucu seorang.
Ternyata, kakek Wilopo juga senang nonton film. Setiap ada
undangan tak pernah dilewatkannya. Film seri TV-RI Mannix
termasuk kesukaannya. Sejauh itu, ia tak mau mengemukakan
komentar tentang film pada umumnya, juga film Indonesia.
"Pokoknya saya senang, asal tidak kelewat serem dan
jotos-jotosan", katanya. Soal faham Marhaenisme, Marhaenisme
ajaran Bung Karno dan sebagainya, ia pun tak mau banyak bicara.
"Itu kan sudah banyak ditulis orang. Yang pasti sejak dulu saya
termasuk orang yang reasonable". Dulu, dalam tubuh PNI ada
"sayap" Sidik Djojosukarto dan "sayap" Wilopo. Komentarnya:
"Bukan sayap-sayapan, yang pasti saya itu yang berpikir
reasonable". Pada awal kemerdekaan, Wilopo bersama Suwiryo
merintis Serindo (Serikat Rakyat Indonesia). Tak lama. Ketika
ada kongres bekas orang Partindo di Kediri di mana Wilopo
sendiri tidak ikut, PNI berdiri. Serindo dengan sendirinya tak
dilanjutkan. Ia memilih diam. PNI dipimpin oleh Sidik
Djojosukarto yang oleh Wilopo kemudian dianggap punya cara
berpikir yang agak lain. Sampai terjadi semacam sayapsayapan -
meski oleh Wilopo dikatakan tak sejauh itu.
Cerita tentar PNI yang diinfiltrir PKI, begini. Wilopo tak suka
dengan istilah "infiltrasi" PKI itu. Katanya, Bung Karno dulu
menginginkan sebuah partai dengan kekuatan yang hebat. Bung
Karno menilai PKI yang sebenarnya merupakan "anak tiri" (yang
"anak kandung" adalah PNI) sebagai ukuran kehebatan. Itulah
sebabnya Surachman bergerak di PNI. Adapun peleburan PNI ke
dalam PDI bersama beberapa partai lain seperti sekarang ini,
diterima Wilopo sebagai satu kenyataan dalam konteks pemikiran
bahwa ia senang dengan keterbatasan jumlah partai.
Kebebasan pers? "Memang belum sreg. Tapi hal itu kan bisa
diselesaikan dengan dialog terus-menerus antara pers dengan
pemerintah, misalnya dengan Kas Kopkamtib", kata Wilopo, yang
menganggap pers jauh lebih beruntung ketimbang politisi. Pers
bisa berdialog lewat tulisan setiap hari, sedang politisi "yah.
kita harus bertamu ke penjabat penjabat itu" . . .
Tentang Indonesia sekarang, Wilopo bicara singkat: "Masalah
penting di Indonesia sekarang", katanya, "ialah adalah jurang
perbedaan antara si kaya dan si miskin. Peningkatan GIP maupun
perataan pembangunan dan hasil-hasilnya, sudah cukup baik.
Setiap kebijaksanaan menciutkan jurang perbedaan dalah baik".
Ia pun menekankan agar perhatian bbih ditujukan pada 40%
penduduk yang berpenghasilan paling rendah. "Dari yang 40% itu
ada yang penghasilannya tak cukup untuk hidup, hanya cukup untuk
tidak mati. Meminjam kata-kata Mc Namara: absolute poverty",
tambahnya.
Dua pelukis kesayangan Wilopo adalah Affandi dan Bonnet. Tapi
tak semua karya Affandi ia suka. "Pertempuran seperti ayam jago
saya tak senang. Saya suka yang menggambarkan kultur pedesaan".
Di rumahnya ada lukisan Affandi yang menggambarkan sebuab desa
yang ditinggal pergi penghuniya. Suasana kacau sampai anjing
pun kelaparan. "Inilah yang saya sukai. Di tengah kekacauan itu
pohonan menampakkan dirinya", katanya.
Pohon itu mungkin seperti orang tua ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini