Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Wilopo & pohan di tengah kekacauan

Wawancara tempo dengan wilopo selama menjabat sebagai ketua dpa. dan kedudukan dpa pada masa sekarang dan di masa revolusi.

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANTORNYA di samping Istana Merdeka, jalan Merdeka Utara 17. Sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung kamarnya di lantai dua, naik turun taAgga sejumlah lebih dari 20 trap. Sudah berusia 68 tahun dan rambut sudah memutih semua. Tapi Wilopo hadir tiap hari sejak jam 9 sampai jam 14. Meski anggota-anggota DPA sendiri (seluruhnya 22 orang) tidak selalu ngantor setiap hari. Bahkan tak jarang anggota Badan Pekerja ada yang cukup datang setiap Kamis - waktu tetap rapat Badan pekerja. Kecuali kalau kemudian masalahnya tak selesai dibicarakan sehari itu. Meski untuk jabatan itu merasa sudah kecapean, sesungguhnyalah ia masih segar-bugar. Soalnya: setiap pagi ia rajin aerobics sekitar rumahnya, jalan Sriwijaya 20 Kebayoran Baru. Sehabis sembahyang subuh, ia jalan kaki dari jalan Sriwijaya belok ke jalan Mataram, masuk jalan Pattimura lantas pulang. Tanya: Bapak diangkat jadi ketua DPA tahun 1968. Jadi sudah dua kali masa jabatan. Sekarang hampir 10 tahun. Bagaimana kesan Bapak? Jawab: Puas dan tidak puas. Puas, karena setelah kurang tenaga duduk dalam jabatan eksekutif, saya toh masih punya kesempatan mengikuti bagaimana kita membangun negara dan membina bangsa: memberi nasihat kepada eksekutif -- diminta atau tidak diminta. Tidak puas, karena tugas dan komposisi DPA saya anggap masih kurang. Pada akhir masa jabatan tahun depan, saya akan menyampaikan memorandum kepada kepala negara tentang bagaimana sebaiknya tugas DPA dan bagaimana komposlsmya. Tunggu saja nanti. Itu tak bisa saya ceritakan sekarang, lebih-lebih kepada saudara, karena jelas harus disampaikan kepada kepala negara lebihdulu . Kulit Pisang Kedudukan DPA sekarang sebenarnya jauh lebih jelas ketimbang DPA di masa revolusi, pada tahun-tahun pertama Rl berdiri. Juga DPA di zaman demokrasi terpimpin. Di masa revolusi rnenurut Wilopo, "kedudukan DPA samar-samar". Sebab Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, waktu itu cukup kuat. Tapi pada zaman demokrasi terpimpin, DPA (yang ketika itu disebut Dewan Nasional) malah bekerja kelewat jauh, sampai-sampai ikut menentukan hal-hal, yang sebenarnya lebih merupakan pelaksanaan satu sikap politik. Misalnya turut merumuskan apa yang disebut komando-komando rakyat seperti Dwikora untuk mengganyang Malaysia. Sekarang kedudukan DPA lebih jelas, meski UUD '45 sendiri hanya menyebutnya dalam satu pasal saja. (Tahun lima puluhan DPA tidak dikenal dalam ketatanegaraan, karena UUDS 1950 menggariskansistim pemerintahan dengan kabinet parlementer. DPA hanya ada dalam rangkaian kabinet presidentil). Sejak 1968, ada beberapa rekomendasi yang disampaikan DPA pimpinan Wilopo kepada pemerintah. Antara lain mengenai pemberantasan korupsi, soal Pertamina, politik luar-negeri sesudah masalah Vietnam. Juga mengenai Timor Timur. Rekomendasi-rekomendasi itu diputuskan oleh sidang pleno DPA yag acaranya disiapkan sebelumnya oleh Badan Pekerja. T: Seberapa jauh satan-saran DPA mendapat perhatian pemerintah? J: Soalnya bukan seberapa jauh saran DPA diperhatikan. Tapi yang jelas, banyak hal yang dilaksanakan pemerintah ternyata sama dengan usul yang kami sampaikan. Contohnya, ya mengenai hal-hal yang disebut dalam rekomendasi-rekomendasi tadi. T: Tentang komersialisasi jabatan. Samakah itu dengan korupsi atau bagaimana? J: Itu salah satu corak korupsi. Betapapun meman harus dikikis. Saya gembira, pemerintah sepenuhnya sadar. Menurut Wilopo, untuk melaksanakan pembangunan diperlukan pemerintahan yang kuat. Dan parlemen yang kuat pula, hingga keseimbangan tercapai. "Karena itu saya berharap: dengan pemilu, keseimbangan ini bisa dicapai", ucapnya. T: Jadi parlemen kita sekarang ini tidak kuat? J: Ya. Misalnya terlambat memberi peringatan kepada pemerintah soal Pertamina. Yang dimaksud dengan parlemen kuat, menurut Wilopo, tidaklah harus berarti bisa dengan mudah "mempermainkan" pemerintah. Ia serdiri sejak dulu sering mengemukakan pandangan tentang perlunya kekuatan-kekuatan sosial politik diringkaskan. Jumlah yang ideal tak sempat ia pikirkan. Multi partai seperti pada masa menjelang pemilu 195 5, menurut Wilopo merupakan sebab kelemahan ketatanegaraan kita. Mengutip kata-kata Wilopo sendiri, waktu itu soal kulit pisang saja bisa menggelincirkan pemerintah atau kabinet. "Mana bisa kita membangun kalau kabinet misalnya cuma berumur 6 bulan?". Tanjung Morawa Tapi Wilopo pernah bertahan memimpin kabinet sampai 17 bulan. Mewakili PNI, sebagai perdana menteri ia bekerjasama dengan Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi yang duduk sebagai wakil. Koalisi itu dimungkinkan hanya karena PNI dan Masyumi dianggap sebagai dua terbesar. Toh karena masih banyak "partai gurem" tak kebagian kursi, kesulitan sering terjadi. Tapi kabinet koalisi PNI-Masyumi jatuh bukan lantaran gangguan "partai gurem" melainkan beda pendapat antara PNI dan Masyumi sendiri dalam kasus Tanjung Morawa. Waktu itu ada sejumlah rakyat menggarap tanah bekas perkebunan di Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Gubernur Hakim yang Masyumi tidak setuju, lantas mengerahkan petugas yang menggunakan traktor dan senjata. Seorang petani penggarap matl tertembak. "PNI ingin membela korban, sedang Masyumi mempertahankan kebijaksanaan pemerintah. Padahal tanah yang jadi sengketa belum jelas statusnya, sedang rakyat sudah menggarapnya sejak beberapa tahun sebelmnya", tutur Wilopo. Walhasil, karena selisih pendapat Itulah, kabinet Wilopo-Prawoto bubar diganti oleh pasanan All Sastroamidjojo-Mohammad Roem, masih koalisi PNI-Masyumi. "Saya mundur-sambil mengharap pemilu 1955 bita lebih menghasilkan keseimbangan politik yang lebih baik", tambahnya. Pomilu 195S menghasilkan PNl-Masyumi tetap sebagai dua terbesar. Berpengalaman dalam keramaian yang macet seperti itu, sesudah pemilu Wilopo lebih senang sibuk di Dewan Konstituanto. Untuk jabatan ketua dewan itu ada dua calon. Wilopo didukung oleh hukum "non Islam" sementara KH Mohammad Dahlan almarhum (NU) oleh kolompok Islam. Yang dimaksud dongan kolompok Islam waktu itu: mereka yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Kelompok lain pun tidak otomatis beragama lain. Pokoknya kelompok yang mendukung Wilopo tidak setuju Islam sebagal dasar negara. Dalam pemilihan ketua, Wilopo cuma mendapat kelebihan suara 15. Menurut Wilopo, "itu merupakan angka kelebihan yang sangat tipis". Karenanya "sejak pemilihan itu saya sudah khawatir konstituante tidak akan berhasil menyusun konstitusi". Betul saja. Sampai 2 tahun kemudian setelah dewan dilantik tahun 1957, konstituante belum berhasil merumuskan undang-undang dasar. Bung Karno pun turun tangan, menggunakan semacarn kekerasan. Dengan dokrit 5 Juli 1959, konstituante dibubarkan, sementara UUDS tidak berlaku, berlakunya kembali UUD '45. Disusul dengan beberapa tindakan, terutama setelah pada 17 Agustus 1959 Bung Karno berpidato dengan judul "Penemuan Kembali Revolusi Kita" alias Manipol yang terkenal itu. "Sejak itu saya nganggur. Baru 1968 kembali ke lembaga pemerintahan, ditunjuk oleh Presiden Soeharto menjadi ketua DPA sampai sekarang". Betapapun, "saya bangga pernah jadi ketua Konstituanto". Kenapa? "Sebab dalam dearah ropublik, baru sekali itu ada Konstituante", katanya. Jumlah 3 kekuatan sosial politik sekarang ini - Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya dan Partal Demokrasi Indonosia - monurut Wilopo memenuhi syarat minimal demokrasi. Demokrasi, menurut Wilopo "ya demokrasi". Dari kata-katanya dapat disimpulkan, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai untuk negeri ini. Dengan demokrasi macam terakhir ini pemerintah dan parlemen. bisa sama sama kuat. Satu hal, baginya, demokrasi Pancasila masih dalam taraf pertumbuhan. Sesudah pemilu 1977, Wilopo berharap pengertian demokrasi Pancasila bisa lebih mendekati bentuknya. "Non-Koperasi" Wilopo lahir 1909 di Purworejo, anak seorang karyawan pabrik gula di sana. Sesudah menamatkan AMS-B 1930 di Yogyakarta (sebelumnya HIS 1923 di Purworejo dan Mulo 1927 di Magelang), semula Wilopo masuk Technsche Hoe School (Sekolah Tinggi Teknik, ITB sekarang) di Bandung. Niatnya jadi insinyur gagal karena udara Bandung yang basah sering membuatnya asma. Ia tak sanggup menyelesaikan ujian-ujian. Setelah 1 tahun kuliah, ia mencoba jadi guru Taman Siswa di Sukabumi yang berhawa sejuk tapi tidak lembab. Karenanya ia sempat 2 tahun tinggal di sana sebelum akhirnya kuliah di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta tahun 1933. Sejak muda senantiasa bersikap "non-koperasi" dengan pemerintah penjajah, setamat sekolah hukum tahun 1939 ia menjadi pokrol bambu alias advokat. Perkara-perkara berat dikerjakan almarhum Muhammad Yamin, yang enteng-enteng oleh Wilopo. Sejak muda ia sudah berkecimpung dalam pergerakan. Setelah Jong Java kemudian Indonesia Muda, lantas Partindo. Ketika kuliah di Bandung, meski sudah jadi anggota Partindo, tapi duduk sebagai pengurus baru tahun 1932 di Sukabumi dengan jabatan pertama ketua cabang. Setelah Partindo dibubarkan pemerintah Belanda akhir 1930-an, Wilopo mengajar di Perguruan Rakyat dan Taman Siswa Jakarta. Mr. Sumanang memimpin Perguruan Rakyat keseluruhan, sedang Wilopo selain mengajar ilmu bumi ekonomi sekaligus memimpin SMA-nya. Tapi ia juga masih merangkap sebagai guru Kweekschool (pendidikan guru Perguruan Rakyat) yang di antara murid-muridnya terdapat Sukarni dan Pandu Kartawiguna - dua-duanya kemudian tokoh Murba, kini sudah almarhum. Sampai 1938 ia masih berkecimpung dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan Institut Jurnalistik bersama Mr. Sumanang dan Maruto Nitimiharjo. Sumanang mengajar ekonomi, Maruto sejarah dan Wilopo mengajar hal-hal yang bersangkutan dengan "ranjau pers". Wilopo suka menulis. Artikel-artikelnya (bersifat politik) dimuat dalam penerbitan Indonesia Muda. Dalam koran Indonesia Raya yang diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) ia bahkan jadi redaksi. Salah seorang murid sekolah jurnalistiknya adalah Anwar Tjokroaminoto almarhum, kendati yang bersangkutan waktu itu sudah aktip sebagai wartawan harian Pemandangan. Zaman Jepang, baik Perguruan Rakyat maupun Institut Jurnalistik, bubar. Dalam dunia pergerakan, ketika Partindo bubar dan Bung Karno dipenjarakan di Sukamiskin Bandung, Wilopo mendirikan Gerundo (Gerakan Rakyat Indonesia) di Jakarta bersama Mr Sartono dan dr. Adnan Kapau Gani. Pada masa Perang Dunia II, ketika Jepang masuk Kuala Lumpur, Gerindo mengeluarkan maklumat mengecam fasisme. Tak ayal, ketika Jepang masuk Indonesia, Wilopo ditangkap dan dibawa ke markas Kenpeitai di jalan Medan Merdeka Barat sekarang. Markas Kenpeitai yang kini ditempati Departemen Hankam itu, sebelumnya adalah Sekolah Tinggi Hukum -- almamater Wilopo sendiri. "Saya ditallan cuma sehari, persis di kamar tempat kuliah saya dulu", katanya seraya tertawa. Menurut Wilopo yang agaknya membantu dia bebas dari Kenpeitai adalah Mr. Soedjono, mertua Sawito. Beberapa waktu sebelum Jepang datang, Soedjono pergi ke Jepang mengajar. Waktu itu Soedjono anak buah Sartono. Ketika Jepang masuk, Soedjono ternyata jadi orang besar Jepang dengan pangkat kolonel. Merasa pernah bekerjasama dengan Sartono dan Sartono adalah kawan Wilopo, Wilopo pun bisa lolos atas bantuan Soedjono. Syaratnya: tidak mengadakan gerakan. Sartono sendiri meski sama-sama orang Gerindo, bebas dari penangkapan Kenpeitai. Adapun AK Gani nasibnya lebih buruk. Ia ditahan beberapa waktu di Palembang dan disiksa. Di zaman Jepang Wilopo tak ketinggalan memasuki perkumpulan Poetera (Pusat Tenaga Rakyat) pimpinan Bung Karno dan Barisan Pelopor. "Ke manamana saya sering bawa pistol, tapi sesungguhnya saya tidak sefaham dengan pimpinan Barisan Pelopor: dr Muwardi", katanya. Sementara Barisan Pelopor mengisyaratkan kekerasan atau setidaknya pertempuran fisik, Wilopo lebih menekankan perlawanan politik. Pernah terjadi, di zaman pendudukan Inggeris, setelah Jepang bertekuk lutut pada Sekutu, Wilopo berurusan ke markas tentara yang juga sebelumnya adalah markas Kenpeitai. Ketika keluar, ada seorang Indo Belanda. Terjadi sengketa mulut. Wilopo yang selalu membawa pistol itu lantas mengeluarkan senjatanya. Si Indo pingsan. Bukan ditembak, tapi diketok dengan popornya -- sebab "saya tidak bisa menembak" - tutur Wilopo. Ketika RI diproklamirkan, ketika itu menurut Wilopo, suasana lebih banyak "dikuasai orang kini" -- dalam hal ini Syahrir dan kawan-kawan. Maka Wilop ditunjuk Bung Karno mendampingi Suwiryo yang waktu itu Walikota Jakarta. Kerjanya ya sebagai pendamping saja, meski kemudian mendapat formalitas sebagai kepala Jawatan Penerangan Kota. Kecuali itu ia menjadi anggota KNIP Pusat yang berkedudukan di Yogyakarta. Ia mondar-mandir Jakarta-Yogya. Tahun 1946 banyak sembunyi di Cikampek, karena Inggeris pernah menyebut Wilopo tersangkut Perkara kriminil yang rupanya sehubungan dengan insiden memukul Indo dengan popor pistol hingga pingsan itu. Setelah persetujuan Linggarjati, Wilopo tampil sebagai ketua Komisi Perburuhan. Berturut-turut kemudian ketika Mr Maria Ulfah (TEMPO, 26 Pebruari) jadi Menteri Sosial, Wilopo diangkat sebagai kepala bagian (kemudian ditingkatkan menjadi jawatan) Perburuhan. Tahun 1947 sebagai Menteri Muda Perburuhan dengan Menterinya dra SK Trimurti -- sementara Amir Syarifuddin Perdana Menteri. Gara-gara persetujuan Renville, kabinet Amir Syarifuddin jatuh. Hatta mengambil oper pemerintahan. Trimurti masih Menteri Perburuhan, Wilopo sekjennya. "Segala peraturan perundang-undangan mengenai perburuhan saya yang bikin. Yu Tri cuma tinggal neken saja", katanya. Tahun 1948 waktu Belanda menyerang Yogya, Wilopo dipenjarakan di Wirogunan. Belakangan terjadi KMB. "Semua penghuni Wirogunan sepakat menolak KMB. Makanya ketika saya keluar dan dikirim untuk mengikuti konperensi itu di Nederland, saya menolak", tuturnya. Wilopo baru bersedia pergi ikut sebagai penasihat delegasi lndonesia ke KMB itu setelah pemerintah mengirimnya dengan embel-embel "ditugaskan untuk mempelajari soal-soal perburuhan di negeri Belanda". Jadi ia lebih banyak belajar daripada mengikuti konperensi. Tahun 1950, pada Kabinet Hatta, Wilopo ditunjuk sebagai Menteri Perburuhan. Selanjutnya sebelum memangku jabatan Perdana Menteri, 1952-1953, lebih dulu Wilopo menjadi Menteri Perekonomian pada Kabinet Sukiman Wirjosandjojo dari Masyumi. Wilopo 4 bersaudara. Ia tertua. Kedua dan ketiga laki-laki tapi keduanya sudah meninggal. Yang keempat jadi isteri seorang penjabat Departemen PUTL sekarang. Hubungan antara Wilopo dan saudaranya itu pada mulanya tidak begitu intim. Bukan lantaran apa-apa. Soalnya cuma: sebelum lahir, Wilopo sudah "dipesan" oleh kakak ibunya. "Pak De saya itu tak punya anak. Beliau mantri guru, kepala Sekolah Rakyat pribumi: Hollands Inlands School. Beliau sangat berpengaruh pada orangtua saya. Karenanya meskipun saya anak pertama, saya toh kemudian boleh saja diambil anak oleh Pak De itu". Di rumahnya yang lumayan besar di jalan Sriwijaya no 20 Kebayoran Baru, selain tinggal bersarna isteri yang dtnikahinya 40 tahun lalu, juga berikut seorang anak, dua mantu dan 5 cucu. Anaknya 2 orang, keduatuanya wanita. Yang pertama seorang dokter, meninggal 2 tahun lalu dan meninggalkan 4 anak - di samping tentu saja seorang laki-laki menantu Wilopo. Anak Wilopo kedua sarjana psikologi, kini bekerja di Unilever. Suaminya sarjana ekonomi bekerja di Bank Dagang Negara. Dari anak kedua itu Wilopo mendapat cucu seorang. Ternyata, kakek Wilopo juga senang nonton film. Setiap ada undangan tak pernah dilewatkannya. Film seri TV-RI Mannix termasuk kesukaannya. Sejauh itu, ia tak mau mengemukakan komentar tentang film pada umumnya, juga film Indonesia. "Pokoknya saya senang, asal tidak kelewat serem dan jotos-jotosan", katanya. Soal faham Marhaenisme, Marhaenisme ajaran Bung Karno dan sebagainya, ia pun tak mau banyak bicara. "Itu kan sudah banyak ditulis orang. Yang pasti sejak dulu saya termasuk orang yang reasonable". Dulu, dalam tubuh PNI ada "sayap" Sidik Djojosukarto dan "sayap" Wilopo. Komentarnya: "Bukan sayap-sayapan, yang pasti saya itu yang berpikir reasonable". Pada awal kemerdekaan, Wilopo bersama Suwiryo merintis Serindo (Serikat Rakyat Indonesia). Tak lama. Ketika ada kongres bekas orang Partindo di Kediri di mana Wilopo sendiri tidak ikut, PNI berdiri. Serindo dengan sendirinya tak dilanjutkan. Ia memilih diam. PNI dipimpin oleh Sidik Djojosukarto yang oleh Wilopo kemudian dianggap punya cara berpikir yang agak lain. Sampai terjadi semacam sayapsayapan - meski oleh Wilopo dikatakan tak sejauh itu. Cerita tentar PNI yang diinfiltrir PKI, begini. Wilopo tak suka dengan istilah "infiltrasi" PKI itu. Katanya, Bung Karno dulu menginginkan sebuah partai dengan kekuatan yang hebat. Bung Karno menilai PKI yang sebenarnya merupakan "anak tiri" (yang "anak kandung" adalah PNI) sebagai ukuran kehebatan. Itulah sebabnya Surachman bergerak di PNI. Adapun peleburan PNI ke dalam PDI bersama beberapa partai lain seperti sekarang ini, diterima Wilopo sebagai satu kenyataan dalam konteks pemikiran bahwa ia senang dengan keterbatasan jumlah partai. Kebebasan pers? "Memang belum sreg. Tapi hal itu kan bisa diselesaikan dengan dialog terus-menerus antara pers dengan pemerintah, misalnya dengan Kas Kopkamtib", kata Wilopo, yang menganggap pers jauh lebih beruntung ketimbang politisi. Pers bisa berdialog lewat tulisan setiap hari, sedang politisi "yah. kita harus bertamu ke penjabat penjabat itu" . . . Tentang Indonesia sekarang, Wilopo bicara singkat: "Masalah penting di Indonesia sekarang", katanya, "ialah adalah jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Peningkatan GIP maupun perataan pembangunan dan hasil-hasilnya, sudah cukup baik. Setiap kebijaksanaan menciutkan jurang perbedaan dalah baik". Ia pun menekankan agar perhatian bbih ditujukan pada 40% penduduk yang berpenghasilan paling rendah. "Dari yang 40% itu ada yang penghasilannya tak cukup untuk hidup, hanya cukup untuk tidak mati. Meminjam kata-kata Mc Namara: absolute poverty", tambahnya. Dua pelukis kesayangan Wilopo adalah Affandi dan Bonnet. Tapi tak semua karya Affandi ia suka. "Pertempuran seperti ayam jago saya tak senang. Saya suka yang menggambarkan kultur pedesaan". Di rumahnya ada lukisan Affandi yang menggambarkan sebuab desa yang ditinggal pergi penghuniya. Suasana kacau sampai anjing pun kelaparan. "Inilah yang saya sukai. Di tengah kekacauan itu pohonan menampakkan dirinya", katanya. Pohon itu mungkin seperti orang tua ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus