Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni Rupa Sakit

Teguh Edhieyanto memamerkan lukisannya di President Hotel, akhir Maret lalu. Hariadi, pelukis kawakan mengomentarinya sebagai masih dangkal dalam hal yang inti dari obyeknya.

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SEKARANG seni rupa kita ini sakit. Kita kurang serius dalam menanggapinya. Faktor-faktor psikologis dari pertumbuhan bangsa sendiri kurang diperhatikan". Demikian tulis Harijadi 5 pelukis kawakan, dalam folder pameran Teguh Edhieyanto. Mengambil tempat di Diamond Room, President Hotel, Jakarta (29 Maret - 1 April), pelukis asal Magelang ini memamerkan 54 buah karyanya. "Dengan adanya pameran ini, kita dihadapkan pada lobang-lobang kecil di dalam penghidupan kita yang kita namakan kenyataan, di mana kita masih bisa menggali inspirasi banyak sekali yang dapat dituangkan dalam karya si seniman entah itu berbentuk abstrak maupun figuratif", tulis Harijadi selanjutnya. Picasso Kata-kata itu seakan mau menunjukkan bahwa lukisan Teguh sudah sempat menatapkan kita pada kenyataan yang banyak kali diabaikan. Tetapi mudah-mudahan bukan itu sepenuhnya yang hendak dikatakan Harijadi. Karena lukisan Teguh yang campur aduk gayanya, hanya menepuk sudut-sudut luar kenyataan sosial yang ada. Baik kehidupan kere, baik kepincangan moral. Teguh belum dalam menanggapi hal-hal yang inti dari obyeknya. Ia menggapai dengan kesepuluh jari - maka muncullah lukisan naturalistis, lukisan suralistis, juga lukisan yang sifatnya karikatural. Tanpa sempat mengental pada satu hal. Teknik naturalnya sebenarnya pantas diandalkan. Ia punya sapuan bidang yang halus. Hanya saja proporsi manusia yang dilukisnya seringkali tidak harmonis. Ini agak aneh. Kadangkala ia tampak melukis dengan penuh inspirasi, tapi kadangkala menjadi dangkal dan naif sekali. Kita heran juga bahwa di samping melukis wanita cantik, maunya seperti Basuki Abdullah, ia juga melukis relief Borobudur dengan kecenderungan mencantumkan sesuatu yang antik dan magis. Teguh juga memperlihatkan beberapa buat lukisan yang didominir warna biru - bagaikan periode biru Picasso. Tetapi bersama dengan itu ia juga melukis pemandangan kecii dengan warna-warna menyalak seperti lukisan di pinggir jalan. Seandainya benar seni rupa kita sakit, maka salah satu penyakitnya barangkali adalah apa yang dialami Teguh. Ia tidak dapat memutuskan: akankah ia melukis molek sementara ada kecenderungannya untuk sesuatu yang lebih serius. Akankah ia meladeni selera peminatnya dengan menampilkan sesuatu secara dangkal, padahal ia punya potensi untuk mengemukakan bobot. Teguh tidak memutuskan apa-apa karenanya pamerannya tidak menjadi penting. Kata-kata Harijadilah yang bagaikan memaksa kita untuk melongok pameran ini. Tetapi kemudian dengan satu kata, pernyataan itu bisa dijawab. Bahwa senirupa Indonesia sesungguhnya tidak separah itu. PW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus