"SEKARANG seni rupa kita ini sakit. Kita kurang serius dalam
menanggapinya. Faktor-faktor psikologis dari pertumbuhan bangsa
sendiri kurang diperhatikan". Demikian tulis Harijadi 5 pelukis
kawakan, dalam folder pameran Teguh Edhieyanto.
Mengambil tempat di Diamond Room, President Hotel, Jakarta (29
Maret - 1 April), pelukis asal Magelang ini memamerkan 54 buah
karyanya. "Dengan adanya pameran ini, kita dihadapkan pada
lobang-lobang kecil di dalam penghidupan kita yang kita namakan
kenyataan, di mana kita masih bisa menggali inspirasi banyak
sekali yang dapat dituangkan dalam karya si seniman entah itu
berbentuk abstrak maupun figuratif", tulis Harijadi selanjutnya.
Picasso
Kata-kata itu seakan mau menunjukkan bahwa lukisan Teguh sudah
sempat menatapkan kita pada kenyataan yang banyak kali
diabaikan. Tetapi mudah-mudahan bukan itu sepenuhnya yang hendak
dikatakan Harijadi. Karena lukisan Teguh yang campur aduk
gayanya, hanya menepuk sudut-sudut luar kenyataan sosial yang
ada. Baik kehidupan kere, baik kepincangan moral. Teguh belum
dalam menanggapi hal-hal yang inti dari obyeknya. Ia menggapai
dengan kesepuluh jari - maka muncullah lukisan naturalistis,
lukisan suralistis, juga lukisan yang sifatnya karikatural.
Tanpa sempat mengental pada satu hal.
Teknik naturalnya sebenarnya pantas diandalkan. Ia punya sapuan
bidang yang halus. Hanya saja proporsi manusia yang dilukisnya
seringkali tidak harmonis. Ini agak aneh. Kadangkala ia tampak
melukis dengan penuh inspirasi, tapi kadangkala menjadi dangkal
dan naif sekali. Kita heran juga bahwa di samping melukis wanita
cantik, maunya seperti Basuki Abdullah, ia juga melukis relief
Borobudur dengan kecenderungan mencantumkan sesuatu yang antik
dan magis. Teguh juga memperlihatkan beberapa buat lukisan yang
didominir warna biru - bagaikan periode biru Picasso. Tetapi
bersama dengan itu ia juga melukis pemandangan kecii dengan
warna-warna menyalak seperti lukisan di pinggir jalan.
Seandainya benar seni rupa kita sakit, maka salah satu
penyakitnya barangkali adalah apa yang dialami Teguh. Ia tidak
dapat memutuskan: akankah ia melukis molek sementara ada
kecenderungannya untuk sesuatu yang lebih serius. Akankah ia
meladeni selera peminatnya dengan menampilkan sesuatu secara
dangkal, padahal ia punya potensi untuk mengemukakan bobot.
Teguh tidak memutuskan apa-apa karenanya pamerannya tidak
menjadi penting. Kata-kata Harijadilah yang bagaikan memaksa
kita untuk melongok pameran ini. Tetapi kemudian dengan satu
kata, pernyataan itu bisa dijawab. Bahwa senirupa Indonesia
sesungguhnya tidak separah itu.
PW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini