Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Interpretasi Gandari di Tangan Melati

Pementasan ketiga Opera Gandari di Taman Ismail Marzuki menuai pujian. Sosok Gandari ditampilkan dengan menonjolkan naluri perempuannya.

19 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penampilan aktris Christine Hakim menjadi narator dalam pentas Opera Kontemporer Gandari saat di Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 13 Desember 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua perempuan perlahan melangkah menaiki tangga. Membawa lampu, keduanya berjalan, lalu duduk di "altar", tempat sang narator mengisahkan utusan pembawa kabar kematian Dursasana, anak Gandari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dursasana, dari keluarga Kurawa, kalah ketika melawan Bima, sepupunya dari keluarga Pandawa, di padang Kurustera dalam perang Baratayudha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kepala itu telah terpenggal dengan wajah yang dingin, Tuanku," narator menirukan ucapan seorang utusan, dalam pentas Opera Gandari di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 14 Desember lalu.

Gandari pilu mendengar kabar kematian anaknya. Panggung memerah darah dengan sorotan lampu. Drupadi, istri Pandawa yang pernah dilecehkan akan ditelanjangi Dursasana, melaksanakan sumpahnya: mencuci rambutnya dengan darah. "Darah anakku," kata Gandari.

Aktris senior, Christine Hakim, menuturkan narasi kematian itu di atas altar sambil duduk merentang kain, lalu menggulungnya. Bernadeta Astari menyuguhkan suara sopranonya, mengisahkan adegan dan suasana yang dirasakan Gandari, bergantian dengan kelompok paduan suara Batavia Madrigal Singer.

Di bawah altar, enam penari dari Studio Plesungan menampilkan koreografi yang hampir seragam. Mereka bergerak di panggung hasil penataan Jay Subyakto. Panggung ditata sederhana dengan altar yang dihiasi semacam tirai plastik putih. Panggung lebih hidup berkat permainan lampu dari Joonas Tikkanen dan layar multimedia di belakang panggung.

Enam penari Studio Plesungan memamerkan empat adegan. Mereka membuka adegan bersama kelompok paduan suara. Lalu ada tarian kali sebagai pengantar kematian yang diciptakan Dewa Brahma, yaitu kematian yang menjemput Bhisma dalam adegan ketiga. Akhirnya sampailah pada perang mahadahsyat yang menumpas keturunan Gandari, matinya Dursasana. Kelompok paduan suara pada pentas ini juga turut bergerak, terkadang merangkak-rangkak, merubung para penari.

Melati yang menjadi sutradara dalam pementasan opera ketiga ini menonjolkan Gandari sebagai simbol karakter manusia yang dihadapkan pada kehidupan dan nasibnya. Gandari tak hanya ditampilkan seperti sosok yang dikisahkan dalam epik Mahabarata. Dia juga mewakili naluri manusia, terutama naluri perempuannya. "Saya senang dengan pementasan ini," kata Melati. "Seperti seleraku, puitis, berbasis puisi."

Melati merasa bebas menginterpretasi puisi Goenawan Mohamad tentang sosok Gandari. Dia mengisinya dengan gerakan dan koreografi. "Dengan pendekatan surealis, petilan-petilan peristiwa," ujarnya.

Secara artistik, tata panggung sederhana garapan Jay Subyakto pun sesuai dengan keinginan Melati. Ia mencontohkan sisi panggung yang seperti altar atau candi. Dua tangga yang menuju altar menyimbolkan suatu perjalanan, menuju ketidaktahuan. Dua perempuan kembar menyimbolkan arwah pengawal Dursasana.

Pertunjukan Opera Gandari ini merupakan yang ketiga kalinya. Pertunjukan pertama, pada 2013, disutradarai Yudi Ahmad Tajudin dengan narator Sita Nursanti dan Landung Simatupang. Tata artistik panggung kala itu terlihat kokoh dengan instalasi besi-besi dan pelat besutan Teguh Ostenrik. Opera pertama didukung koreografi Akiko Kitamura; kelompok paduan suara solois dari Belgia, Katrien Baerts; orkestra Asko/Scoenerg, Slwagwerk, Den Haag; dan konduktor Bas Wiegers.

Narator, kelompok paduan suara solois, serta konduktor yang sama juga mengiringi penampilan kedua Opera Gandari di Frankfurt Book Fair pada 2015. Tata artistik panggung di Frankfurt Lab digarap Jay Subyakto, dengan koreografi Su Wen Chen dan dua penari. Jay kala itu membuat panggung berbentuk segitiga asimetris dan permainan tata lampu.

Tony Prabowo, komponis yang menciptakan musik pengiring Opera Gandari ketiga, mengatakan pertunjukan kali ini lebih berfokus pada peristiwa di panggung. Alat musiknya sama, tapi terdapat revisi dalam komposisi. "Ada tambahan 10-an persen. Saya tambah di akapela, vokal, paduan suara, dan orkestranya," ujar dia.

Pujian datang dari beberapa musikus yang menonton pertunjukan tersebut. Otto Sidharta dari Yayasan Rumah Musik Indonesia menilai komposisi Opera Gandari kali ini lebih kuat. "Lebih seimbang instrumen brass dan perkusinya," kata anggota Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta ini.

Otto juga memuji konduktor atau pengaba, Peter Veale, yang aktif di Ensemble Musikfabrik Jerman. Ia menilai Veale mampu menjelaskan musik kepada para pemain orkestra dan mengendalikan perubahan ritmenya. "Konduktornya berhasil menerjemahkan polimetric atau ritme yang perpindahannya berbeda," ucapnya.

Seorang penonton asal Singapura, Kee Yong Chong, juga memuji penampilan orkestra dan pengaba. "Sangat tepas, pas. Standar Jerman," tuturnya. DIAN YULIASTUTI

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus