INTEREST GROUPS AND POLITICAL LINKAGE IN INDONESIA 1800-1965
Oleh: Dwight Y. King
Penerbit: Northern Illinois University, Center for Southeast
Asian Studies, De Kalb, 1982, 189 halaman.
BUKU ini adalah studi yang ingin memakai pendekatan baru
terhadap bahan yang telah diketahui. Jadi jangan diharap
mengajukan "fakta" baru. Sebab King sendiri mendapatkan "fakta"
dari sumber kedua atau ketiga - dari buku "fakta" itu.
Apa yang tampak segera kalau orang mempelajari situasi politik
di Indonesia tahun 1950-an? Tak pelak lagi adalah rentetan nama
partai, berbagai corak kegiatannya, dan hubungan timbal baliknya
dengan pemerintah. Seandainya ingin tahu latar belakangnya, maka
ia harus membaca apa yan disebut "sejarah pergerakan
kebangsaan". Dan sudah bisa pula diperkirakan bahwa ia kembali
akan menemukan hal yang sama - rentetan nama partai, perdebatan
antarpartai, serta sikap pemerintah.
Kalau ia hanya tenggelam di situ, maka tak secuil pengertian pun
yang akan didapatkannya. Karena itulah diperlukan suatu
pendekatan atau teori tertentu untuk menerangkannya semua.
Seandainya kemungkinan dari proses ini dibalik, bisa dibayangkan
bagaimana reaksi seseorang, yang telah mendalami teori tertentu,
ketika berhadapan dengan berbagai materi tentang dinamik dan
peri laku politik di Indonesia. Maka ia akan bertanya pada
dirinya: Apakah kerangka konseptual dan hubungan kausalitas yang
diperkenalkan teori ini bisa menerangkan berbagai gejala
sosial-politik yang terjadi di Indonesia?
Apa pun corak proses intelektual yang dialaminya, King dengan
sadar ingm mempertemukan teori dengan kenyataan sosialpolitik.
Maka ia pun mulai dengan tradisi teori yang dirintis Durkheim
dan de Tocqueville mengenai proses modernisasi. Melalui
pendekatan ini King ingin menerangkan: Bagaimana "kepentingan
yang diorganisasi" - jadi partai dan perhimpunan muncul?
Bagaimana pula hubungannya dengan politik?
King memulainya dari patokan teoritis: munculnya perhimpunan
(association) dan partai haruslah dianggap sebagai akibat
langsung transinformasi sosial "masyarakat mekanis" ke
masyarakat organis (jika mengikuti konsep Durkheim), yang
ditandai oleh "pembagian kerja", atau (jika mengikuti e
Tocqueville) terjadinya persamaan sosial dan politik. Durkheim
bahkan mengatakan diferensiasi sosial, pembagian kerja, dan
spesialisasi peran, menyebabkan orang memerlukan ikatan baru
agar tak tenggelam dalam masyarakat yang makin berperhitungan.
Jadi, baginya, fungsi utama perhimpunan adalah sebagai
"perantara" individu (yang kini, menurut de Tocqueville, makin
"bebas") dengan negara.
Dengan mengambil sejarah partai di Indonesia sebagai bahan, King
melihat adanya kesesuaian antara teori dengan kenyataan empiris.
Tidak seperti dikatakan Durkheim dan ahli Barat lainnya, proses
yang terjadi di Indonesia bukanlah disebabkan oleh
industrialisasi. Melainkan oleh komersialisasi kapitalistik,
urbanisasi, penyebaran ide dan organisasi dari Timur Tengah dan
Barat, serta melebarnya jasa pemerintah.
Dalam fungsi sebagai "penyalur aspirasi politik", perhimpunan
dan partai yang merupakan pengorganisasian hasrat dan
kepentingan itu, tentu saja harus berhadapan dengan pemerintah.
King, sepanjang penelitiannya, melihat pemerintah cenderung
memakai kebijaksanaan menempatkan partai dan perhimpunan menjadi
faktor penahan atau penyaring dari mobilisasi kekuatan dan
perubahan sosial. Salah satu cara ialah menjalankan apa yang
disebut King korporatisme segmental - di mana pemerintah
mendirikan badan semi-otonomi untuk menandingi berbagai
perhimpunan dan organisasi.
Satu hal menarik yang ditemukan King dan ini bertentangan dengan
pendapat beberapa ahli sosiologi dan ilmu politik,
pengorganisasian hasrat dan kepentingan tidak menghilangkan
pengaruh ikatan kelompok "non-associational" yang tak
terorganisasi. Dengan begini, retak sosial yang bersifat
tradisional tidak pula seluruhnya diakibatkan oleh perhimpunan
dan organisasi.
Tapi King telah mencoba menempatkan berbagai aktivitas partai
dan organisasi dalam konteks teoritis yang jelas. Semacam
ketertiban telah diberikannya guna ini mungkinkan kita mengerti
belantara peristiwa kepartaian dan politik sampai munculnya
Orde Baru.
King dalam "kata pengantar"nya mengatakan buku ini diangkat
dari sebuah bab disertasinya. Timbul pertanyaan: "Mengapakah
King tidak membiarkannya sebagai bab saja?" Soalnya buku ini
terlalu banyak "dihiasi" kesalahan faktual tentang berbagai
peristiwa historis dan kadang-kadang di tambah pula dengan
kesalahpahaman sosiologis.
Taufik Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini