Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ari Wahyu datang ke kamar 508 Hotel Gren Alia Cikini, Minggu, 8 Desember lalu. Ia terengah-engah dan membawa kabar: ia baru saja bertemu orang-orang Madura. Di kamar itu, tim kreatif komik seri Gebora sedang "dikarantina" untuk menyiapkan cerita Gebora edisi 5-12 terbitan Common Ground Indonesia (CGI), sebuah LSM internasional yang bergerak di bidang pengelolaan konflik. Ari adalah salah satu penanggung jawab proyek komik CGI.
Urusannya rupanya begini: ada isu bahwa orang-orang Madura yang tinggal di Jakarta akan digerakkan untuk memprotes CGI dan menuntut penarikan komik Gebora dari Pulau Garam. Konon, ini merupakan kelanjutan dari protes beberapa pihak di Madura awal November lalu. Kabar pengerahan "jagoan" Madura itu memang masih isu, tapi lumayan membuat keder tim CGI dan tim kreatif komik ini.
Mengapa komik yang tokohnya adalah Ical, Mat Ra'i, Nurli, Dara, dan Beben yang membentuk Gebora (Geng Bola Gembira) di sebuah kampung fiktif di Kalimantan ini menuai protes keras?
Kelima anak ini adalah tokoh rekaan yang ditargetkan sebagai perwakilan pluralisme di Indonesia. Tentu, lima tokoh tak cukup melayani niat itu. Tapi, Kalimantan sebagai latar cerita ikut memberi warna pada penciptaan karakter. Ical asli Kalimantan, Mat Ra'i keturunan Madura dan jadi tokoh utama, Dara keturunan Dayak, dan Nurli beretnis Cina. Pilihan latar keturunan ini tampak hendak menyentuh kepelikan masalah konflik etnis di Kalimantan.
Tapi, kalau kita lebih jeli, karakter utama komik ini pun menyimpan potensi pesan pluralisme yang lebih kontemporer. Mat Ra'i, misalnya, digambarkan gagap dan karena itu sering merasa kesulitan. Maka, pada komik Gebora edisi 1, tampak bahwa di samping soal etnis, isu perlakuan terhadap orang yang dianggap "berbeda" karena punya kekurangan fisik pun digarap. Lalu, tokoh Dara dan Nurli dirancang (nantinya) akan ikut bermain bola jugasesuatu yang menyentuh isu kesetaraan gender. Juga tokoh Beben yang kewanita-wanitaan jelas merupakan masalah kontemporer.
Untungnya, pihak CGI dan tim kreatif komik ini tak lupa bahwa komik ini, bagaimanapun, ditujukan bagi anak-anak. Kemasan, gaya gambar, hingga cara bertutur diupayakan untuk tetap menarik minat anak-anak.
Dari segi kemasan, yang membuat komik ini menonjol adalah pilihan untuk menjadi komik berwarna. Di tengah banjir komik Jepang yang hitam-putih, pilihan menerbitkan komik berwarna sungguh berisikomahal dan belum tentu disukai oleh anak-anak sekarang. Apalagi Gebora lebih condong pada model komik Amerika (format 17 X 24,5 sentimeter, setebal 32 halaman) yang saat ini kurang diminati. Tapi, dengan warna-warna blok serba cerah, ditambah bantuan efek komputer yang terpengaruh oleh estetika pewarnaan anime (animasi Jepang)misalnya, gradasi bayangan dibangun oleh gradasi warna yang patah-patah dan bukan oleh warna blok hitam atau abu-abukomik ini terasa memanjakan mata.
Dari segi cerita, dunia Gebora adalah dunia anak biasa: terlambat sekolah, diomeli guru dan orang tua, saling ledek antar-anak, gagah-gagahan dalam permainan, menjahili anak lain. Pesan utama komik edisi 1-3, yakni tentang pluralisme, sebenarnya amat serius. Dan nantinya Gebora akan menyentuh soal-soal "berat" seperti kerusakan hutan, penggusuran, atau konflik etnis. Toh Ical, Mat Ra'i, dan kawan-kawan tetaplah anak-anak dengan persoalan utama mereka adalah bagaimana menang dalam pertandingan sepak bola kampung.
Tapi pesan-pesan politik yang telah disederhanakan itu pun terbukti masih menimbulkan salah paham. Tak kurang anggota Komisi E DPRD Sampang, Kiai Asadullah dari PKB, mengecam keras komik ini (Duta Masyarakat, 3 November 2003). Dr. Latief Wiyata M.A., antropolog asal Sumenep, juga memprotes (Radar Madura, 3 November 2003).
Harian Radar Madura, yang keliru mengartikan Gebora sebagai "Gank Bola Madura" dan mengaku memberi tahu Latief tentang isi komik ini, menulis: "Ketika koran ini ikut membaca komik tersebut, banyak ditemukan kalimat-kalimat yang banyak menyudutkan orang Madura."
Bisa ditebak, yang disoal oleh banyak protes itu adalah kisah Gebora edisi 1, yang terfokus pada Mat Ra'i. Di situ tergambar betapa Mat Ra'i, yang orang Madura, mengalami banyak kesialan (terlambat sekolah, disalahkan teman-teman, dijahili). Tapi sesungguhnya cerita ini justru hendak mengisahkan betapa kelirunya prasangka itu: pada halaman 15-22, Ra'i menjadi pahlawan karena menolong seorang anak yang terjatuh ke sungai.
Saat ini pihak CGI sedang menimbang akan menarik komik seri ini dari Madura. Sayang, memang, kalau komik anak-anak ini dibaca hanya dari kacamata politik.
Hikmat Darmawan (pengamat komik)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo