Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUNGA termasuk riba, sehingga haram hukumnya. Keputusan tegas itu dilontarkan dalam Ijtimak (Pertemuan) Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia dan Rapat Kerja Majelis Ulama Indonesia di Jakarta, pertengahan Desember lalu. Para ulama yang di bawah kendali tokoh Nahdlatul Ulama K.H. Ma'ruf Amin itu menyebut: bunga yang dimaksud adalah bunga lembaga keuangan seperti bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, dan koperasi. Hasil ini tak beda dengan buah Lokakarya Dewan Syariah Nasional tahun 1990.
Keruan saja, keputusan hukum agama itu bikin heboh. Ini menyangkut banyak umat Islam yang masih memanfaatkan jasa bank konvensional. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafi'i Ma'arif, yang menilai fatwa itu tergesa-gesa. Ia berdalih, hingga saat ini bunga bank masih menjadi persoalan klasik yang kontroversial di kalangan para ulama. Sementara ada yang menganggapnya riba, tidak kurang yang menghalalkannya. Namun, Syafi'i bisa memaklumi. "Fatwa itu pantas dihargai," katanya.
Muhammadiyah, demikian juga Nahdlatul Ulama (NU)—dua organisasi Islam terbesar di Indonesia—punya sikap khusus terhadap bunga bank. Muhammadiyah masih menganggap bunga bank itu samar (syubhat) hukumnya. "Istilahnya maukud, belum memiliki sikap pasti karena bunga bank posisinya antara halal dan haram," kata Sekretaris Muhammadiyah Haedar Nashir kepada Wahyudi Pratopo dari TEMPO. Tak kurang dari empat kali (tahun 1968, 1972, 1976, 1989), Majelis Tarjih, lembaga internal yang menetapkan hukum, telah bersidang. Hasilnya tetap saja maukud alias mengambang.
Demikian pula NU. Menurut Ketua Umum Hasyim Muzadi, pihaknya sudah lama mengkaji masalah tersebut. Toh, organisasi kumpulan kiai itu belum bersikap resmi, termasuk ketika berdebat tentang soal pelik ini dalam forum bahtsul masa'il diniyah (pembahasan masalah keagamaan). NU malah menawarkan tiga alternatif hukum, yaitu halal, haram, dan syubhat. "Kami mempersilakan masyarakat memilih sendiri," kata Hasyim kepada wartawan TEMPO Abdi Priyono.
Putusan ijtimak ulama itu memang lebih tegas. Menurut Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, Amin Suma, sikap ini ditempuh justru untuk memberikan ketegasan hukum. "Ini memang tugas kami," katanya. Tidak pada tempatnya majelis para ulama ini membiarkan rakyat gamang menentukan pilihan. Nah, dengan keluarnya fatwa itu, kata dia, orang akan lebih mudah menemukan perbankan yang beroperasi secara syariah.
Data empiriknya juga ada. Menurut Amin, pada tahun 1980-an sempat dilakukan sebuah survei mengenai sikap umat Islam terhadap perbankan di Tanah Air. Hasilnya, sekitar 30 persen meyakini haramnya bunga bank, sehingga membuat mereka tidak mau berhubungan dengan institusi perbankan. Sejak saat itu pun, menurut Amin, MUI memulai serangkaian persidangan.
Bank syariah di balik fatwa? Amin menepis tudingan yang sempat beredar itu. "Tidak sama sekali," katanya. Ia juga membantah sinyalemen banyaknya anggota komisi fatwa yang menjadi komisaris di bank-bank syariah. Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Wahyu Dwi Agung, menyatakan bahwa pihak bank syariah bahkan tidak tahu-menahu. "Fatwa itu bukan hasil permintaan ataupun pesanan," katanya Jumat pekan lalu.
Meski terlambat, fatwa itu cantik sekali. Ini diucapkan ahli perbankan syariah Syafi'i Antonio, yang pernah belajar syariah di Yordania dan Malaysia. Terlambat karena Pusat Kajian Islam Al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa sejenis pada 1965. Dibilang cantik karena keluar saat ini, bukan 10 tahun lalu, ketika perbankan alternatif belum siap. Pergeseran dana? Tak jadi soal. Dengan semaraknya bank syariah di mana-mana, kalaupun terjadi, lebih merupakan pergeseran dari cabang bank konvensional ke cabang syariah di bank yang sama. "Tidak lebih dari kantong kanan masuk ke saku kiri," ujarnya. Tapi, masalahnya, apakah pegawai bank nonsyariah yang umumnya muslim itu bisa dibilang menerima gaji haram?
Sebab itu, Din Syamsudin, Sekretaris Umum MUI, menilai keputusan ijtimak ulama itu belum final. Ia telah berkonsultasi dengan Ketua Umum MUI yang juga Rais Am PBNU, K.H. Sahal Machfudz, ihwal keputusan krusial yang bisa menimbulkan pro-kontra itu. Dampaknya bisa gawat, memang. Din lalu memberikan harapan, karena fatwa itu, "Masih bisa direvisi dalam rapat harian pimpinan MUI dengan menghadirkan sejumlah ormas Islam." Baguslah.
Wahyu Muryadi, Darmawan Sepriyossa, Amal Ihsan dan Bobby (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo