Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisakah kita bayangkan Saddam Hussein seperti Santiago, si nelayan tua dalam The Old Man and the Sea, novel Hemingway yang konon disukainya itu? Orang tua itu kalah. Telah 85 hari ia di laut, dan tak memperoleh ikan seekor pun, maka ia pun menempuh laut yang lebih jauh, lebih dalam, ketika akhirnya kailnya menyangkut mulut seekor marlin besar. Sebuah pergulatan sengit pun terjadi, sebuah adu kekuatan, dan akhirnya manusia juga yang menang. Tapi Santiago tahu, begitu ia mengalahkan ikan itu, keberuntungannya tak akan lama.
Ia benar. Tak lama setelah ia arahkan jukungnya kembali ke darat untuk membawa pulang perolehan kailnya, seekor hiu datang menyerang. Santiago melawan. Dibunuhnya hewan laut buas itu, tapi harpunnya lenyap ke laut. Ia tahu ia belum lepas dari bahaya. Diikatkannya pisaunya ke sebatang kayu, dan ia menunggu. Dua ekor hiu lain muncul, menyerbu, hendak merenggutkan marlin itu dari perahunya.
Kali ini ia kalah, ia luka-luka, dan marlin yang diperolehnya dengan susah payah itu hanya tinggal tulang-belulang ketika perahunya tiba di pantai.
Tapi benarkah ia kalah? Pak tua orang Kuba itu sejenak hampir tak bisa bernapas, dan ada rasa ganjil di mulutnya. Ia takut, tapi hanya sejurus. Lalu ia meludah ke laut, ke arah hiu yang menyerangnya, dan berkata: "Kalian makanlah itu, galanos. Dan coba bermimpi kalian telah membunuh seorang manusia."
Bisakah kita bayangkan Saddam seperti Santiago? Saddam beberapa bulan yang lampau hidup dengan sejumlah istana dan ribuan senjata dan dengan gagah berbicara tentang per-lawanan dan kemenangan, kini tertangkap, tak melawan, di sebuah liang perlindungan di bawah tanah. Melalui televisi kita lihat wajahnya yang nestapa: rambutnya gondrong berantakan, janggutnya tak tercukur, kantong matanya lembek melipat, pandangnya lelah, dan ia tak berdaya ketika seseorang menyuruhnya membuka mulut, dan sebuah senter pun menerangi mulut tua itu, mengecek lidah dan giginya seakan-akan ia seekor hewan yang perlu diperiksa sebelum dijual ke pasar....
Bisakah kita bayangkan Saddam seperti Santiago, yang dalam novel pendek Hemingway itu mengatakan: "Orang bisa dihancurkan, tapi tak dikalahkan"? Bisakah kita bayangkan ia seperti penyumakhluk dengan jantung yang berdegup terus berjam-jam setelah disembelih?
Mark Bowden, dalam bulanan The Atlantic (Mei 2002), yang menyebut betapa suka Saddam kepada The Old Man and the Sea (berdasarkan cerita Saad al-Bazzaz, direktur televisi dan radio Irak yang kemudian lari dari Bagdad), melihat kemungkinan lain: siapa tahu Saddam, yang hampir tiap hari berenang di setiap istana yang disinggahinya, membayangkan diri seperti si ikan marlin, yang muncul dari laut, gemerlap, agung, ajaib, sebuah kekuatan yang tak disangka-sangka.
Bahkan Santiago tua memberi hormat. "Kau mematikan aku, ikan, katanya. Tapi kau berhak. Tak pernah aku lihat sesuatu yang lebih agung, lebih cantik, lebih kalem dan lebih luhur ketimbang kau, Bung. Ayo, bunuh aku. Aku tak peduli siapa mematikan siapa."
Tapi tak seperti Santiago, ikan itu kalah dan habis. Maka mungkin terlampau berlebihan untuk mencari perumpamaan tentang Saddam dari The Old Man and the Sea, dan mungkin terlampau mudah kita percaya bahwa ia memang menyukai Hemingway. Said K. Aburish, orang Palestina yang menulis buku Saddam Hussein: The Politics of Revenge, mengatakan bahwa Saddam, anak dari dusun Al-Awja di dekat Tikrit, sebenarnya baru bisa baca-tulis setelah ia berumur 10 tahun. Pengalaman politiknya tak ditempuh melalui buku-buku; Saddam adalah seorang tokoh preman ("a gunman, a thug," kata Aburish dalam sebuah interview dengan Frontline) dalam Partai Baath. Menurut Aburish pula, yang dikagumi Saddam bukan Hemingway, melainkan Stalin.
Dengan kumis tebal seperti diktator Uni Soviet itu, Saddam juga seorang organisator. Caranya membersihkan lawan politiknya dalam partai juga mirip yang terjadi dalam "Peradilan Moskow" yang mengerikan di antara tahun 1936-38, ketika Stalin menuduh dan menangkap, memaksa mengaku, dan menembak mati sejumlah anggota politburo PKUS; orang-orang Lenin itu dituduh sebagai mata-mata musuh.
Di bulan Juli 1979, Saddam mengundang para anggota Dewan Komando Revolusi serta ratusan pemimpin Partai Baath ke sebuah ruang konferensi di Bagdad. Saddam muncul dengan pakaian militer. Wajahnya sedih. Ia pun berbicara tentang komplotan yang katanya diatur oleh Suriah untuk menggulingkan pimpinan. Tak lama kemudian, Muhyi Abd al-Hussein Mashhadi, Sekretaris Jenderal Dewan, muncul dari balik layar. Ia, yang telah ditangkap dan disiksa sebelumnya, mengaku adanya rencana jahat itu, dan menyebut nama yang terlibat. Mereka hadir di sana. Tiap kali sebuah nama disebut, pasukan bersenjata pun menyeret orangnya keluar. Kemudian mereka, 60 orang banyaknya, ditembak mati. Di panggung, Saddam menitikkan air mata....
Saddam, Stalin dan Santiago: bukankah pada dasarnya mereka manusia yang dibayangkan Hemingway: di lautan yang penuh pergulatan itu, kemauan untuk menang adalah segala-galanya? Dalam gambaran itu, hidup ditentukan oleh dunia subyektifyakni kehendak untuk membuktikan bahwa, seperti ujar Santiago, "manusia tak dibuat untuk kalah".
Di dalam posisi itu, kesendirian adalah sesuatu yang tak terelakkan: sang subyek seakan-akan berada di lautan tak bertepi. Sebab, apa pun yang hadir di luar dirinya bukanlah sesuatu untuk berteman, melainkan sebuah medan untuk ditempuh dan ditaklukkan.
Kesendirian: di liang perlindungannya yang terakhir, Saddam tak punya siapa pun, kecuali sebuah pistol, sejumlah uangdua penanda kekuatan zaman ini. Tapi saya kira bahkan di istananya yang megah pun, ia, seperti tiap penguasa yang mutlak, selalu seperti itu: tak ada percakapan yang tulus, yang ada hanya tembok dan ketakutan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo