Hasjim Djalal
Pengamat kelautan Indonesia
MASALAH penambangan dan ekspor pasir Indonesia ke Singapura makin banyak diberitakan pers belakangan ini. Indonesia sangat dirugikan, antara lain, karena harga pasir yang semakin menurun dari sekitar S$ 20 menjadi S$ 1,05 per meter kubik. Rusaknya lingkungan laut juga semakin parah. Para nelayan setempat juga semakin dirugikan. Belum lagi perluasan wilayah darat Singapura (160-180 kilometer persegi menjelang 2010) yang dapat berpengaruh negatif terhadap wilayah Indonesia. Diberitakan, sampai tahun lalu, sekitar 70 pulau kecil di Indonesia hilang—10 di antaranya di sekitar Pulau Durian dan Pulau Combol.
Pemerintah lalu bertindak. Tiga menteri telah meneken keputusan bersama pada 14 Februari lalu. Intinya: telah menghentikan ekspor pasir laut untuk sementara (3 bulan) dari seluruh wilayah Indonesia, senyampang menata peng-aturan penambangan dan ekspor pasir tersebut. Presiden—dengan Keputusan Presiden Nomor 2/2002 tanggal 13 Maret lalu—kemudian menginstruksikan kepada 10 instansi terkait, dipimpin Menteri Kelautan dan Perikanan, agar melakukan koordinasi dan mempersiapkan peraturan perundang-undangan mengenai penataan dan pengawasan pelaksanaan sistem penambangan, pengusahaan, dan ekspor pasir laut tersebut secara terintegrasi. TNI-AL juga menurunkan 5 kapal perangnya untuk mengawasi aktivitas pasir laut tersebut.
Menteri Perindustrian dan Perdagangan memasukkan pasir laut dalam kategori komoditi yang "diawasi" ekspornya. Banyak kalangan, terutama LSM, yang tak puas dengan keputusan ini. Bagi mereka, yang diperlukan adalah penertiban, bukan pengawasan. Keppres Nomor 33/2002 tanggal 23 Mei 2002 telah menata pengerukan, pengangkutan, ekspor, dan pemanfaatan hasil pasir laut tersebut. Yang sudah mendapat izin diwajibkan melaporkan realisasi ekspornya serta menyusun rencana pemulihan dan pemeliharaan lingkungan laut, melakukan pemberdayaan masyarakat pesisir, serta menghormati pelbagai ketentuan tentang zonasi laut.
Di samping itu, penambangan pasir laut tidak boleh dilakukan di lima tempat: dari kawasan konservasi, dalam "zona penyangga pantai" (2 mil dari pantai dan dalam kedalaman air kurang dari 10 meter), daerah kabel laut dan pipa gas, wilayah terumbu karang, sampai daerah perbatasan pulau terluar. Sayangnya, ketentuan ini masih dilanggar. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, 256 dari 368 pemegang kuasa penambangan pasir laut di Riau, atau sekitar 65 persennya, sudah tidak menaati penataan ini. Mereka telah melanggar zonasi yang ditetapkan itu.
Tampak jelas bahwa kesemrawutan penambangan dan ekspor pasir laut tersebut sebagian besar terletak di Indonesia. Banyak jalan yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi kemelut ini. Di antaranya banyak pula yang berkaitan dengan pihak Singapura. Pertama, penetapan garis batas laut wilayah antara Indonesia dan Singapura belum seluruhnya tuntas. Persetujuan garis batas Indonesia-Singapura tanggal 25 Mei 1973 dan yang diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 7/1973 baru menetapkan garis batas di bagian tengah. Sedangkan garis batas ke sebelah barat dari Pulau Nipah sampai ke perbatasan laut wilayah Indonesia-Malaysia di Selat Malaka belum lagi ditetapkan. Dan garis batas ke sebelah timur pun baru ditetapkan sampai sekitar Changi atau di sebelah utara Tanjung Sengkuang di Pulau Batam.
Memang, garis batas ke sebelah barat dan sebelah timur akan memerlukan dua titik tripartit antara Indonesia dan Malaysia serta Singapura. Namun, mengingat intensifnya land reclamation di sebelah barat Singapura (Tuas) dan di timur Singapura (Changi), sangat diperlukan adanya kesepakatan perpanjangan garis batas laut wilayah antara Indonesia dan Singapura lebih dulu. Setidaknya mendekati titik tripartit. Kalau tidak, dengan perluasan wilayah darat Singapura tersebut, makin lama akan makin susah mengenali batas-batas pantai alamiah Singapura yang dapat dipakai sebagai titik dasar. Ini mengingat batas-batas dari tanah reklamasi tidak bisa dipakai sebagai basis untuk pengukuran laut wilayah. Karena itu, memang sangat diperlukan adanya persetujuan mengenai perpanjangan garis batas Indonesia-Singapura tersebut ke arah barat menuju Selat Malaka dan ke arah timur menuju Laut Cina Selatan.
Kedua, masalah lingkungan. Pasal 192 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 "mewajibkan semua negara melindungi dan memelihara lingkungan laut"—walaupun negara punya hak berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya. Untuk itu, negara-negara berkewajiban bekerja sama, baik secara global, regional, maupun secara langsung, guna merumuskan ketentuan bersama untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut (pasal 197). Indonesia dan Singapura telah menjadi pihak dari konvensi itu sehingga wajib bekerja sama melindungi lingkungan laut di Selat Singapura tersebut. Konvensi itu menghendaki adanya koordinasi di antara mereka dalam melindungi dan memelihara lingkungan laut tersebut, mengingat Selat Singapura itu seluruhnya terdiri atas laut wilayah kedua negara—bukan bekerja sama dalam merusaknya. Apalagi Selat Singapura itu pada dasarnya adalah satu marine ecosystem.
Ketiga, harga pasir. Mengingat sangat kecilnya harga pasir yang masuk ke perekonomian Indonesia dan besarnya nilai pasir tersebut di Singapura, wajar kiranya jika pemerintahan Indonesia menetapkan harga minimum yang lebih baik, misalnya S$ 5-10 per meter kubik, seperti pernah disebut oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Atau kenapa Indonesia tidak minta sebagian dari lahan yang diperoleh Singapura dari pasir Indonesia itu untuk dikelola oleh Indonesia? Bayangkan, otoritas Singapura, yang mengurus kawasan reklamasi itu, menjual hasil lahan yang diperoleh sampai S$ 850 per meter kubik—dari harga beli antara S$ 6 dan S$ 8 per meter kubik.
Keempat, sebagian daerah perairan Singapura yang ditimbun dengan pasir Indonesia tersebut kini sedang dikembangkan menjadi pangkalan angkatan laut (AL). Ini akan sangat meningkatkan kemampuan AL Singapura dan kecanggihan pertahanan mereka serta terbuka bagi armada AL mancanegara. Ironisnya, ini terjadi pada saat kemampuan pertahanan Indonesia, terutama di daerah perbatasan seperti di Selat Singapura, sedang menghadapi berbagai kesulitan. Masih belum diketahui dampak dari pembangunan dan pengembangan pangkalan AL tersebut bagi Indo-nesia. Kita hanya bisa berharap bahwa hal itu akan sekaligus dapat meningkatan pula keamanan dan keutuhan wilayah RI. Minimal tidak akan mengganggu keamanan dan ketertiban, khususnya di wilayah perbatasan.
Kelima, belum diketahui dampaknya terhadap peranan politik Singapura di Kepulauan Riau. Jangan lupa, Pulau Batam dan Bintan telah dimasukkan ke kawasan perdagangan bebas antara Singapura dan AS, mungkin juga kawasan perdagangan bebas antara Singapura dan negara industri maju lainnya di masa depan. Dewasa ini ada persoalan yang rumit dari Kabupaten Riau Kepulauan (Kepri) yang ingin melepaskan diri dari Provinsi Riau dan membentuk provinsi sendiri. Dengan begitu, hubungan antara Kepri akan lebih dekat dan terkait dengan Singapura—provinsi punya kewenangan sampai 12 mil ke laut, sedangkan kabupaten hanya 4 mil. Provinsi Kepri akan lebih mampu menetapkan kebijakan sendiri dalam kaitannya dengan Singapura.
Akhirnya, keenam, Indonesia masih kesulitan mengontrol ekspor dan mengawasi penambangan pasir tersebut. Walaupun masalah penambangan adalah masalah dalam negeri Indonesia dan, karena itu, pengawasannya harus dilakukan oleh Indonesia, masalah ekspornya terkait dengan Singapura. Kedua negara harus bekerja sama mengawasi ekspor pasir tersebut. Masalahnya, Singapura selama ini sangat tertutup. Mereka tak mau mengumumkan statistik perdagangannya. Diharapkan Singapura dapat bekerja sama dengan mencocokkan angka-angka impornya dengan angka-angka ekspor yang terdaftar di Indonesia untuk mengetahui berapa banyak jumlah dan nilai pasir yang diselundupkan.
Untuk mengawasi ekspor dari perairan Indonesia, sewajarnya pula para penegak hukum Singapura mengawasi setiap pasir yang diimpor. Mereka harus mengecek izin usaha ekspor, izin pengerukan dari daerah tempat pasir itu di- ambil, serta pelbagai ketentuan Indonesia lainnya. Kedua negara haruslah bekerja sama dalam pengawasan ini di laut masing-masing. Akan lebih baik jika kerja sama tersebut dituangkan dalam suatu kesepakatan sebagaimana halnya kerja sama kedua negara dalam koordinasi patroli mencegah bajak laut.
Jikalau hal-hal di atas tidak diperhatikan dan tidak diselesaikan, akan semakin banyak rakyat Indonesia yang merasakan bahwa Singapura telah mengakali Indonesia, memperbesar ruang penyelundupan, dan mempergunakan kelemahan-kelemahan sahabatnya untuk kepentingannya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini