KARIKATUR DAN POLITIK
Karya : Augustin Sibarani
Penerbit : Institut Studi Arus Informasi, Garba Budaya, dan PT Media Lintas Inti Nusantara.
SIAPAKAH Augustin Sibarani? Tentu saja kebanyakan generasi masa kini tak mengenal nama itu. Agustus silam, Sibarani menerbitkan buku Karikatur dan Politik dengan kata pengantar dari Ben Anderson. Tapi generasi yang lebih tua setidaknya ingat inisial "SRANI" pada karikatur media tahun 1950-an hingga akhir masa Sukarno. Itulah inisial Sibarani sebagai karikaturis paling produktif masa itu.
Karikatur Sibarani mulai dikenal sejak dimuat di koran Waspada Medan dan media-media Jakarta tahun 1950-an, dari koran Merdeka, Pemandangan, Sumber, sampai majalah Siasat. Selain itu, Sibarani juga menerbitkan buku anak-anak yang menonjol di masa itu, yakni Si Kasmin, Si Bolang, Si Beber, yang dicetak berwarna dengan bagus di Belanda. Kemudian Sibarani menerbitkan lagi dua buku yang juga sangat digemari, yakni Senyum Kasih Senyum dan Si Utjok. Sejak 1957, Sibarani menjadi karikaturis tetap pada harian Bintang Timur, yang beraliran komunis. Dengan berubahnya situasi politik tahun 1965, karya Sibarani menghilang dari peredaran. Banyak orang mengira ia berada di luar negeri bersama para tokoh komunis lain. Nyatanya itu tidak benar.
Pada bagian pertama buku ini, Sibarani membeberkan panjang-lebar tentang karikatur. Ia menyajikan banyak contoh lukisan dan karikatur asing ataupun Indonesia sendiri, karya karikatur zaman Belanda dan zaman Jepang, termasuk karikatur karya Bung Karno. Tulisan tersebut diselingi riwayat Sibarani saat berkiprah sebagai karikaturis. Dengan gaya penuturan yang memikat, dia bercerita tentang keseharian kerjanya, rumahnya, hubungannya yang unik dengan teman-teman dan anak-anak tetangga.
Sibarani membedakan antara kartun yang menurut dia lebih bersifat humor dan karikatur sebagai media satire melalui distorsi karakter. Sebetulnya dua istilah ini muncul dari sejarah dan tempat yang berbeda. Istilah karikatur mulai dikenal pada abad ke-16 sebagai gambar yang melebih-lebihkan penampilan seseorang agar karakternya semakin menonjol. Kemudian arti karikatur mengalami perkembangan sejalan dengan meluasnya surat kabar pada abad ke-19. Karikatur kemudian diartikan juga sebagai gambar sindiran, baik sosial maupun politik. Kartun yang populer belakangan semula memang artinya "karton", gambar rancangan untuk membuat lukisan dinding. Pada tahun 1843 majalah satir Punch memuat gambar sindir berjudul Cartoon No.1, memprotes pameran hasil lomba karton rancangan lukisan dinding balai kota yang dianggap pemborosan biaya. Sejak itu kata cartoon sering dipakai untuk menyebut gambar sindir. Kata ini dirasakan lebih luwes hingga pemakaiannya cepat meluas sejak awal abad ke-20. Kartun hanya menandai gambar garis yang biasanya lucu untuk maksud apa pun. Dirangkai dengan kata lain, kata kartun dapat membentuk arti khusus, seperti animated cartoon untuk kartun animasi, editorial cartoon untuk kartun sindiran di media cetak. Agaknya itu pula sebabnya, di Indonesia, kata kartunis lebih populer dari karikaturis. Perkumpulannya yang berdiri pada 1987 pun disebut Paguyuban Kartunis Indonesia (Pakarti). Tapi mungkin pula pernyataan Sibarani ada benarnya bahwa kata karikatur tak disukai di masa Orde Baru karena "mengandung disonansi atau suara buruk" (hlm. 35).
Pada bagian kedua buku ini ditampilkan lebih dari 100 karya Sibarani yang dibuat sejak tahun 1998, yang disebutnya sebagai "karikatur ilegal", yakni karikatur yang penyebarannya dilakukan antarteman. Dalam lawatan Sibarani ke luar negeri, fotokopi kartun itu menyebar hingga ke Universitas Cornell, dan beberapa buah dimuat dalam edisi Jurnal Indonesia Oktober 1998, antara lain yang bertema kejatuhan Soeharto. Buku ini memuat lengkap karikatur ilegal tersebut berikut beberapa pada masa sebelumnya. Kesulitan utama menelusuri karya Sibarani adalah karena ia tak mencantumkan tahun pembuatan. Karikatur sebagai karya kontekstual akan makin dipahami bila mengetahui tahun penciptaan dan tema karya. Untuk itulah dicantumkan tulisan berbentuk sajak pada tiap gambar yang menjelaskan maksud karikatur tersebut.
Pada kumpulan karikatur ini terlihat kegarangan dan kegetiran yang lebih hitam. Karya "bawah tanah" memang memungkinkan penggambar mencurahkan perasaan sepenuhnya, berbeda dengan bila dimuat di media publik, tempat banyak pihak ikut bertanggung jawab atas pemuatannya. Dengan disebar dari tangan ke tangan, karikatur ini seakan dibuat untuk melampiaskan kekesalan dan membakar kegeraman para penikmatnya. Suasana emosional semakin menonjol dengan keriuhan garis, banyak obyek ditumpahkan di satu kertas. Yang kemudian me-nonjol adalah suasana marah saja. Sebagian ada juga yang tampil lebih efisien dan tajam, menyiratkan ciri lama kepiawaian Sibarani.
Dari segi penggambaran, agak meng-herankan bahwa dalam koleksi ini Sibarani sering berusaha meniru semirip mungkin, nyaris fotografis, tokoh yang diangkatnya. Kadang masih ditambahi name-tag nama tokoh dimaksud. Padahal, pada beberapa tokoh, Sibarani berani lebih lugas menggambar garis sederhana dengan distorsi yang jitu (hlm. 379 dan 395). Kekuatan semacam itulah yang dulu menjadi ciri khasnya, garis tegas, serampangan, kena sasaran.
Kesegaran memilih kiasan di sana-sini menonjol pada karyanya, misalnya pada Anggota DPR Periksa Kuku (hlm. 187), Klinik Bank (hlm. 261), Tangan Perkasa (hlm. 281), Orde Baru sebagai Titanic (hlm. 301), dan Harmoko sebagai Brutus (hlm. 353). Ben Anderson menyebut pengungkapan demikian sebagai symbolic speech, atau kita biasa menyebutnya berkias. Dengan meletakkan suatu "berita" dalam situasi yang berbeda, muncul makna baru yang tak terduga. Kita bukan hanya menangkap apa yang tersurat tetapi lebih banyak lagi yang tersirat. Permainan ini yang selalu menggoda dalam karya karikatur. Dalam lingkup demikianlah buku ini menyajikan pandangan sekaligus olah karikatur cara Sibarani.
Priyanto Sunarto
(pengajar senior desain komunikasi visual Institut Teknologi Bandung dan Institut Kesenian Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini