Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Butuh 'Good Governance', Dikasih Otonomi

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Krisis moneter, kerusuhan Mei 1998, Soeharto jatuh, salah langkah tentang Timor Timur, dan tipisnya dukungan pada Presiden Habibie, telah membuat panik parlemen Soeharto. Kalau pemerintah panik, para pejabatnya dipecat, diganti, dipecat, digusur, seperti pada pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kalau parlemen panik, yang terjadi adalah balapan bikin undang-undang. Itu terjadi pada masa Habibie, ke-presidenan RI tersingkat. Parlemen beranggapan bahwa problem Indonesia dapat diatasi dengan mengesahkan undang-undang sebanyak mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin. Tidak kurang dari 50 rancangan undang-undang disahkan dalam beberapa bulan. Pengesahan UU No. 22/1999 hanya memakan waktu tiga bulan. Salah-benarnya urusan belakang. Otonomi "Panik" Tujuan undang-undang desentralisasi pada 1903 dan 1999 sama saja: daerah perlu kewenangan mengembangkan identitas budayanya. Pusat perlu meringankan beban administrasinya. Daerah paling tahu kebutuhan dan kepentingannya sendiri, karena itu diberi wewenang mengurus diri. Dari situ diharapkan muncul dan berkembang inisiatif lokal. Kerangka berpikir main pukul-rata, semua daerah di tahun 1903 dan 1999 sama juga. Dulu Nederlandsch Indie dikapling dalam residenties, sekarang Republik Indonesia dikapling dalam 360-an kabupaten. Antara UU No. 1/1957 dan UU No. 22/1999 ada persamaan. Dua-duanya dianggap undang-undang otonomi yang paling "maju". "Maju" didefinisikan sebagai "pusat menyerah" dan "daerah menang". Dua-duanya merupakan hasil legislasi masa krisis. UU No. 1/1957 dikeluarkan ketika hampir semua daerah luar Jawa memberontak terhadap Jakarta. UU No. 22/1999 dihasilkan oleh suatu parlemen yang panik karena negeri dilanda krisis multidimensional secara bergelombang tanpa henti, sampai sekarang. Seperti orang sakit keras yang pasrah pada dokter, dalam keadaan krisis Indonesia selalu terbuka bagi reformasi. Begitu keadaan membaik, orang cenderung bersikap "pikir-pikir dulu, ah!" Tapi Tommy Soeharto berfungsi sebagai tumbal bapaknya. Politik vs Manajemen Semua krisis adalah 60 persen psikologis dan 40 persen masalah. Yang psikologis diatasi dengan tindakan politis, sisanya bisa digarap secara manajerial. Undang-undang otonomi kita yang baru adalah 100 persen politis, dan 0 persen manajerial. Berpikir politis adalah "timpa dulu, urusan belakang!", berpikir manajerial adalah memetakan problematik yang timbul sebagai akibatnya dan menyiapkan berbagai alternatif pemecahan. Setahun yang lalu Jun Ma dan Bert Hofman, dua ekonom senior Poverty Reduction Economic Management (PREM), memperingatkan dunia agar tidak membuat blunder seperti Indonesia bila menginginkan desentralisasi. Mereka bilang, jangan sekali-kali merinci kewenangan pusat dan menyerahkan sisanya, tanpa dirinci, ke daerah. Ini membingungkan daerah. Barangkali sama bingungnya bila petani yang biasa menggunakan bajak "kerbau" di sawah tiba-tiba disuruh pakai bajak mesin. Menyerahkan semua fungsi jasa publik ke kabupaten tanpa memperhitungkan kemampuan lokal, atau skala ekonomi, sama saja dengan mengorbankan penduduk daerah, karena harus membayar mahal dan menelan saja sistem yang tidak efisien. Kekacauan akan timbul bila sistem baru diterapkan dalam wadah campuran antara yang lama dan yang baru. DPRD-DPRD hasil pemilu Juli 1999 memang sudah ada, tapi masih banyak gubernur yang diangkat Soeharto yang berfungsi dengan term yang baru akan berakhir 2-3 tahun mendatang. Skenario selanjutnya adalah bentrok-bentrokan peraturan. Pembagian pendapatan dari minyak, gas, dan hasil pertambangan kepada daerah-daerah penghasil devisa pertama-tama harus berpedoman pada Bab XIV, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Bahwa kekayaan mineral yang berada di bawah tanah daerah tertentu bukanlah merupakan jasa daerah itu, dan sepenuhnya disebabkan nasib random. Karena itu, main bagi hasil secara sembarangan tidak hanya dapat melanggar konstitusi RI, tapi juga menimbulkan ketimpangan baru antardaerah. Lagi pula, mengandalkan pemasukan daerah pada penghasilan yang tidak stabil (harga mineral selalu naik-turun di pasar dunia) sungguh tidak bijaksana. Masih banyak masalah yang harus dihadapi, diteliti, dan diatasi dalam setiap upaya desentralisasi. Bila ditanggapi dengan good governance saja, sudah lebih dari cukup. Tapi, apa boleh buat, Panglima Politik bernafsu membagi-bagi kuasa. Katanya, kalau tidak diberi otonomi, semua daerah akan berontak dan minta merdeka. Tommy Soeharto juga merdeka; yang bebas adalah Jenderal Soeharto. Masalah "Kedaerahan" J.D. Legge dalam bukunya tentang otonomi daerah tahun 1950-1960 sudah mulai membongkar "momok" daerahisme yang selalu dikesankan menakutkan. Ia menemukan tiga unsur. Pertama, unsur kebencian pada dominasi "Jawa". Setelah diteliti, terbukti bahwa kebencian ini tidak berdasar. Pejabat Jawa tidak mendominasi struktur pemerintahan daerah. Kedua, unsur etnisitas atau identitas etnis yang meminta pengakuan dan, sesekali, perlindungan. Ini pekerjaan governance, bukan otonomi. Yang ketiga adalah yang paling mendesak, karena menuntut keadilan dalam pembagian duit, dan menurut Legge harus ditangani segera. Kesimpulan pokok dari buku Legge: yang dibutuhkan daerah adalah good governance, bukan semata-mata kebebasan bersepak terjang semaunya. Desakan paling kuat jelas datang dari daerah penghasil minyak, gas bumi, dan mineral pertambangan. Bila undang-undang otonomi memberi porsi sedikit saja pada elemen teknis-manajerial, sudah dengan sendirinya daerah-daerah itu ditangani secara khusus terlebih dulu. Namun, alokasi bagian dari hasil devisa daerahnya harus disesuaikan dengan kemampuan daya serap ekonomi daerah yang bersangkutan, bukan dalam bentuk persentase dari pemasukan pusat. Klaim daerah di bawah rubrik apa saja yang dapat dianggap bona fides? Kalau sumber alam yang digali bersifat sekali-ambil-lalu-habis (non-renewable resources), klaim berdasarkan hal tersebut wajib diakui. Jika kegiatan ekstraktif (pertambangan, pembabatan hutan) atau kegiatan lain yang merusak lingkungan daerah, klaim atas dasar kerusakan lingkungan sangat masuk akal. Kemudian masih ada klaim berdasarkan hilangnya pencarian penduduk bila kegiatan yang eksploitatif berakhir, atau hilangnya pencarian penduduk justru karena kegiatan ekstraktif. Semua itu patut dibiayai oleh dana yang ditarik dari kegiatan usaha di daerah tersebut, biasanya dalam bentuk hak mengenakan pajak, tidak dalam bentuk persentase dari pemasukan pusat. Lagi pula, hasil pajak daerah tersebut harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak terjadi keguncangan bila kelak kegiatan ekstraktif berakhir. Daerah wajib diberi tahu kapan sumber alam diperkirakan akan mengering. Sumber dana anak yang taat pada orang tuanya tidak akan mengering, paling banter becek. Pemerintah Kena Stroke Resesi sudah menjalar seperti kanker yang mencapai tahap metastase. Krisis moneter kita memasuki tahap yang lebih parah. Seluruh barisan koruptor berpacu mengeruk uang rakyat. Seluruh sistem kehidupan dan penghidupan kita turut serta dalam pacuan merampok ini. Aceh dan Irian terus bergolak. Partai politik terlalu sibuk dengan persiapan finansial Pemilu 2004, dan tak peduli pada tenggelam atau tidaknya tanah air kita. Pemerintah terkena stroke. Sebelah kanan tubuhnya, bagian tim ekonominya, lumayan prestasinya. Sebelah kiri tubuh pemerintah, bagian penegak hukum, lumpuh. Sebentar lagi kita akan ditagih WTO dan negara tetangga kita untuk membuka pintu perdagangan lebar-lebar. Kita tidak hanya belum siap. Kita sedang babak-belur. Tom, bebas, Tom! Apa gerangan yang menyebabkan sebuah kota berang mau merebut semua hak pemberian izin di wilayahnya? Mengapa pula dalam keadaan segawat ini ada kota yang begitu bernafsu merebut jasa pelabuhan sampai jasa pemandu kapal-kapal besar terhenti sejenak? Mengapa soal divestasi PT Kaltim Prima Coal menjadi isu yang kedengarannya begitu emosional? Mengapa semua ini dipaksakan semasa kita berada di ambang pintu kehancuran? Mungkinkah disebabkan karena sikap undang-undang otonomi kita yang lompat dulu, baru kemudian buka mata? Mudah-mudahan masih ada jalan untuk memperbaiki kecerobohan undang-undang melalui peraturan pelaksanaannya. Orang Indonesia senantiasa optimistis. Biarpun sudah ambruk, masih bisa melihat manfaat dalam kecelakaan. Ada pelajaran yang amat berharga dapat ditarik dari pengalaman merumuskan undang-undang otonomi: bila kita menginginkan terlalu banyak dalam waktu terlalu singkat?dan dalam bentuk terlalu ideal?pada hakikatnya kita tidak menginginkan apa-apa. Sudah bebas, kok, umpet-umpetan terus toh, Tooom, Tom! Nono Anwar Makarim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus