Dalam sebuah bingkai yang jauh di masa silam, Augustin Sibarani selalu bisa menemukan kembali dunia yang telah menumbuhkan gairah dan kecintaannya pada dunia kreativitas: masa kanak-kanaknya. Lahir di Pematangsiantar pada 20 Agustus 1925, Sibarani kehilangan ayah pada usia lima tahun. Ibunya membesarkan dia sembari mengalirkan darah seni kepada anak ke-5 dari 7 bersaudara ini. Jiwa Sibarani yang masih muda-belia bertumbuh dalam asuhan seorang ibu yang pandai menyanyi, mendongeng, serta mahir menyulam dan melukis motif ulos. Ia juga kerap melihat kakeknya menjadi juru gambar di rumah-rumah adat Batak.
Tak mengherankan, pada usia delapan tahun, Sibarani telah mampu menggambar wajah guru-guru sekolahnya dengan modal pas foto mereka. Sayang, ibunya tak mengizinkan dia masuk ke sekolah formal seni lukis. Setelah ia menyelesaikan MULO (SMP zaman Belanda) ia masuk sekolah pertanian di Bogor. Sang ibu ingin ia menjadi petani dan mengurus 300 hektare tanah warisan orang tuanya. Alih-alih jadi petani, Sibarani malah giat dalam pergerakan dan menjadi karikaturis lepas.
Pada era 1960-an karya Sibarani termasuk karikatur yang banyak mengkritik Amerika Serikat, terutama keterlibatan negara itu dalam peristiwa PRRI/ Permesta. Dalam bukunya, Karikatur dan Politik, ia bercerita bahwa duta besar Amerika kala itu mencoba menyogoknya agar tidak lagi menggambar karikatur yang menyerang AS. Sibarani mendengarkan permintaan itu dengan sopan lalu menolaknya.
Sibarani pernah menghasilkan sejumlah karikatur untuk harian Waspada dan majalah Siasat di Medan serta majalah Siasat di Jakarta. Ia juga menulis lepas untuk koran Pedoman, Pemandangan, dan Sumber, serta majalah Gelanggang Masyarakat. Pada 1953 ia menerbitkan buku anak-anak berjudul Rumah si Bolang, Musik si Beber, dan Senyum Kasih Senyum.
Di samping menggambar karikatur, ia rajin menyumbangkan tulisannya di rubrik kebudayaan "Lentera", di harian Bintang Timur, yang pernah dipimpin oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Menulis memang bagian yang tak bisa dilepaskan dari sosok Sibarani. Pengalamannya berkeliling dunia ia manfaatkan untuk melihat dari dekat seni karikatur di berbagai negara tersebut. Hasilnya ia tuliskan secara bersambung dalam 10 bagian dan dipublikasikan di Bintang Timur. Sibarani sempat bekerja di harian itu sejak 1957—tempat ia bisa membuat karikatur sebebas-bebasnya.
Karikaturis yang pernah main dalam dua film layar lebar ini—Korupsi dan Djajaprana—selalu memandang karikatur sebagai medianya yang utama, sarana ia menyampaikan ide politik serta menyumbang opini publik. Menurut Sibarani, karikatur lebih efektif tampil dalam koran harian. Tapi sejak ia berhenti dari Bintang Timur, karya-karyanya tak dimuat lagi di koran mana pun. Namanya dianggap tercela karena dipandang masuk golongan kiri. Ia memang sempat ditahan lima hari setelah peristiwa G30S—sebelum dilepaskan.
Harmoko, Menteri Penerangan dari rezim Soeharto—yang menganggap Sibarani sebagai orang Lekra—terang-terangan melarang dia melukis di harian Prioritas milik Surya Paloh. Ia juga pernah ditahan karena sejumlah karikaturnya yang mengkritik rezim Orde Baru. Ayah tiga anak ini kemudian menyaksikan jatuhnya rezim itu pada Mei 1998. Ia tak lupa menggambar sejumlah karikatur untuk melukiskan peristiwa bersejarah tersebut. Karikatur hasil coretan Sibarani kini tersebar di berbagai belahan dunia—selain di Indonesia.
Sibarani, yang menikah dengan Saribar L. Tobing, kini berdiam di sebuah rumah tua yang kecil di Cilandak, Jakarta Selatan. Di ruang tamunya, tergantung empat lukisan yang akan dipamerkan di Galeri Cemara, awal 2002 nanti. Pigura-pigura lukisan itu seperti menuturkan kembali perjalanan panjang seorang manusia yang telah merekam begitu banyak detail dan drama kehidupan melalui gerakan jari dan sapuan kuas.
Ignatius Haryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini