Ada beberapa kesamaan antara Filipina dan Indonesia dalam masalah desentralisasi. Persiapan keduanya sama-sama sangat minim, undang-undang disusun secara kilat, dan meliputi banyak sekali hal yang harus diurus, serta sama-sama bertolak dari pengalaman hubungan pusat-daerah masa lalu. Persiapan untuk monitoring dan evaluasi rencana pelaksanaan pun sangat kurang. Setidaknya demikian yang diungkapkan Dr. Gabe Ferrazi dalam makalahnya, Learning from Decentralization's Implementation: The Philippine Experience and Lesson for Indonesia.
Filipina kini memasuki tahun ke-10 pelaksanaan otonomi daerah. Undang-undangnya lahir empat tahun setelah people's power pertama, 1987. Undang-undang ini bertujuan mendorong suatu tata otonomi lokal yang sejati melalui devolusi kekuasaan dan fungsi, penambahan pendapatan, dan peningkatan partisipasi masyarakat. Desentralisasi meliputi kesejahteraan sosial, kesehatan, pertanian, kehutanan, pekerjaan umum, pendidikan, turisme, dan perumahan.
Proses pengalihan sumber daya manusia, aset, keuangan, reorganisasi institusi lokal, dan kesenjangan kapasitas menjadi masalah utama pada awal pelaksanaan. Sektor kesehatan mendapat perhatian khusus. Rumah sakit dan pusat-pusat layanan kesehatan pindah ke daerah-daerah, membawa lebih dari setengah tenaga paramedis terampil.
Desentralisasi sektor tersebut berikut segala aspek kelengkapannya baru tuntas pada awal 1993. Itu setelah hampir dikembalikan ke pusat oleh keputusan kongres karena ketakmampuan daerah memberikan pelayanan kesehatan yang memadai. Pemindahan SDM jadi masalah.
Di antara pemerintah-pemerintah daerah ada ketidaksesuaian antara jumlah kebutuhan tenaga kerja dan posisi yang tersedia. Penerapan otonomi yang tergesa-gesa dianggap sebagai kelemahan dan menghambat pemecahan sejumlah masalah, termasuk menyangkut pembangunan kapasitas daerah.
Indonesia juga menghadapi hambatan-hambatan yang mirip. Misalnya, keengganan pemerintah daerah berkonsultasi dengan organisasi nonpemerintah dan menutup mekanisme partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Sebagian besar pemda tak mampu berinovasi dan kurang berusaha keras memanfaatkan pasal-pasal Undang-Undang Otonomi. Kerja sama antarpemda ada, tapi hanya menguat ketika mereka hendak menyuarakan sesuatu kepada pusat.
Secara umum, perdebatan dalam otonomi daerah di negara mana pun cenderung serupa. Pemda mengeluh bahwa pusat tak sepenuh hati melaksanakan desentralisasi, dan melakukan kontrol berlebihan atas kewenangan daerah mengelola keuangan. Pemerintah pusat mengkritik pejabat pemda sebagai kurang cakap mengelola keuangan, selain kualitas SDM mereka umumnya rendah.
Itu juga terjadi di Jepang, tempat proses desentralisasi dimulai sejak lebih dari 100 tahun silam. Sampai sekarang penyempurnaan terus dilakukan di setiap satuan administrasi yang disebut prefecture, setelah berakhirnya dominasi sistem feodalisme.
Hanya, karena sejarah dan pengalaman yang panjang itu, kebanyakan aspek teknis dan kuantitatif umumnya sudah beres. Penyempurnaan di Jepang kini lebih menyangkut aspek-aspek kualitatif, misalnya bagaimana memperluas hak publik dalam ikut mengelola urusan lingkungan hidup.
Kita mungkin masih cukup lama untuk mencapai kematangan semacam itu. Para elite pusat dan daerah kita masih dalam tahap bertengkar memperebutkan kewenangan pengaturan, khususnya untuk sektor-sektor yang sarat duit.
Pengalaman di banyak negara menunjukkan, tidak ada rumus baku yang bisa diterapkan secara universal dan di setiap masa. Penerapan otonomi daerah selalu terkait dengan kondisi khas tiap negara, bahkan bisa ber-beda-beda untuk tiap daerah di satu negara.
Kelemahan-kelemahan pada awal pelaksanaan otonomi di negeri-negeri tersebut mestinya dijadikan cermin bagi penyelenggara negara. Sejarah panjang mereka dan singkatnya pengalaman kita tak perlu dieksploitasi sebagai alasan pembenar dan pemaklum untuk segala kedodoran kita.
Ines Handayani, Hamid Basyaib
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini