Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kebimbangan Kudus Putu dan Slamet

Mengangkat novel ke layar putih selalu mengundang sejumlah persoalan. Seberapa jauh kita perlu setia kepada novel asli?

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Telegram itu berhenti di tanganku. Aku jadi teringat sajak Rendra: Ada telegram tiba senja. Kemudian pula ingat pada telegram yang diterima oleh Homerus, atas kematian kakaknya dalam cerita Saroyan: "Komedi Manusia". Tetapi aku tak lupa juga pada cerita seorang kawan Selamat Ulang Tahun kepad adiknya; juga telegram gila dari seorang kawan, dengan ucapan cinta: Aku cinta padamu…."
(dari novel Telegram, bab II, oleh Putu Wijaya)

Ini sebuah kebimbangan yang dinyatakan dengan kata-kata. Inilah keindahan sastra. Dan ketika sebuah karya sastra diangkat ke layar putih, sejumlah persoalan bisa muncul. Bagaimana menerjemahkan serangkaian kata-kata puisi itu ke dalam bahasa gambar? Bagaimana meremas novel yang panjang dan tebal ke dalam karya visual sepanjang 110 menit? Memang tidak mudah. Apalagi para pembaca novel sastra itu tak kunjung bisa menyadari bahwa film—meski diangkat berdasarkan sebuah novel—adalah sebuah kesenian visual yang berbeda dengan kesenian merajut kata.

Kita ingat bagaimana mendiang Y.B. Mangunwijaya kecewa saat romannya tentang Roro Mendut diangkat ke layar putih oleh Ami Priyono. Ia menganggap film itu menyimpang dari novel aslinya sehingga ia tak bersedia namanya dicantumkan sebagai pengarang. Kita ingat Ernest Hemingway, yang konon berani mengganti seluruh biaya produksi film asalkan film yang berdasarkan novelnya tidak jadi diedarkan. Tapi, di sisi lain, film The English Patient—menggondol gelar film terbaik Academy Award tahun 1997—dianggap adaptasi yang berhasil dari novel Michel Ondaatje, pemenang Booker Prize 1992 .

New York Times memuji-muji film ini karena dianggap mampu membangkitkan kepercayaan bahwa semua novel, betapapun sulitnya, dapat diangkat menjadi film. Padahal, siapa pun yang pernah membaca The English Patient akan menyadari betapa banyak perbedaan antara film dan novel aslinya. Ondaatje membagi novel itu menjadi empat bagian tempat tiap-tiap tokoh, yakni Sang Pasien Almasy, Kathryn Clifton, Kip, dan Hana, memiliki pandangan dan kisahnya sendiri-sendiri hingga akhirnya bertemu. Tetapi, di dalam film, tentu saja terjadi pemadatan cerita, penyederhanaan plot, pengayaan karakter, dan pemusatan setting, dan bahkan akhir film yang berbeda. Contohnya ada satu bagian yang panjang dan mendalam tentang kehidupan Kip, sang penjinak bom asal India, yang sama sekali dibabat dalam film karena jika dimasukkan, film tersebut akan tidak fokus.

Ondaatje, yang juga terlibat dalam proses penulisan skenario film itu, bahkan menyarankan agar sutradara Anthony Minghella saat mengadaptasi tidak hanya menjadi "faithful echo" terhadap novelnya. Ia percaya kepada insting sinematik Minghella. Ia bersedia novelnya dicincang. Dan ketika Minghella mampu menyajikan asmara sang perawat dan pasien dengan menampilkan visualisasi lanskap gurun pasir, Ondaatje terkesima dengan erotisme yang timbul akibar gambar itu. "Saya merasa mendapat berkah tak terduga," katanya.

Bagaimana hubungan interteks antara novel Telegram dan film karya Slamet Rahardjo?

Novel yang ditulis Putu saat berusia 28 tahun ini adalah roman yang memenangi hadiah pertama sayembara mengarang roman DKI Jakarta, 1972. Para pengamat sastra menyebut, inilah novel Indonesia pertama yang menggunakan teknik stream of consciousness. Kisah ini dibangun dengan cara penuturan "monologue interieur"—percakapan diri sendiri. Pembaca disuguhi kekacauan pikiran tokoh yang berprofesi sebagai wartawan, yang tak mampu membedakan pikiran sehat dan angan-angannya. Ia tidak pernah tahu kapan ia berkhayal dan kapan ia berhadapan dengan realitas karena sibuk terseret lamunannya terhadap kenangan dan khayalan yang hadir secara berulang dalam pikirannya.

Itu dimulai saat sang tokoh—yang di dalam novel disebut sebagai "Aku"—yang berasal dari Bali, menerima telegram. Telegram berarti ada berita buruk: ibunya meninggal. Ia tidak pernah membuka telegram tapi bayangannya tentang isi telegram itu berkecamuk terus-menerus. Ia harus pulang menghadiri upacara penguburan dan kemudian mengambil alih tanggung jawab keluarga. Sesuatu yang dihindari sang tokoh. Baginya, Bali adalah masa lalu. Pulau itu identik dengan konflik dengan anggota keluarga. Bali adalah simbolisme kematian. Di Jakarta, ia hidup dengan anak pungut bernama Sinta. Sinta sesungguhnya adalah anak yang hendak dibuang oleh saudaranya, yang kemudian dirawat sang tokoh. Kepulangannya ke Bali tentunya akan disambut dengan gejolak pertanyaan tentang keberadaan Sinta.

Sang Aku memiliki pacar khayalan bernama Rosa. Ia mengimajinasikan Rosa sebagai ibu Sinta. Kehangatan gairah percintaannya dengan sang pacar imajiner menstimulasi gairah seks sang Aku setiap berhubungan dengan Nurma, seorang pelacur. Secara silih berganti, Putu Wijaya mempermainkan lamunan-lamunan gelap Aku soal Bali, percintaan dengan Rosa dan Nurma, serta soal Sinta. Cara penuturan yang mengambil gaya anti-alur itu penuh kejutan-kejutan yang tak terduga bagi pembaca.

Kritikus sastra Umar Junus menulis sebuah ulasan panjang tentang novel ini di majalah Budaya Jaya tahun 1974. Ia membedah novel ini setiap bab dan menyimpulkan bahwa bahkan Sinta sesungguhnya hanya khayalan. Bagaimana bisa? Menurut Umar Junus, saat sang Aku berbicara dengan Sinta, terkadang ia merasa dia adalah Rosa, Nurma, atau orang lain. Ketakwujudan Sinta makin kentara karena sang Aku tak selalu memperlakukan Sinta sebagai kanak-kanak, melainkan sebagai wanita dewasa yang penuh pengertian, dan bahkan membelai keretakan psikologi sang Aku.

Apakah visualisasi film ini mampu menampakkan seluruh esensi pergulatan lapisan kesadaran berkelok-kelok yang membaurkan antara imajinasi dan relitas itu? Tentu saja tak mungkin menampilkan stream of consciousness gaya novel itu sepenuhnya. Bagaimanapun, pasti harus ada kompromi untuk melinearkan plot. Bahasa sinematografi berbeda dengan bahasa novel. Mengangkat dunia kata-kata dalam novel menjadi dunia gambar bergerak berarti membuka diri pada kemungkinan penciutan atau penambahan seperti apa yang terjadi pada film The English Patient. Masalahnya, berapa banyak kompromi dan berapa banyak penciutan atau penambahan? Seberapa jauh Slamet membedah novel Telegram? Pada titik ini, selain ada kompromi soal bahasa sastra dan bahasa film, para pembuat film juga harus memperhitungkan bagaimana tim gabungan Indonesia-Prancis itu akan memerlukan kesepakatan-kesepaktan visualisasi, irama, dan tempo film. Tapi, kerja sama Slamet dan Putu harus menjadi basis pembuatan film ini.

Perjalanan membuat skenario novel itu adalah sebuah cerita menarik. Pertama, Slamet meminta Putu Wijaya untuk menulis skenario berdasarkan novel ciptaan Putu. Lalu, berdasarkan skenario itu, Slamet membuat shooting script. Ternyata shooting script Slamet amat berbeda dengan skenario Putu. Putu mengetahui hal ini setelah Henry Chambert Loir—penerjemah novel Telegram ke bahasa Prancis—memberitahunya.

Semula, Putu enggan menengok. Tapi, setelah akhirnya ia membaca shooting script versi Slamet, Putu terkejut. Menurut dia, esensinya berbeda sekali. Putu tidak keberatan dengan perubahan besar. Menurut Putu, hal itu sah saja karena memang novel Telegram bisa ditafsir dari berbagai sudut pandang. Tapi, jika memang Slamet bermaksud menggunakan shooting script versi Slamet, ia meminta agar nama Putu Wijaya tidak usah dicantumkan dalam penulisan skenario. Lebih baik cukup dicantumkan "inspired by" saja.

"Met, saya sudah baca shooting script Anda. Saya rasa shooting script itu sudah menjadi sebuah karya sendiri. Karya Slamet tidak usah dihubungkan dengan Telegram. Saya kira shooting script Anda dan skenario saya kalau sama-sama diproses akan menjadi dua buah film yang berbeda meskipun judulnya sama. Strukturnya sudah lain, karakterisasinya beda, dan targetnya juga tidak sama karena penekanan-penekanannya lain. Saya sarankan, kalau Slamet memang mantap dengan itu, tidak apa. Silakan diteruskan. Siapa tahu visi Slamet jauh lebih bagus," demikian tulis Putu dalam sebuah surat bertanggal 19 November 1997 yang dikirim melalui faksimile ke kantor Slamet.

Slamet memang menganggap skenario Putu masih menekankan aspek sastra yang kental dan kurang bahasa visual. Shooting script Slamet memang memberikan penjelasan visual kepada setiap gejolak tokoh Daku. Misalnya, skenario Slamet memberikan serangkaian adegan kilas balik yang merinci persoalan keluarga di Bali. Slamet berusaha memvisualkan mengapa Bali identik dengan penghambat kebebasan dalam kecamuk pikiran tokoh Daku.

Bahkan, Slamet merencanakan membuka film ini dengan adegan kematian ayah Daku, yang sesungguhnya tidak muncul dalam novel. Setelah credit title, semula Slamet merencanakan akan menayangkan ingatan Daku atas prosesi penguburan di Bali. Sebuah sembahyang kematian keluarga. Di kedua mata jenazah sang ayah diletakkan pecahan cermin, hidungnya disumpal gulungan sirih, di bibirnya ditaruh kepeng, dan alisnya dihiasi daun untaran. Lalu, ada tayangan sang ibu yang marah kepada kakak laki-lakinya yang menjual tanah keluarga.

Sepanjang skenario Slamet terdapat petilan adegan seperti ini: sang kakak laki-laki berdiri di samping seorang berdasi merencanakan pembangunan hotel mewah, sang kakak laki-laki memanipulasi tari sakral sang ibu untuk turis, dan sang kakak laki-laki berjudi. Lalu, ada adegan Daku siap pergi dengan koper berdiri tegak—kakak perempuannya bersimpuh menangis di lantai menggondeli kakinya. Di belakang, ibunya menangis sambil dikerumuni bibi-bibinya. Lalu, ada adegan sang Daku menolak berkonflik soal warisan dengan kakak laki-lakinya, mengucap kata-kata: "Ambil semua hak saya…. Kalau kakak merasa kehadiran saya mengganggu di sini, saya rela pergi dari rumah ini."

Secara visual memang penonton digiring untuk segera memahami mengapa Daku bimbang untuk membuka telegram. Bahkan, Slamet masih merasa tak cukup menggambarkan ketidakberanian itu secara visual. Saat Daku berkelonan dengan Nurma, ia mencari telegram yag mungkin keselip di bawah bantal, selimut, kasur, dan Nurma bertanya, "Emang isinya gawat?" "Enggak tahu…. Aku enggak berani membacanya. Aku enggak berani melihat bayanganku sendiri," jawab Daku.

Pendeknya, tekanan Telegram versi Slamet lebih pada keterombang-ambingan pemberontakan Daku terhadap tradisi yang terasa mengikatnya. Shooting script itu banyak memberikan peluang estetik untuk mengeksplorasi tradisi Bali yang memudar. Saat menulis feature tentang Bali, wajah Daku menceracau menyebutkan memoar gelapnya

Tapi, pada akhirnya Slamet kembali pada skenario Putu. Slamet merasa interpretasinya terlalu jauh. "Putu, saya harap Anda tidak tersinggung dengan keliaran saya dalam memahami materi yang akan saya garap tersebut. Anda adalah pemegang hak cipta! Anda memiliki kekuasaan penuh untuk menolak ini," demikian ditulis Slamet. Pada 20 November 1997, Slamet mengirim surat kepada Putu, memberi tahu akhirnya ia memilih skenario Putu daripada shooting script-nya. "Putu, jika saya memilih, saya memilih sesuatu yang masih menghubungkan tali persahabatan kita. Saya betul-betul mengambil hikmah dari peristiwa ini. Anggap saja bahwa shooting script saya tersebut hanya sebagai upaya memahami lebih dalam, dan lupakan!" demikian bunyi surat Slamet.

Putu sangat menghargai ketika mendengar keputusan yang tulus dari Slamet ini. Sesaat sesudah keputusan itu, asisten sutradara Agung Bawantara menghubungi Chalid Arifin—dosen IKJ yang terlibat dalam proses diskusi penafsiran Telegram—untuk memberi komentar. "Sayang sekali Slamet terlalu berkompromi dengan mengedepankan hal-hal di luar kreativitas. Saya kira sutradara memiliki hak prerogatif untuk memilih sudut pandang sendiri. Shooting script, selama tidak menyimpang dari basic story, itu sah-sah saja. Untuk tampil di Cannes, saya pikir diperlukan sebuah sudut pandang lain yang tidak konvensional. Saya melihat skenario Putu masih konvensional," tutur Chalid.

Tentu saja itu hanya sebuah pendapat. Tekanan Putu lebih pada sosok psikologis orang yang merayakan keraguan. Ambiguitas adalah sesuatu yang suci. Daku mungkin prototipe seorang pengecut. Tapi tepatnya ia orang yang belum menemukan dirinya, seseorang yang rapuh dan mencoba melihat tanggung jawab dari sisi lain. Ia berusaha melakukan pengorbanan yang luar biasa atas "tanggung jawab" itu—melakukan pemberontakan, tapi kalah. Slamet amat setuju untuk mengeksplorasi gagasan kebimbangan yang kudus.

Tapi, meski Slamet sudah memutuskan untuk menggunakan skenario Putu, toh tetap ada beberapa sekuen yang "dijinakkan" Slamet, padahal menurut Putu sangat esensial untuk menampilkan visi ambiguitas yang kudus itu. Adegan itu adalah adegan telanjang bulat Daku. "Saya mengubahnya menjadi sedikit imajinatif. Kalau saya mengikuti keliaran Putu dalam skenarionya, mungkin film itu tidak bisa diputar di Indonesia," kata Slamet. Ada dua adegan telanjang bulat dalam skenario Putu yang tidak divisualkan Slamet. Pertama, dalam skenario asli, Daku bugil dan sambil memandang sebuah potret seorang model di dinding, ia berkonsentrasi dan tak malu-malu melakukan onani. Bagi Putu, telanjang bulat di sini lebih merupakan metafora pencarian sesuatu yang suci. Sebab, adegan selanjutnya yang ditulis di skenario adalah mirip sebuah perjalanan spiritual. Daku melakukan sebuah perjalanan ke dalam diri sendiri. Sang Daku seolah melakukan katarsis "pembersihan diri", masuk ke dalam matanya sendiri, berenang dalam otak, turun ke jantung, masuk ke perut, turun ke alat kelamin—kemudian terbang keluar—melayang-layang terbang melihat kebakaran di kompleks pelacuran, melayang melihat Rosa yang berjalan sendirian. Menurut Putu, ini bisa divisualkan dengan warna-warna dan bentuk-bentuk.

Adegan telanjang bulat kedua adalah saat Daku bersama sahabatnya, Nugraha, di tengah hujan bersama-sama berbugil ria ikut mendorong mobil mogok. Adegan ini disusul sebuah mimpi buruk ketika Daku tiba di rumah dalam keadaan telanjang bulat. Dari dalam rumah, muncul ibunya yang tampak cantik. Lalu mereka bersanggama. Tentu saja Putu tak bermaksud mengobarkan ketidaksenonohan inses. Kita bisa membaca adegan ini secara Freudian. Bahwa dalam tafsir Freudian, seorang yang bermimpi melakukan persetubuhan dengan ibunya sendiri adalah pertanda kompensasi pelarian seorang individu. Ia cenderung memiliki ego narsisistik yang lari dari persoalan dan ingin berlindung di fase erotisme saat disapih. Jika Daku sampai bermimpi demikian, sesungguhnya itu cerminan dari kerapuhan dirinya.

Toh, bagi Slamet, itu tetap sesuatu yang sangat fisikal. Semula dia mencoba merekam adegan masturbasi dengan shot dari kejauhan. Setelah bermasturbasi, sang aku terus merangkak di meja. Tapi setelah screening pertama di Paris, semua orang merinding menyaksikannya dan berkomentar sosok Daku tampak seperti binatang melata. "Saya tidak mau film saya membuat orang muntah," tutur Slamet. Maka, ia memutuskan menghapus adegan itu. Sebagai gantinya, Slamet memvisualkan Daku menyelinap di ketiak ibunya dengan payudara sang ibu yang menjuntai.

Putu juga mencoba menampilkan visualisasi yang agak spiritual dalam sosok Rosa. Dalam skenario Putu, Nugraha mengajak Daku untuk tidur dengan Nurma. Tapi Daku menolak karena Rosa yang ada dalam khayalannya memberontak. Setelah persetubuhan yang ke 3.000 kali, akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Dalam telanjang, Rosa dan Daku merayakan perpisahannya dengan bersimpuh dan berdoa bersama. "Wanita yang hidup dalam khayalanku itu malam ini sudah tak bisa kukuasai lagi. Bayangkan, dia tiba-tiba berontak dan menolakku. Aku tidak mengerti," tutur Daku dalam skenario.

Ini adalah sebuah ironi. Sebab, ketika Rosa, sosok imajinatifnya, menolak Daku, ia merasa makin terbuang—dan makin merasa seperti larik puisi Goenawan Mohamad yang dikagumi Putu: bersiap kecewa bersedih tanpa kata-kata. Inilah kalimat yang, menurut Putu, telah memberikan energi untuk menulis novel ini.

Bagi Putu, rasa pedih dan perih akibat ditolak oleh imajinasinya sendiri adalah energi dari Telegram. "Cerita ini sebenarnya sangat sendu, mengiris. Jika ditolak oleh musuh, itu hal biasa. Tapi ini ditolak oleh sosok yang diciptakannya sendiri. Bayangkan. Itu sebuah penolakan yang brutal," katanya kepada Gita W. Laksmini dari TEMPO. Tapi entah kenapa Slamet tidak memvisualkan ini. Sejak awal, sosok Rosa yang sejatinya tokoh khayalan itu memang kurang terasa. Bagi penonton yang tidak membaca novelnya, memang terasa sulit untuk memahami bahwa Rosa adalah semata-mata wanita dalam angan-angan. Hanya ada dua indikasi dalam film karya Slamet yang menunjukkan bahwa Rosa adalah sosok imajinatif Daku. Pertama, pada adegan Rosa mengetuk-ngetuk jendela rumah Daku; kedua, ketika akhirnya Daku mengaku kepada temannya bahwa Rosa hanyalah khayal belaka.

Dengan segala catatan ini, kita seolah tahu mengapa Putu Wijaya menyetujui penafsiran Y.B. Mangunwijaya atas novel Telegram. Menurut Mangunwijaya, untuk mencari makna Telegram, seyogianya pembaca jangan terpancing pada kritik sosial terhadap Bali, tapi lebih jitu memahaminya sebagai sesuatu yang religius. Kritik sosial adalah riak kecil saja dari kegamangan kemanusiaan sang tokoh.

Bagaimanapun, film Telegram versi Slamet adalah sebuah puisi (yang lain). Ada pilihan mengganti lokasi tahun 1970-an di kawasan Planet Senen menjadi "waktu yang tak terbatas", dan tidak memvisualkan Jakarta secara tropik—panas, tapi Jakarta pada waktu magrib, ketika matahari sudah lelah, terasa cocok dengan ruang batin keraguan Daku. Suasana film itu mengirim perasaan yang pas tentang kenisbian manusia yang menjadi substansi cerita. Telegram dan Telegram memang menjadi dua kisah yang berbeda. Tetapi keduanya lahir menjadi karya-karya yang bersinar

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus