Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah Perayaan tentang Kebimbangan

Setelah tiga tahun penuh liku,akhirnya film layar lebar Telegram ditayangkan dalam pembukaan Festival Sinema Prancis. Sebuah harapan baru untuk perfilman Indonesia.


18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEGRAM
Sutradara:Slamet Rahardjo Djarot
Skenario:Putu Wijaya, berdasarkan novel Putu Wijaya
Pemain:Sujiwo Tejo, Ayu Azhari, Desy Ratnasari, Ni Ketut Cenik
Produksi:Ekapraya Tata Cipta Film (Indonesia) dan Artcam (Prancis)
JAKARTA, di suatu malam, basah kuyup hujan deras tak berkesudahan. Daku dan Rosa basah kuyup oleh keringat gairah. Kemudian, terdengar Kisah Mawar di Malam Hari karya Iskandar menggelegar, membelah malam. Dan cinta suci antara Daku dan Rosa kini dipertanyakan. Mereka berjanji untuk kawin, tapi mereka khawatir segala yang begitu indah akan hilang karena perkawinan.

"Sayang, bagaimana kalau kelak kita berciuman, bergandengan, ngomong, berpandangan hanya karena tugas?" demikian keluh-kesah Rosa (diperankan Ayu Azhari dengan bagus sekali), "Bagaimana kalau semua yang bagus ini hilang karena perkawinan yang membuat kita saling membenci?"

Ini adalah sebuah awal yang pedih. Daku tenggelam dalam kegamangan. Bukan hanya untuk memutuskan "perkawinannya" dengan Rosa, tapi juga untuk membuka telegram yang meluncur ke alamat rumahnya. Telegram bagi bujangan Bali itu adalah sebuah "ancaman". Bisa jadi itu akan mematikan kebahagiaan, khayalan, atau mimpi-mimpinya. Telegram, meski bisa saja berisi ucapan kangen atau cinta, lebih merupakan ancaman kabar kematian ibunya. Dan itu berarti Daku harus kembali ke Bali untuk menghadapi berbagai kenyataan yang selalu dijauhinya.

Daku (diperankan oleh pendatang baru Sujiwo Tejo) selama ini hidup antara alam khayal dan realitas. Rosa adalah bagian dari imajinasi Daku. Ia adalah sosok ideal kekasih Daku yang bercinta dengannya, mengasihinya, dan tersedia untuk Daku setiap kali Daku membentangkan dunia imajinasinya. Mereka bercinta (3.000 kali), berdiskusi, berdesah, bergelut, dan berencana untuk menikah. Tapi saat Sinta, anak angkat Daku, memanggil ayahnya, dunia khayal itu langsung menguap. Dunia nyata menyambar Daku. Dia dihadapi keruwetan dan kerutinan sehari yang rewel, menjengkelkan, tapi bisa juga menyenangkan karena mereka tampak begitu nyata. Itu termasuk saat Sinta, yang diadopsi sejak bayi—karena sepupunya yang hamil di luar nikah tak mampu membesarkannya—mempertanyakan asal-usul dirinya. Realitas itu semakin terasa ketika ibu dan bapak kandung Sinta mulai mengutak-atik kehidupan Daku untuk segera mencengkeram apa yang dianggap "miliknya yang hilang": Sinta. Maka, Daku segera bertabrakan dengan kenyataan. Dia berjuang untuk mempertahankan Sinta. Sementara itu, telegram dari Bali itu datang menggedor-gedor pintunya.

Film Telegram karya Slamet Rahardjo Djarot, yang diputar sebagai pembukaan Festival Sinema Prancis bulan ini--diselenggarakan antara lain oleh Pusat Kebudayaan Prancis-- akan menjadi salah satu film terpenting dalam sejarah perfilman Indonesia. Itu bukan hanya karena film ini merupakan sebuah kolaborasi Indonesia-Prancis (karena itu membutuhkan sejumlah kompromi), tapi juga karena film ini adalah hasil perkawinan dua energi besar bernama Slamet Rahardjo Djarot dan Putu Wijaya.

Terlepas dari serangkaian perbedaan visi antara sutradara dan penulis skenario (serta empunya cerita), film ini adalah sebuah karya yang cemerlang. Film ini dibuat dengan keseriusan tingkat tinggi. Dari tata cahaya, artistik (Judy Soebroto), sinematografi (Jaques Bouquin), hingga penyuntingan (Catherine D'hoir), semuanya dikerjakan dengan teliti untuk penciptaan serangkaian gambar yang simbolis. Lihatlah bagaimana Daku mengeluarkan sebuah monolog saat Sinta tertidur di pelukannya tentang kemungkinan Daku mengawini Rosa, "Ia mungkin sekali akan jadi ibu tiri yang jahat. Kalau begitu, kita akan sama-sama celaka. Tapi, kalau nasib bagus, ia akan menambal kekurangan-kekurangan kita. Ia akan menjadi sahabat kita…." Monolog itu terjadi ketika gambar-gambar silih berganti antara wajah Sinta yang tertidur dan gambar Daku bersama Rosa yang menulis jumlah percintaan mereka di tembok cinta: 3.000 kali. Ini sebuah simbol rasa sakit tak terhingga karena upaya Daku untuk menarik sosok Rosa yang khayali ke dalam dunia nyata hanyalah upaya yang sia-sia belaka.

Kepedihan itu semakin dalam saat Daku berkisah kepada Sinta tentang "ibu ciptaannya". "Nama mama kamu Rosa. Buat kami, hidup ini adalah sebuah rimba pencarian dan kita semua adalah ujung-ujung jarum yang bertugas menjahit untuk merampungkan sebuah permadani kehidupan yang baru…," ungkap Daku sembari menyendok nasi ke sebuah piring kosong bagi "sang mama" yang tak pernah ada, sementara bayangan khayali Rosa menggedor-gedor jendela.

Siapakah Daku? Dia tak lain adalah representasi dari kebimbangan. Ia menjadi wakil dari perayaan kebimbangan dalam hidup manusia. Bagi Putu Wijaya, ini adalah sosok yang mewakili sikap abu-abu, plintat-plintut, dan/atau bahkan mereka yang tak berani bersikap. "Seperti kau tiba di ujung jalan yang tidak hanya bercabang dua, tetapi bercabang seribu, dan kau bingung mana yang harus dipilih karena sama benarnya," demikian tulis Putu kepada Slamet, yang saling berkorespondensi selama proses penulisan skenario.

Maka, kebimbangan itu tampil ketika Daku hampir selalu tak bisa membedakan hidupnya dengan Rosa (dalam imajinasi) dan nyata (dengan pelacur Nurma atau sang anak, Sinta). Keraguan itu juga terlihat ketika Daku lebih suka hidup dalam ketidakpastian (dengan tak membuka telegram) daripada membuka amplop panjang biru misterius itu dan segera mengetahui bahwa ibunya yang sangat dicintai itu telah berpulang.

Sebagai pendatang baru dalam layar putih—meski sudah lama di dunia kesenian—Sujiwo Tejo tak terlalu mengecewakan meski ia tak mampu mengimbangi penampilan Ayu Azhari. Walau sesekali Tejo tampil teatrikal, penampilannya tak terlalu mengganggu. Memang jam terbang menjadi persoalan ketika Tejo harus berhadapan dengan aktris berkelas macam Ayu Azhari, yang tidak hanya tampil cemerlang, tapi juga menjadi "roh" dari seluruh film ini. Sebagai Rosa, kekasih imajinatif Tejo, Ayu Azhari mengeluarkan seni peran bukan hanya saat berdialog. Seni peran adalah seluruh gerak dan napasnya. Sepasang mata dan tubuh Ayu adalah kendaraan bagi penonton untuk mempercayai bahwa ia adalah sosok "nyata" yang khayali.

Ketika tokoh Daku memasuki rumah pelacuran—di mana Nurma dan kawan-kawannya adalah bagian dari realitas—tiba-tiba kita bertemu dengan sekumpulan daging dan nafsu yang juga memiliki cita-cita sederhana: kawin. Ini juga menjadi bagian yang pedih, seperti halnya saat Daku teringat pada ibunya (Ni Ketut Cenik) yang mendengungkan sebuah tembang saat Daku bersembunyi di balik ketiaknya, sementara sepasang payudara yang kendur bergelantung—sebuah adegan Freudian yang langka dalam perfilman Indonesia.

Karena ini sebuah kolaborasi, tampaknya penonton diminta maklum jika masih ada pemeran yang mengeluarkan akting gaya sinetron yang berurai air mata (ehm, silakan tebak pemain yang mana). Dan juga mohon dimaklumi jika terkadang adegan yang berupaya menggambarkan kesibukan ruang redaksi tampak begitu teatrikal dan disibuk-sibukkan.

Toh, itu semua tertutup oleh Ayu Azhari yang bersinar-sinar, dialog absurd khas Putu Wijaya (lihat adegan telepon-telepon gelap di tengah malam), adegan Daku membaca tulisannya sembari setengah telanjang di atas meja kerja yang tentu saja terasa tidak riil tapi lucu, adegan penari Sawitri di muka lawang, dan suara tari kecak yang berbaur dengan adegan Daku memotret.

Film ini akhirnya bagai serangkaian mimpi Daku yang kemudian menyeret mata ke sebuah alam nyata saat persoalan-persoalan keseharian menabrak kita. Daku terkena penyakit sifilis, sang ibu kandung ingin mengambil Sinta ke pangkuannya, terjadi kebakaran di rumah pelacuran, sosok Rosa perlahan menolak bercinta dan meninggalkannya, dan telegram itu kemudian menggedor-gedor alam sadar Daku: sang ibu meninggal dunia.

Hanya satu kalimat singkat untuk Telegram itu: bagi perfilman Indonesia, dia adalah harapan baru.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum