Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kebun Binatang

Kiki Sulistyo menulis puisi dan cerpen yang tersiar di sejumlah media massa cetak dan online.

30 Juli 2023 | 00.00 WIB

Imam Yunni
Perbesar
Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kebun Binatang
Kiki Sulistyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kalau saja aku tak telanjur berjanji kepada Amita, aku tak akan berada di sini, di kebun binatang ini. Cuaca sedang panas-panasnya sehingga, walaupun masa liburan sudah hampir habis, antrean di pintu masuk sangat ramai. Aku sungguh tak mengerti kenapa orang senang mengunjungi kebun binatang. Binatang sama saja dengan orang-orang; sama-sama membosankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Memang aku pernah mengunjungi pasar malam yang di antaranya menampilkan pertunjukan sirkus binatang. Orang-orang takjub melihat binatang-binatang itu. Entah takjub karena pertama kali melihat binatang-binatang itu secara langsung, atau takjub karena kemampuan binatang-binatang itu melakukan sesuatu yang bisa dengan mudah dilakukan manusia. Aku sendiri tak sedikit pun merasa takjub; pertunjukan sirkus itu sangat membosankan. Aku bahkan sampai tertidur karenanya.

Hanya janji kepada Amita yang membuatku rela antre di pintu masuk kebun binatang ini.

Bagiku Amita bukan orang. Ia sesosok peri. Sekian lama ia muncul dalam mimpi-mimpiku; terbang melesat-lesat seraya mengibaskan rambutnya yang pirang bergelombang. Mana sanggup aku menampik bahwa aku sudah tak bisa lagi mengabaikan mimpi-mimpi itu. Betul, baru sekali aku bertemu dengannya. Itu pun tanpa sengaja, yakni di pasar malam tempat sirkus binatang ditampilkan. Namun, dalam soal Amita, sekali saja sudah cukup untuk dapat menghantuiku selamanya.

Amita lebih muda dariku. Mungkin saat itu ia masih belum bersekolah, sementara aku sudah kelas tiga di sekolah dasar. Ia berada di satu tenda, mengenakan pakaian kuning terang dengan sayap di punggungnya. Sungguh cantik dan mungil. Ia tertawa ketika melihatku mengeja nama yang tertera di bagian dada kiri pakaiannya. 

Sebelum kami sekeluarga masuk ke arena sirkus, diam-diam aku masuk ke tenda Amita. Di tenda itu, selain Amita, ada seorang perempuan mengenakan pakaian aneh, duduk di hadapan sebuah bola kristal. Mungkin perempuan itu ibunya. Cukup banyak orang mengantre untuk bertemu perempuan itu. Aku sendiri tak berniat bertemu dengannya, aku cuma memperhatikan Amita yang dengan riang mengepak-ngepakkan sayapnya. Ketika Ibu memanggilku untuk segera mengikutinya ke tenda sirkus, aku sempat mengambil brosur milik perempuan itu. Di lembar brosur tertulis alamat mereka, dan sejak itu aku selalu menulis surat dan mengirimkannya ke alamat tersebut.

Namun, surat-suratku tak pernah dibalas. Meski begitu aku terus menulis. Sampai kemudian, setelah lebih dari dua puluh tahun, akhirnya aku menerima surat balasan. Seketika tubuhku seperti mengecil kembali. Aku seperti melintasi jembatan waktu dengan cara berjalan mundur. Aku adalah bocah kecil berusia 30 tahun, atau orang dewasa berusia 10 tahun. Aku berjingkrak-jingkrak saat membaca bahwa di dalam surat tersebut Amita berkata ia akan mengunjungi kota tempat tinggalku dan ingin bertemu denganku. Lokasi pertemuan sudah ditentukan, yakni di kebun binatang. Segera aku membalas surat itu dengan bubuhan janji bahwa aku akan datang menemuinya pada tanggal sekian jam sekian di kebun binatang yang telah disebutkannya. 

***

Seusai berkeliling ke hampir semua area kebun binatang, dengan perasaan lesu dan bosan aku duduk di bangku panjang yang memang disediakan bagi pengunjung. Tak ada orang lain yang duduk di bangku itu. Mereka tampaknya masih betah mengamat-amati setiap binatang. Pada awalnya aku memang berusaha menghibur diri dengan cara bersikap sama seperti mereka. Dengan hasrat dibuat-buat, aku mengamat-amati harimau. Binatang buas itu tampaknya sama denganku: lesu dan tak menampakkan hasrat sama sekali. Kupikir harimau itu sudah digerogoti rasa bosan yang tak tertanggungkan. Kalau ia bisa bunuh diri, mungkin semenjak dahulu kala, ia sudah mencabik-cabik dirinya sendiri. Begitu juga dengan berang-berang yang kulihat di sebuah kolam kaca. Ia tak punya kegiatan lain, kecuali meluncur dari sisi kolam yang satu ke sisi kolam yang lain. Begitu terus -menerus, berulang-ulang. Aku sampai berpikir binatang ini pun sedang berusaha membunuh dirinya. 

Sementara itu, seekor gagak yang bertengger di ranting, tak melakukan apa pun kecuali menatap langit dengan murung. Terhadap burung hitam itu, aku berpikir ia bahkan sebetulnya sudah mati. Pikiran yang lain muncul ketika aku melihat burung rangkong. Kupikir burung satu ini sudah gila oleh rasa bosan. Ia dengan susah payah berusaha menampakkan dirinya bukan sebagai burung, melainkan sebagai anjing. Ia tak berkicau, tapi menggonggong. Sepertinya burung itu berpikir betapa lebih beruntungnya seandainya ia adalah seekor anjing. Asalkan ia tak menderita rabies, serta menghindari tempat-tempat di mana terdapat warung makan yang menjual tongseng anjing, ia bisa bebas; bisa membuang kotoran dan membuang birahi sembarangan.

Ketika memikirkan semua itu dan kemudian teringat kepada Amita yang belum juga muncul, aku melihat seseorang berjalan dari kejauhan. Mungkin seorang pawang, atau petugas kebersihan. Ia berjalan ke arahku. Semakin dekat, ia semakin yakin aku bahwa ia berniat duduk di bangku yang sama denganku. Dugaanku betul, dan sebelum duduk, ia bertanya: “Saudara sedang menunggu seseorang?"

Ia masih muda. Kira-kira seusia denganku, atau sedikit lebih muda. Kulitnya luar biasa putih dan halus, sehingga sesaat aku ragu apakah ia manusia atau bukan. Pakaian yang dikenakannya diseterika rapi, seperti pakaian orang kantoran. Itu membuatku sedikit risih, sebab tiba-tiba aku menyadari betapa kumalnya pakaian yang kukenakan. Meski begitu, atas pertanyaannya tadi,  aku mengangguk, lantas balik bertanya: “Kamu tahu dari mana?”

“Amita memintaku untuk menemukan saudara, dan mengantar saudara untuk menemuinya.”

Aku terkinjat. Jadi, orang ini mengenal Amita. 

“Di mana Amita sekarang?” tanyaku, lalu: “Kamu ada hubungan apa dengan Amita?” 

“Sebentar ya,” ucapnya dengan tenang. “Biarkan saya menghirup perasaan bebas ini sedikit lagi. Omong-omong, menurut saudara, bagaimana kebun binatang ini?”

Aku merenung sebentar, sebelum menjawab: “Sebetulnya aku tidak suka kebun binatang. Aku ke sini hanya karena sudah berjanji kepada Amita.” Udara panas kembali kurasakan, melepaskan sengatan-sengatan ke seluruh tubuhku. Meski bangku tempat kami duduk terlindung rerimbun daun waru, pancaran panas udara tetap mampu menjangkau, bahkan terasa seakan meresap, sampai ke tulang, bagai bumbu yang dapat dirasakan ketika orang mengisap tulang binatang dalam masakan.

“Kenapa saudara tak suka kebun binatang?” tanyanya kembali. 

“Entahlah. Aku merasa antara orang dan binatang tak ada bedanya. Sama-sama membosankan..”

Ia tertawa, atau nyaris tertawa. Suaranya agak aneh, seperti suara tikus. “Saya suka pikiran saudara. Satu-satunya yang mengatakan bahwa manusia itu istimewa, tak lain adalah manusia sendiri. Manusia memang bisa bikin televisi, atau bikin kebun binatang. Tapi itu tak membuat manusia bisa bernapas dalam air, tak membuat manusia bisa terbang sendiri,” ucapnya dengan semringah.

Seusai berucap, sekonyong-konyong ia berdiri sembari mengayunkan tangannya sebagai tanda agar aku mengikutinya. 

“Manusia adalah proyek yang dibuat oleh manusia dan akhirnya akan memusnahkan manusia. Saudara sepakat dengan saya?” Ia berkata sambil berjalan ke arah dari mana ia muncul tadi. Aku mengikutinya, tapi tak menjawab pertanyaannya, malah balik bertanya: “Kita mau ke mana?”

Ia menghentikan langkahnya, lantas berbalik menatapku: 

“Sekarang saudara ikut saja. Saudara ini manusia, jangan mempengaruhi saya supaya saya menjadi manusia seperti saudara.” 

Tanpa menunggu jawaban, ia kembali berbalik dan melangkah dengan lebih cepat. Aku mengikutinya sambil memperhatikan langkah-langkahnya. Aku baru menyadari sesuatu: orang ini tidak melangkah, ia melompat-lompat. 

Sampai di depan sebuah kandang kosong, ia membuka pintu kandang. Ia membuka pintu bukan dengan tangannya, melainkan dengan giginya. Kandang itu cukup luas, seperti kandang harimau yang kulihat tadi. Ia mempersilakanku masuk. Hingga saat itu aku belum tahu, apakah ia hendak mempertemukanku dengan Amita atau ada maksud lain. Di kandang tak ada Amita. Aku mau bertanya kepada orang itu, tapi ia juga sudah tak ada. Aku mau keluar, tapi saat berbalik, aku melihat di luar kandang kerumunan orang mulai mendekat dan menatapku dengan takjub. Pintu kandang terkunci. Aku berteriak-teriak sambil menarik-narik kawat terali. Sebagian orang menampakkan muka ketakutan. Seseorang di tengah kerumunan segera berseru-seru untuk menenangkan mereka: “Tak perlu takut, tuan dan nyonya!” 

Aku memperhatikan orang yang berseru-seru itu. Ia seorang perempuan yang mengenakan pakaian kuning terang, sebagaimana rambutnya yang pirang bergelombang. Sesaat aku ingat Amita. Namun, pikiranku sudah telanjur kacau. Aku menengok ke sana kemari untuk mencari orang yang tadi mengajakku ke kandang ini. Sialan. Ia telah menjebakku; ia telah menjadikanku tontotan untuk orang-orang. Kalau ketemu, aku akan mencabik-cabiknya. Aku kembali meraung-raung sambil menarik-narik kawat terali. Orang-orang yang melihatku tak lagi menunjukkan rasa takut. Bahkan, di mata mereka ada pancaran kekaguman. Mereka mengucapkan kekaguman masing-masing kepada orang di dekatnya, sehingga suara-suara mereka berdengung macam dengung lebah. 

Di tengah dengungan yang kian ramai, aku mendengar perempuan tadi kembali berseru: “Ini namanya Manusia; penghuni baru di sini. Binatang ini tidak galak. Ia memang pandai berpura-pura. Tampaknya saja galak, tapi sebetulnya ia sangat sopan, ramah, dan lucu!” ***

Kekalik, Desember 2022
 

Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kumpulan cerpennya, Muazin Pertama di Luar Angkasa (2021), masuk nomine Penghargaan Sastra Kemendikbudristek 2022. Sementara itu, kumpulan cerpennya, Bedil Penebusan (2021), masuk nomine Buku Prosa Terbaik Tempo 2021. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus