PAMERAN keramik, dari 11 s/d 22 Agustus ini, ditampilkan TIM yang bekerja sama dengan Keramik Gajahwong, Yogyakarta. Karya-karya yang ditampilkan memang agak beda dengan pameran sebelumnya. Pada pameran keramik Widayanto yang ditampilkan adalah karya-karya "wadah", sedangkan dalam pameran Girindra ini yang lebih menonjol adalah unsur dekorasi. Karya-karyanya tak terlalu besar. Yang paling besar berukuran 65 cm. Dan rata-rata mengambil bentuk manusia atau binatang yang dipiuhkan menjadi bentukbentuk yang volumistis ramping, dihiasi gores dan tempel. Glasir yang ditampilkan bervariasi dari mat (kesat) sampai mengkilat, dan ada yang mantap ada yang terasa enteng. Ungkapan karya-karyanya jujur, polos tanpa pretensi, misalnya patung Penunggang Kuda -- sebuah patung yang menggambarkan seekor kuda dengan penunggangnya. Karya ini polos, tanpa dekorasi, dan kekuatannya terletak pada bentuknya yang mantap. Fokus benda ini terdapat pada kudanya yang dibuat dalam ukuran yang relatif besar, bulat, sedangkan penunggangnya sebagai kontras dibuat kecil. Ramping. Glasir yang dipakai adalah glasir hijau mat yang mempunyai beberapa kedalaman warna, dari hijau keputihan sampai pada hijau kehitaman di bagian bawah kudanya, sehingga secara keseluruhan membuat karya ini utuh, mantap, dan kaya. Karya lain yang menarik yang berjudul Mantenan II. Ini sebuah karya yang menggambarkan sepasang pengantin, dalam pakaian pengantin Jawa, yang sedang duduk bersila. Bentuknya dipiuhkan sedemikian rupa sehingga proporsi badan menjadi tinggi. Kedua patung ini diberi dekorasi tempel pada gaunnya, dan juga diberi glasir hijau mat yang muda. Tampaknya, memang di sinilah kekuatan Girindra, dalam memanifestasikan idenya mengenai kehidupan Jawa dalam figur-figurnya yang dekoratif, dan jujur, melalui media keramik. Penggarapan bentuk-bentuk yang lain tampak agak kurang berhasil, misalnya karya Robot yang menggambarkan sebuah figur robot dengan kunci yang besar di punggungnya. Dari segi teknik pembakaran tampaknya Girindra masih mengalami beberapa kesulitan, sehingga karakter glasir dan bentuk pada beberapa karya masih tampak kurang serasi. Memang, Girindra, menurut pengakuannya, baru beralih dari pembakaran suhu rendah ke pembakaran suhu madya, sehingga masih harus mengadakan beberapa penyesuaian dan penelitian dalam glasir dan raga suhu madya. Pameran tunggal Girindra ini masih memperlihatkan beberapa kelemahan. Terutama, dalam konsep pameran itu sendiri. Karena potensi media keramik yang demikian beragam, maka seorang seniman perajin keramik pada dasarnya dapat melaksanakan dua jenis pameran. Yaitu pameran "seni" dan pameran "komersial". Di dalam pameran seni, ia akan menampilkan karya-karya tunggal yang unggul, tanpa terlalu memikirkan apakah karya tersebut akan laku terjual atau tidak. Di dalam pameran yang kedua, seniman perajin ini akan menampilkan karya-karya yang memang diarahkan untuk penjualan. Dalam hal ini ia akan banyak menampilkan karya-karya yang digandakan, atau karya seni. Girindra, 42 tahun, dalam pameran ini tampaknya masih belum menentukan sikap dengan tegas. Ia menampilkan karya-karya unggulan seperti Penunggang Kuda, di samping karya-karya yang digandakan seperti Asbak Kekasih atau Jaran Kepang dan Benguk. Hal ini membawa akibat bahwa kekuatan yang ada dalam pameran ini menjadi kabur. Karya-karya ganda, yang pada suatu pameran komersial dapat saja kita terima, pada kesempatan ini menjadi unsur yang melemahkan. Untuk pameran yang akan datang barangkali Girindra perlu mempertegas pameran apa yang ia tampilkan. Hal lain yang juga terasa agak mengganggu adalah keanekaragaman gaya yang ia munculkan. Di samping gaya figuratif dekoratifnya yang mantap, ia menampilkan pula gaya yang naturalistis, yang mengingatkan kita pada patung-patung keramik Jerman atau Italia. Juga tampak gaya yang reaktif, seperti Robot, Dewi Kesuburan. Atau yang berkesan abstrak modern: Lelaki Duduk. Kiranya, konsistensi dalam gaya akan lebih mampu memberikan suatu keutuhan dalam sebuah pameran. Girindra telah membawakan suatu segi yang lain lagi dari seni keramik Indonesia. Langkah berikutnya, tentu pemantapan. ANTONIUS Girindra Soegijo lahir di Yogyakarta, 24 Maret 1945. Sampai 1983 ia mengajar di Institut Kesenian Jakarta. Pada 1985 Girindra bergabung dalam studio Keramik Gajahwong, Yogyakarta, yang didirikan oleh keluarga besar Soegijo. Seorang kakaknya, Gardono Soegijo, pengecor perunggu. Abangnya yang lain, pematung terkenal G. Sidharta, dan Gautama Soegijo, pemusik yang kini menetap di Berlin. Ayah tiga anak ini belajar keramik sejak di ITB, 1965. Kemudian ia belajar di Ecole des Arts Decoratifs, Swiss, sampai selesai pada 1972. Gurunya di sana, antara lain, tokoh keramik Daniel de Montmoulin, dan Claude Presset. Hildawati Siddhartha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini