PAMERAN tunggal karya Tisna di Galeri Soemardja FSRD-ITB, Bandung, 4-9 April, memajangkan etsa, akuatin, dry point, dan litografi. Salah satu kesan yang segera diberikannya: pembuatnya keranjingan teater, tontanan, dan keramaian. Tisna - lahir di Bandung, 1958 - tamat dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Tahun lalu ia menerima beasiswa dari Goethe Institut dan Prof. Karl Schulz untuk mempelajari seni grafis di Hochschule fur Bildende Kunste, Braunschweig, Jerman Barat. Lima belas dari 38 karya boleh dibilang banyak juga. Semua itu berjudul Teater. Setidaknya juga ada 8 lainnya yang judulnya bertalian dengan teater atau tontonan. Misalnya Macbeth, Lear, Artaud, Wayang, Badak-Badak (lakon karya Lonesco), debus. Dan sejumlah yang lain menyajikan citra yang bersuasana teater, tontonan, atau keramaian. Bahkan pembuatan seni grafis dipamerkan pula dengan gambar, tanda, dan kata-kata petunjuk: proses yang dipertontonkan untuk tontonan. Teater yang terbayang dalam grafis Tisna adalah teater hiruk-pikuk - pada satu bidang gambar terlukis begitu banyak orang dan kejadian. Orang-orang itu tidak diam, melainkan bergerak dan berteriak keras, berlari, melompat, berkelahi, dan bisa jungkir-balik. Entah, apa ada pengunjung yang mengamati semua rinci gambar Tisna atau mampu menemukan ujung-pangkal cerita, sekiranya ada cerita. Tampaknya, Tisna berimprovisasi seenaknya dengan khayalnya, dan dengan tangannya yang menggambar. Teaternya fantastik. Di situ ditemukan sosok-sosok manusia yang ganjil, tampang yang buruk atau lucu, bahkan ada yang menyeramkan. Ada binatang khayalan, selain sosok yang tak jelas apakah dia itu manusia atau hean. Khayalan yang kaya dan yang bukan-bukan itu muncul mengalir. Sedangkan bidang gambar bisa diisi penuh, ini tentu karena dua sebab. Pertama, dorongan bermain, yang tampaknya memang kuat pada Tisna. Dorongan ini juga kelihatan pada grafiti yang terdapat dalam beberapa gambar, juga pada judul seperti Menghajar Picasso, Kainwinka, Wayang da Vinci. Dan kedua, menggambar yang cepat, lancar, tetapi ia tidak ambil pusing untuk membandingbandingkan gambar dengan kenyataan apalagi membadingkannya rinci demi rinci. Dalam menggambar demikian terlibat pencerapan total, sinkretis, yang tidak membeda-bedakan dan memisah-misahkan seperti yang dimiliki anak kecil. Tidak heran bila dalam grafis Tisna wayang orang bertemu dengan tentara atau dengan binatang fantastik dari alam bioskop. Meman, ambar Tisna mengingatkan kepada gambar kanak-kanak. Dalam salah satu gambar dari seri Teater kita melihat di panggung bermain sosok-sosok dari lukisan Picasso. Sebuah lampu menyorot ke penonton. Mereka menghadap ke arah kita dan membelakangi panggung. Dalam gambar ini, teater bukanlah hanya peristiwa di panggung, melainkan seluruh situasi yang melibatkan juga penonton. Dalam gambar lain (masih dalam seri ini) para penonton merebut peran yang lebih penting dari para pemain, yaitu seorang penunggang kuda lumping dan seorang penabuh gong. Para pemain tampak loyo, malu-malu atau takut-takut Para penonton beringas, berteriak sambil mengguncang-guncangkan tangan. Kita bukan berhadapan dengan tontonan, melainkan berada dalam keramaian. Bahwa seluruh situasi tempat tontonan itu hanyalah unsur - meskipun unsur inti. Yang terutama ditampilkan Tisna dalam seri Teater adalah keramaian rakyat, berpusat pada bentuk teater arena. Barisan sosok-sosok, yang di sana-sini kita jumpai dalam karyanya, mengingatkan kepada prosesi upacara, terkadang juga pada karnaval. Keramaian-keramaian rakyat, yang sering merupakan unsur dalam kompleks keramaian yang lebih besar, yang berintikan upacara, agaknya semakin langka dalam kenyataan hidup kita. Keramaian tampaknya bertalian dengan tata masyarakat yang berbeda dengan tata masyarakat sekarang atau tata masyarakat yang sedang tumbuh. Berjenis-jenis keramaian punah (Tisna, dalam salah satu gambarnya, memajangkan tulisan Sekarat Murni Kuda Lumping), atau menjelma menjadi tontonan yang harus dibayar dan digelarkan dalam gedung. Terwujudnya seni dalam keramaian berarti menyatunya seni dengan kehidupan masyarakat. Dalam Menghajar Picasso dan Pesta Pencuri sosok-sosok dari lukisan Picasso keluar dari bingkai dan hidup gentayangan. Hati-Hati Seni memperolok-olokkan seni yang terkucil, digambarkan seperti hantu sawah di panggung, sedang di depannya domba-domba tidak peduli. Sedangkan Teater Tiga Burung tampaknya mempersoalkan seni dalam hubungannya dengan moral. Individualisme, komersialisme, kapitalisme rupanya menolak keramaian. Terpadunya khayal serta dorongan bermain di satu pihak, dan kenyataan serta kerja di lain pihak - menyatunya seni dan kehidupan sosial bertalian dengan tata masyarakat lain. Meskipun pengunjung pameran tersenyum di depan gambar-gambar Tisna karena memandangnya jenaka, gambar-gambar itu kiranya mengandung nostalgia, kalau bukan utopia. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini