Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kembali ke api

240 karya lukisan semsar siahaan dibakar oleh ia sendiri. itu adalah happening. disini pembakaran dan penghancuran merupakan idiom populer. adegannya sengaja digelarkan untuk ditonton dan ditanggapi.

16 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHAD malam kemarin. Sekitar seratus anak muda membentuk lingkaran di ruang dalam Gedung Yayasan Pembina Kesenian, Jalan Naripan, Bandung. Api dinyalakan di ember besar dari seng, di tengah lingkaran. Ini bukan acara api unggun yang lazim jadi penutup kegiatan pramuka. Itu adalah happening. Di sini pembakaran dan penghancuran merupakan idiom populer. Terjemahan bebasnya: adegannya sengaja digelarkan untuk ditonton dan ditanggapi. Sebuah teater yang biasanya pendek, dan lebih mementingkan daya pukaunya. Suasana di ruangan 9 x 10 meter persegi itu, miris. Masih di tengah, di sebelah api, ada pelukis Semsar Siahaan Lelaki yang rambut ikalnya banyak uban ini, setelah menutup pameran lukisannya di aula depan gedung itu, segera akan membakar 240 karya lukisnya (hitam putih, di atas kertas). Karyakarya itu baru sa1a selesai dipamerkannya. "Harap ini jangan diartikan pembakaran karya. Ini adalah pengapian kembali," kata Semsar. Padahal, sebelumnya dia sudah menyiapkan penjelasannya, begini: "Saya punya keyakinan, inti karya adalah semangatnya. Saya selalu merasa dekat dengan api, sebagai sumber semangat. Karena itu, karya-karya ini saya kembalikan lagi kepada semangatnya." Pengapian, menurut ideologinya, proses dari upaya pembaruan. "Demi semangat pembaruan yang lebih kuat, lebih dahsyat, untuk penciptaan karya seni pembebasan yang akan datang. Ini solusi yang saya lakukan untuk mencapai konsep saya mengenai kemapanan karya seni," tambahnya. Api semangat, bagi Semsar (lahir 1952 di Medan dan ayahnya perwira militer), adalah api dalam arti sesungguhnya. Awal Februari 1981 ia pertama kali berhappening dengan media api. Ketika itu - di halaman kampus ITB - makanan yang ia sajikan untuk api adalah peti-peti bekas paket patung yang baru pulang pameran dari Jepang. Satu di antaranya berisi patung Citra Irian dalam orso karya Sunaryo, dosen ITB, guru Semsar. Ekor kerjanya, "Oleh-Oleh dari Desa" itu: Semsar dipecat sebagai mahasiswa Seni Rupa ITB. "Secara konseptual, peristiwa malam nanti sama dengan yang itu," katanya, kepada Jenny R. Suminar dari TEMPO. Pukul 21 malam itu, usai seorang gadis mengajak hadirin menyanyikan Indonesia Raya dan Maju tak Gentar, listrik dipadamkan. Dibantu beberapa rekannya melepaskan lukisan dan sketsa hitam putih dari papan penempelnya, Semsar memasukkannya satu per satu ke ember berapi itu. Matanya menatap ke ujung tangannya sendiri. Karya yang diperabukan itu merupakan gabungan dari kerja kerasnya sejak empat tahun. Di antaranya Manubilis Berfoya-foya (tentang mengumbar nafsu). Sebagian bahkan sudah ditaksir untuk dibeli seorang juragan PT Sinar Kasih Jakarta. "Kalau dipikir, ya, berat saya harus melakukannya," tutur Semsar. "Tapi semua itu sudah saya dokumentasikan dalam film." Perabuan itu seperti "puncak" Semsar berpameran keliling ke Surakarta, Salatiga, Yogya, dan Bandung - seusai pertama kali ia berhasil menggelarkan karyanya di TIM Januari lalu. Depot Kreasi Jurnalistik Jakarta Forum yang membawa emsar ke luar Jakarta itu semula rencana biayanya lebih dari Rp 5 juta. "Yang terealisasi Rp 2,1 juta," kata Amir Husein Daulay, dari JF. Lebih dari "puncak", agaknya itu upaya mencapai kondisi katarsis. "Saya memerlukannya," kata Semsar, dengan mata menyala. Dalam remangan cahaya api di ember dan dari luar yang menyusup melalui pintu jerih payahnya itu dia luluhkan. Pukul 21.30 semua lukisan itu hangus. Lampu dinyalakan, dan terdengar tepuk tangan. Selain menyalami Semsar, ada pula orang memeluknya, seperti sudah lama tak bersua. Dan di sela itu Semsar berbisik pada TEMPO. "Terus terang, di tengah jalan saya tergetar juga. Tapi akhirnya, ya, enak saja," ujarnya. Getar itu masih tersisa di tangannya, dan kelihatan ketika ia membaca kredo "Diapikan kembali, kembali pada Semangat Api Pembebasan." Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus