Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
The Animal Kingdom menjadi film Prancis terbaru yang mendapat sambutan positif.
Upaya sutradara Thomas Cailley mengedepankan kehangatan keluarga di tengah isu wabah mutasi genetik.
Pandemi Covid-19 ikut mempertajam tema wabah pada naskah The Animal Kingdom.
Bicara tentang film bertema mutasi genetik pada manusia, boleh jadi hanya waralaba film X-Men yang terlintas di kepala. Maklum, film bergenre superhero dan fiksi ilmiah itu memang menyuguhkan imajinasi tentang manusia yang punya kekuatan super. Salah satunya adalah kemampuan layaknya hewan tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nah, kali ini film semacam itu lahir dari Prancis. Berjudul The Animal Kingdom, film produksi StudioCanal, rumah produksi dan distribusi film Prancis, itu sedang tayang di bioskop-bioskop Indonesia sejak pekan ini. Sejauh ini film tersebut mendapat sambutan dan penilaian bagus dari penonton hingga kritikus, seperti di IMDb (7,2/10) dan Rotten Tomatoes (94 persen).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film berdurasi 127 menit itu bercerita tentang mutasi misterius yang terjadi pada manusia. Singkat cerita, sejumlah orang mulai mengalami mutasi genetik yang cepat. Tubuh dan perilaku mereka berubah seperti berbagai jenis hewan. Walhasil, selain bentuk tubuh yang berubah menyerupai binatang, akal mereka sebagai manusia pun luntur.
Keadaan semakin runyam saat truk khusus yang membawa manusia-manusia mutan itu mengalami kecelakaan di pinggir hutan. Walhasil, para manusia separuh hewan itu pun kabur.
Namun bukan tema manusia berkekuatan hewan yang jadi cerita utama film The Animal Kingdom. Sutradara Thomas Cailley justru memilih perjuangan orang-orang yang belum mengalami mutasi genetik untuk bertahan hidup sebagai kerangka utama cerita.
Film ini mengisahkan Francois dan Emile—masing-masing diperankan Romain Duris serta Paul Kircher—ayah dan anak yang memulai kehidupan baru. Sembari bertahan hidup, Francois berusaha mencari Lana, istrinya yang mengalami perubahan genetik menjadi separuh serigala. Lana ikut dalam rombongan truk yang kecelakaan tersebut. Ia dikabarkan sudah lari ke hutan mengikuti insting hewannya.
Kedekatan Francois dan Emile memang menjadi sorotan utama film The Animal Kingdom. Chemistry di antara keduanya memang layak diacungi jempol. "Kehangatan keluarga yang disuguhkan ayah dan anak ini menjadi penyegar di tengah kondisi pelik nan membingungkan," kata Ramadhan Maulana Malik, penonton yang ditemui di salah satu bioskop di Jakarta Pusat, Jumat, 15 Desember lalu.
Film The Animal Kingdom. STUDIOCANAL International
Selain itu, pria yang akrab disapa Rama itu memuji kualitas visual film The Animal Kingdom. Menurut dia, visualisasi lanskap alam dan manusia setengah hewan tampak sangat nyata. "Para manusia mutan didandani dengan hasil yang sangat mirip hewan."
Sementara itu, penonton lain, Fatima Rizkia Lubis, memberikan pujian kepada aktor yang memerankan manusia setengah hewan. Salah satunya adalah tokoh Fix, manusia setengah burung, yang diperankan Tom Mercier. Menurut Rizkia, tokoh Fix sukses mencuri perhatian penonton. "Bahkan, menurut saya, lebih menarik ketimbang peran lain di film, termasuk pemeran utama," ujar perempuan berkerudung tersebut.
Rizkia juga memuji pesan dalam film saat Francois bertemu dengan Lana yang sudah menjadi manusia hibrida. Walhasil, Francois harus merelakan istrinya pergi dan berfokus pada kehidupa saat ini: melindungi anaknya. "Sangat menyentuh," ucapnya.
Sutradara Thomas Cailley menyiapkan para pemain dengan cukup detail. Salah satu caranya dengan menggandeng penulis komik Frederik Peeters. Mereka menyiapkan karakter manusia hibrida selama berbulan-bulan. Cailley dan Peeters juga menggembleng para aktor untuk bisa berperilaku seperti hewan.
Misalnya, Tom Mercier yang berubah menjadi manusia hibrida burung. Selama berbulan-bulan, Mercier berlatih perilaku dan pernapasan. Maklum, dalam peran manusia burung, ia harus berbicara seperti burung. "Caranya, dia harus menyedot udara, bukan mengeluarkan udara seperti berbicara," tutur sutradara Cailley.
Cailley mengatakan ide film The Animal Kingdom cukup segar dan lain dari yang lain. Namun, menurut dia, cerita tersebut tidak datang begitu saja dari dalam kepalanya. Awalnya, ia menemukan naskah yang ditulis salah satu siswa sekolah film La Femis, tempat Cailley sekolah dulu. Kebetulan Cailley saat itu menjadi juri dalam lomba penulisan skenario film.
Saat itu siswa bernama Pauline Munier menulis cerita tentang perkawinan silang antara manusia dan hewan. Menurut Cailley, cerita tersebut jauh dari film The Animal Kingdom. "Tapi ini metafora yang mencakup semua tema yang saya suka, seperti membimbing anak dan dunia yang hancur karena manusia itu sendiri," kata pria 43 tahun berkebangsaan Prancis itu.
Cailley bercerita, ia dan Munier perlu waktu bertahun-tahun untuk mengkonsep cerita The Animal Kingdom hingga matang. Ia mengaku terinspirasi oleh sejumlah film, seperti A Perfect World karya Clint Eastwood, The Only Son karya Yasujirō Ozu, Running on Blank karya Sydney Lumet, dan The Host karya Bong Joon-ho.
Menurut dia, genre film-film tersebut tidak terlalu penting. Namun kekuatan karakter mereka yang berhubungan menjadi patokan Cailley. "Membuat karakter ini relevan dan menunjukkan bagaimana keseimbangan kekuatan di balik sebuah tatanan baru."
Selain itu, Cailley ingin menggambarkan problem yang tidak biasa ketika manusia bermutasi secara cepat menjadi makhluk lain yang diibaratkan seperti hewan. Seberapa cepat proses mutasi dan tingginya probabilitas setiap orang bermutasi memunculkan kekhawatiran yang bisa dirasakan penonton.
Cailley mengimbuhkan, pandemi Covid-19 pun ikut mempertajam naskah cerita The Animal Kingdom. Sebab, penulisan naskah terjadi ketika dunia benar-benar mengalami perubahan tatanan baru. Pengalaman nyata itulah yang membuat ia mampu menghadirkan sebuah wabah yang betul-betul mencekam dalam film. "Setelah naskah jadi, kami tidak tahu apakah ada orang yang akan membeli cerita kami," katanya.
Selain mendalami cerita dan karakter, Cailley mengambil pendekatan berbeda saat proses syuting. Ia meminimalkan penggunaan efek CGI yang berlebihan. Alih-alih menggambarkan alam hutan dengan bantuan green screen, ia memilih mengambil gambar di kawasan hutan di Taman Nasional Landes de Gascogne di barat daya Prancis. "Lanskap alam menjadi kekuatan kami bersama tampilan manusia hibrida karena harus sealami mungkin."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo