Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah Marlena, Bawor, dan Hukum Tabur Tuai
Puspa Seruni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata bapak, Tuhan menciptakan hukum tabur tuai. Jika kau menebar biji cabai, jangan harap bisa panen padi, terangnya. Aku tak mengerti apa yang diucapkan bapak waktu itu, tetapi tetap mengangguk seolah-olah mengerti. Akan tetapi, setelah melihat Marlena mati di kandang sapi, aku rasa Tuhan telah keliru menumbuhkan benih yang telah ditabur perempuan tua yang kesepian itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marlena meninggal setelah lehernya digigit Bawor, sapi peliharaannya. Warga desa berduyun-duyun datang untuk menyaksikan peristiwa tragis yang tak biasa itu. Selama ini, siapa pun tahu bahwa sapi bukan hewan karnivora yang memiliki gigi runcing dan menyukai daging. Sapi menggunakan gerahamnya yang kokoh untuk mengunyah rumput dan hijauan lain.
Kabar seekor sapi menggigit leher dan membuat pemiliknya mati bergelimang darah tentu menjadi kabar mengejutkan bagi semua warga kampung. Tak perlu menunggu lama, kabar itu menyebar hingga ke kota kecamatan, ke kota kabupaten, bahkan ke ibu kota negara. Semua orang tiba-tiba saja menjadi wartawan dadakan yang berlomba-lomba memberitakan peristiwa pembunuhan itu ke seluruh penjuru negeri.
Tak Tahu Balas Budi, Sapi Kurus Membantai Sang Majikan
Mengejutkan, Perempuan Mati Disembelih Sapi
Dianggap Tak Bertaring, Seekor Sapi Tunjukkan Kekuatan
Begitu kira-kira sedikit dari banyak judul tulisan yang memuat berita pembunuhan—atau sebagian orang menyebut pembantaian—yang terjadi di kampungku. Foto atau video tentang peristiwa tersebut berseliweran. Meski perempuan itu sudah dikubur dan sapi peliharaan yang telah menggorok lehernya ditangkap, peristiwa itu terus menjadi topik perbincangan.
Bawor kini diikat di halaman balai desa. Tali keluh yang dipasang pada sekat hidung sapi diganti dengan tali tambang yang kuat, yang ujung-ujungnya diikat pada dua pohon kelapa yang kokoh di sebelah kanan dan kiri. Sapi putih itu tak bisa bergerak ke kanan atau ke kiri, ke depan atau ke belakang. Ia hanya bisa bergerak di tempat, duduk atau berdiri.
Aku memandangi Bawor dari jarak yang kuanggap aman. Meski tak banyak berontak saat ditangkap warga, aku tak mau mengambil risiko bernasib sama seperti pemilik sebelumnya. Kepala Desa telah memintaku menyediakan rumput serta menjaga sapi ganas itu. Sebagai sapi pembunuh, bukan tak mungkin harga jual Bawor akan melonjak seperti sapi yang berkali-kali menang aduan sehingga dapat memancing komplotan maling untuk mencurinya. Aku harus mengawasinya dengan saksama.
Seraya mengamati Bawor yang duduk sambil mengibas-ngibaskan ekornya, aku teringat pada sebuah peristiwa sepuluh tahun lalu saat Marlena memasuki jalanan kampung di suatu petang dengan menuntun seekor sapi kurus. Kepada semua orang yang ditemuinya, dia mengatakan bahwa Bawor dibeli dengan harga murah di pasar. Sapi kurus itu memang tampak tak terurus dengan tulang-belulang yang bertonjolan dan mata yang terus mengeluarkan belek serta air seperti orang menangis. Orang-orang tidak mengerti mengapa Marlena membeli sapi penyakitan seperti itu.
Kepada semua orang yang mempertanyakan keputusannya membeli Bawor, Marlena bercerita bahwa sapi kurus itu dibelinya setelah mendapat wangsit dari mimpi yang dialaminya selama tiga malam berturut-turut. Mimpi itu datang setelah nyaris satu bulan Marlena dilanda gelisah setiap malam. Kecemasan itu dibawa oleh seorang lelaki tua bertongkat yang mengetuk pintu rumahnya suatu malam. Lelaki asing yang datang saat hujan deras itu mengatakan kematian Marlena tak akan lama lagi. Marlena akan mati dalam kesendirian dan dalam kondisi mengenaskan. Ramalan itu tentu membuat Marlena bergidik dan tak bisa tidur.
Marlena sudah lama hidup sendirian di sebuah rumah besar dengan halaman luas peninggalan suaminya. Dia memiliki beberapa petak sawah yang selalu menghasilkan padi dengan bulir yang utuh dan apik. Kehidupan perempuan tua itu berjalan baik meski tak memiliki anak atau kerabat yang mau tinggal bersamanya. Sekadar informasi, tidak ada orang yang bisa tahan tinggal dengan perempuan cerewet yang kata-katanya selalu berhias ucapan-ucapan merendahkan dan membuat sakit hati orang yang mendengarnya. Marlena pernah memiliki banyak pesuruh yang tinggal di rumahnya. Tetapi, setelah kematian suaminya, semua orang tidak betah lagi tinggal bersamanya.
Kedatangan lelaki tua bertongkat mulai membuatnya berpikir untuk mendapatkan seseorang yang mau menemaninya. Dia tak mau mati sendirian, bahkan jika perlu dia ingin menunda kematian. Marlena mulai mengingat-ingat para pesuruhnya dan berniat memanggil mereka kembali. Akan tetapi, ada hal yang selalu membuatnya mengurungkan niat itu.
Menyadari bahwa dia pun tak bisa tahan tinggal dengan orang lain, dia semakin gelisah. Hingga suatu malam, lelaki tua yang menemuinya tempo hari hadir ke dalam mimpinya. Lelaki tua itu tidak sendirian. Di sampingnya berdiri seekor sapi putih dan kurus. Lelaki tua itu tak berkata apa-apa. Dia hanya mengusap-usap kepala si sapi. Mereka terlihat berbincang-bincang dan tak memperhatikan kehadiran Marlena. Selama tiga malam berturut-turut, mimpi serupa hadir menghiasi tidur malam Marlena.
Setelah merenung cukup lama dan bertanya kepada beberapa orang pintar, Marlena sangat yakin bahwa mimpi itu adalah sebuah petunjuk. Melalui mimpi itu, lelaki tua bertongkat telah memberinya jalan keluar dari kegelisahannya selama satu bulan terakhir. Dia telah memutuskan membeli seekor sapi yang akan menemaninya di rumah. Marlena mulai keluar-masuk kampung dan pasar untuk menemukan sapi dengan ciri-ciri persis seperti yang dicarinya.
“Sapi kurus berwarna putih itu banyak, tapi yang membedakan sapi ini dengan yang lainnya adalah warna hitam di kedua ujung telinganya,” ucapnya saat seseorang bertanya apa ciri khusus yang dilihat dari sapi dalam mimpinya.
Marlena menemukan sapi itu di pojok pasar, jauh dari keramaian. Tidak ada seorang pembeli atau makelar yang berminat menawar sapi yang dimiliki seorang lelaki bungkuk itu. Maka, saat Marlena datang, serta-merta pemiliknya setuju pada harga yang ditawarkan olehnya.
Bawor tinggal di kandang yang ada di belakang rumah Marlena. Perempuan itu meminta bapak membantunya menyediakan rumput, membersihkan kandang, dan sesekali membawa sapi itu mandi ke sungai. Meski makan sangat lahap dan banyak, Bawor tetap kurus. Sama sekali tak ada perubahan dari pertama kali datang. Merasa kewalahan mencari rumput dan hijauan sendirian, bapak mulai mengajakku membantunya.
Sejak saat itulah aku dan sapi putih kurus itu mulai sering bertemu. Awalnya, aku dan bapak mengupayakan berbagai cara agar bobot Bawor bertambah. Meski kami nyaris kewalahan menyediakan pakannya, bobot Bawor tak berubah sedikit pun. Hanya belek dan air matanya yang mulai mengering. Marlena sebenarnya tak mempermasalahkan penampakan Bawor yang masih kurus.
“Malah bagus, sapi itu tak berubah sama sekali. Masih persis seperti yang ada di dalam mimpi,” ucapnya dengan mata berbinar.
Setelah satu tahun sapi itu tinggal di kandang di halaman belakang rumah, Marlena meminta beberapa orang untuk membuatkan kandang baru yang diletakkan di samping dan menyatu dengan rumah utama. Kandang Bawor tidak lagi terbuat dari kayu, melainkan dari batu-bata dan lebih mirip disebut kamar ketimbang kandang. Beranjak tahun, kamar itu disulap lebih luas dan lebih bagus lagi.
Perempuan itu teramat senang dan kerap membangga-banggakan sapi miliknya kepada banyak orang. Kamar sapi yang terbuat dari kaca—hampir seluruh ruangan dikelilingi kaca—membuat sapi kurus itu terlihat jelas dari luar. Di malam hari, kamar Bawor pun cemerlang dengan lampu kelap-kelip warna-warni. Aku dan bapak tak perlu lagi membawa sapi ke sungai karena di kamar itu sekaligus disediakan tempat untuk memandikan sapi. Bukan hanya fasilitas untuk sapi, di kandang itu juga disediakan sofa dan televisi bagi kami yang sehari-hari bekerja merawat dan menjaga Bawor.
Dibanding kandang Bawor, rumahku tentu tak ada apa-apanya. Gubuk kecil itu tak muat menampung lima orang. Aku harus berimpitan tidur bersama tiga adik laki-laki yang masih kecil-kecil. Sering kali aku memilih tidur di kandang Bawor. Sejak itu aku kerap mengajaknya berbincang. Bawor terlihat manggut-manggut saat aku mengajaknya bicara. Ada banyak hal yang kubicarakan dengannya: upah mencari rumput yang sedikit, ditambah tuntutan untuk merawat sapi dan kamarnya agar selalu bersih dan tidak bau, yang sejatinya tak menambah upah yang kami terima.
Aku sering berkeluh kesah kepada Bawor tentang kesedihanku tak bisa melanjutkan sekolah, tentang cita-citaku yang kandas karena kemiskinan, dan tentang perlakuan majikannya yang tak memanusiakan kami. Tak ada maksud apa-apa saat aku menceritakan kesusahanku kepadanya. Aku hanya butuh teman bicara. Aku tahu, dia hanya binatang peliharaan yang tak bisa menentukan nasibnya sendiri.
Maka, ketika pagi buta melihat Marlena terkapar di kandang sapi, aku terhenyak dengan dada yang bergemuruh. Sapi itu sempat menoleh ke arahku sebelum akhirnya berlari kencang ke luar pekarangan. Aku terduduk di pinggir kandang dalam kondisi tercengang hingga akhirnya sadar untuk berlari meminta pertolongan.
Suara lenguhan Bawor yang masih terikat pada dua pohon kelapa membuat kesadaranku kembali. Bawor terlihat bangkit dari duduknya. Ia mengibas-ngibaskan ekornya. Halaman balai desa tentu tak senyaman kamarnya yang luas, hangat, dan bebas nyamuk. Bawor menoleh ke arahku dengan tatapan minta dikasihani. Aku mendekat ke arahnya. Saat tanganku hendak mengusap kepalanya, tiba-tiba saja aku bergidik. Bulu kudukku meremang. Jika Bawor bisa membunuh majikan yang telah memberinya segala kenyamanan, bukan tidak mungkin dia akan membunuhku kemudian hari, bukan? Aku melangkah mundur dengan kaki gemetar. Tanpa menoleh, aku berlari pulang. Aku berniat mengambil parang untuk membantu Tuhan menegakkan hukum tabur tuai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo