Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Konser Monokrom, Hangatnya Cerita Tulus dari Dekat

Tata panggung minimalis serta iringan beragam instrumen musik dalam konser Tulus berpadu membangun suasana musikal yang solid

7 Februari 2019 | 06.25 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penyanyi Tulus menghibur para penggemarnya dalam konser tunggalnya bertajuk Monokrom di Istora Senayan, Jakarta 06 Februari 2019. Konser dengan suguhan orkestra berdurasi selama 2.5 jam. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Latar panggung konser Monokrom Tulus selintas nampak seperti sebuah bangunan pertokoan atau bioskop dengan adanya layar memanjang membentuk siku di bagian atasnya. Lewat layar itu, sederet visualisasi tim yang berada di balik konser ditampilkan. Di layar itu pula sepanjang konser, beberapa jenis visualisasi hadir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lantas panggungnya, seperti sebuah tepian kolam. Di tengah menjadi area festival yang lantas disekat menjadi dua bagian, A dan B.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perlahan, layaknya sebuah film, Instrumental yang syahdu mengalun. Perlahan lagi temponya naik masuk pada melodi lagu Baru. 

Istora Senayan mendadak riuh dengan teriakan penonton yang didominasi perempuan. Itulah gong pembuka konser Tulus yang digelar di Jakarta, Rabu malam 6 Februari 2019. 

Konser Monokrom Tulus yang digelar semalam boleh dibilang sebagai konser pembuka awal tahun yang begitu apik. Dari tata panggung yang minimalis namun terkonsep intim, nuansa warna, paduan cahaya, serta iringan beragam instrumen musiknya berpadu membangun suasana musikal yang sangat solid.

Ini harapan Tulus, hadir dan dekat dengan penikmat lagu-lagunya. "Saya ingin dari mana pun penonton berada jaraknya bisa sama dekat dari posisi saya berdiri," tutur Tulus saat menggelar konferensi pers sehari sebelum konser berlangsung.

Katanya, ini konser pertama terbesar Tulus sepanjang ia berkiprah di panggung musik dalam tujuh tahun terakhir. Ada 4500 tiket lebih terjual untuk konser yang mengusung tema dari album ketiganya.

Di tahun ke tujuh ini, kita bisa melihat bagaimana pria lulusan arsitektur Universitas Parahyangan ini benar-benar bermetamorfosa. Tulus kian menunjukkan kematangannya dalam bermusik, meski di kesempatan lain ia menuturkan tak punya kemampuan bermain alat musik. Modalnya bernyanyi dan menulis lagu jadi amunisi yang kuat hingga saat ini. Tentu, semua itu tak lepas dari tangan dingin sang produser, Ari Renaldi yang tangkas menangkap gagasan dan lirik-lirik puitis buatan Tulus. Ari yang serba bisa menutup kekurangan Tulus yang tak menguasai teori soal musik.

Penyanyi Tulus menggelar konser bertajuk Monokrom di Istora Senayan, Rabu 6 Februari 2019. TEMPO/ AISHA SHAIDRA

Tujuh tahun lalu, beberapa bulan sebelum merilis album pertamanya, Tulus bisa dibilang nekad menggelar konser. Kecil, hanya dihadiri kawan. Pitih seadanya ditambah sukarelawan kawan menjadi modal konser mini yang digelar di Bandung saat itu.

Beberapa tahun berikutnya, konser untuk seorang Tulus kian bertransformasi. Misalnya, saat menggelar konser Gajah, dua kali di Bandung dan Jakarta. Dari puluhan, ratusan, kini ribuan penonton memadati konser pelantun Sewindu tersebut.

Serupa konser Gajah yang digelar di Bandung dan Jakarta, konser Monokrom--menandai album ketiganya, juga digelar di dua kota itu. Mungkin Tulus turut mengamini apa kata Pidi Baiq, kalau Bandung bukan hanya perkara soal geografis. Di Bandung, Tulus memulai debut menyanyinya. Berjarak sekian tahun dari saat guru SD-nya menyadari bakat emas pria yang besar di Bukittinggi tersebut.

Sejak kecil, tepatnya kelas 5 Sekolah Dasar, ia diberi tahu kalau dirinya bisa bernyanyi. Tapi, cita-cita menjadi seorang penyanyi, tak ada. Tulus tak pernah membayangkan bahwa kelak namanya akan besar dan dikenal sebagai seorang penyanyi dengan kekhasannya sendiri. Dunia itu akhirnya baru benar-benar ia selami setelah lulus kuliah arsitektur di Bandung.

Tumbuh sebagai anak berbakat, tak menghindarkan pria yang lahir 31 tahun lalu ini dari perundungan terutama karena fisiknya. Kisah masa kecil itu dituangkan Tulus dalam lagu Gajah di album keduanya. Pembuktian Tulus pun tertuang dalam lagu Baru, di album yang sama. Baru, beberapa kali menjadi pembuka konsernya. Termasuk di konser semalam.

Konser berdurasi dua jam itu menyuguhkan sekitar 20-an lagu yang diambil dari tiga albumnya: Tulus (2011), Gajah (2014), dan Monokrom (2016). Tulus membuka dan menutup konser dengan elegan. Alunan intrumental, lalu perlahan tabuhan tom-tom masuk bersama tiupan trompet.

“Tak perlu kau ajak aku bicara 
Tak akan pernah ku mendengarnya 
Ini aku yang dulu bahkan tak dapat sebelah dengar dari telingamu.”

Tulus mulai menyapa dan berbicara cukup panjang usai menyanyikan Jatuh Cinta dari album pertamanya. “Selamat malam… selamat malam, apa kabar teman-teman? Di detik ini saya berusaha sangat rileks sekali karena sebetulnya kalau temen-temen lihat debar jantung saya grek… Saya sangat deg-degan sekali malam ini,” ucap Tulus.

Tulus runut menceritakan perjalan bermusiknya sejak 2011 hingga saat ini. Ia juga menuturkan gambaran besar dari setiap album yang telah ia rilis selama ini. Beberapa menit kisah pembuka itu lantas diikuti lebih banyak cerita lewat nyanyian dan iringan musik. Gajah, Ruang Sendiri, Tukar Jiwa, Cahaya berurutan dibawakan Tulus dengan narasi-narasi pendek menjembatani tiap lagu.

Penyanyi Tulus menggelar konser bertajuk Monokrom di Istora Senayan, Rabu 6 Februari 2019. TEMPO/ AISHA SHAIDRA

Saat membawakan lagu Bumerang, Tulus berseloroh bahwa ini adalah upaya menuntaskan janji publik. Ihwal beberapa waktu lalu, dirinya sempat mengunggah video menyanyikan lagu tersebut lantas lupa liriknya. Tulus pun melempar pertanyaan apakah lagu itu harus masuk dalam daftar lagu yang ia nyanyikan saat konser atau tidak. Rupanya mayoritas penggemarnya meminta Tulus membawakan lagu tentang karma. “Rasakan sakit hatinya, teman-teman,” ucapnya sebelum membawakan Bumerang.

Belum lagi saat ia mulai membawakan lagu tersebut, Tulus sempat meminta band mengulang dari awal lantaran ia merasa salah mengeluarkan ekspresi. “Lagunya tentang sakit hati, senyum-senyum, bentar-bentar,” selorohnya diiringi tawa penonton.

Tulus juga sempat membawakan medley lagu dari daerah asalnya sebagai memori masa kecil yang kerap diperdengarkan lagu oleh sang ayah seperti Babendi Bendi, Tak Tong Tong, dan Badindin.

Setelah sekian nomor dibawakan, di Langit Abu-Abu Tulus meminta agar penonton tak ikut bernyanyi. Rupanya, pada bagian ini ia melibatkan barisan choir. Suasana pun hening. Lagu yang menyiratkan kekecewaan ini dibawakan Tulus begitu dalam. Di akhir lagu tampak Tulus mengusap tangan menghapus air mata.

Penyanyi Tulus menghibur para penggemarnya dalam konser tunggalnya bertajuk Monokrom di Istora Senayan, Jakarta 06 Februari 2019. TEMPO/Nurdiansah

Selain melibatkan deretan band, penyanyi pengiring, juga choir, Tulus melibatkan Papermoon Puppet Theatre untuk berkolaborasi di atas panggung. Sebuah boneka besar hadir dimainkan secara teatrikal mengiringi dua lagu Monokrom dan Teman Hidup. Ada sekitar 40 relawan menyebar di area tribun membawa boneka-boneka kertas dan lampion redup saat Tulus membawakan lagu Teman Hidup.

Di akhir lagu Tulus memeprkenalkan sosok boneka besar yang menemaninya di panggung adalah Abak, sosok kakek yang tak pernah ia temui sepanjang hidupnya.

Konser ditutup tak kalah megah sebagaimana dibuka. Puluhan penyanyi choir mengelilingi panggung yang berbentuk persegi panjang. Konser ditutup dengan lagu-lagu yang lebih menghentak dan bersemangat. Hampir semua hit dari tiga albumnya dibawakan Tulus, hal itu membuat konser berakhir tanpa teriakan "we want more" untuk meminta encore atau tambahan lagu saat penampil sudah pamit. Tulus menyajikan konser yang begitu berkesan.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus