Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam temaram panggung yang nyaris gelap, sosok tubuh itu mulai menggeliat, menyibakkan perlahan kostum seperti rok. Ia bergerak perlahan dengan gesekan selo yang merengek-rengek menuju setumpuk bubuk putih di tengah panggung. Ia mengangkanginya sambil terus bergerak. Gerak tangan dan lenggak-lenggok tubuhnya seperti orang naik kuda. Tubuh itu bergoyang seperti gerak pemain kuda lumping atau jatilan. Kakinya menyepak-nyepak setumpuk bubuk magnesium tersebut. Debunya beterbangan ke segala penjuru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menghidupkan koreografi ini, Eko Supriyanto seperti orang kesurupan. Di bawah temaram cahaya yang terpendar dari pemantul, Eko mengeluarkan lidahnya, melet-melet. Matanya memandang nyalang ke mana-mana, sementara tubuhnya bergerak ke sana-kemari. Setelah itu, tubuh Eko merendah sambil memungut kelopak mawar putih dan memasukkannya ke mulut. Ia memakannya seperti pemain jatilan kesurupan. Iringan musik dan gamelan menderu mengiringi koreografi ini. Tata lampu yang dikerjakan Jan Maertens ikut menguatkan suasana kesurupan tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko tidak benar-benar sedang kesurupan pada Ahad malam itu, 29 Juli lalu. Saat itu ia sedang mementaskan kembali karyanya berjudul Salt di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Karya yang telah melanglang buana di berbagai negara itu adalah penutup trilogi Cry Jailolo, Bala Bala, dan Salt. Pementasan ini bagian dari pertunjukan Postfest 2018 Sekolah Pascasarjana IKJ sekaligus menjadi karya disertasinya untuk meraih gelar doktor penciptaan karya di Institut Seni Indonesia di Surakarta.
Pada bagian pertama, mulanya pertunjukan itu mempertontonkan tubuh telanjang Eko yang bergerak seiring gesekan selo yang merintih. Tapi penonton tak akan mengenali ketelanjangannya dalam pencahayaan yang sangat rendah. Nyaris gelap. Tubuh itu bergerak sangat pelan, sesekali seperti terlihat tangannya menggapai. Gerakan ini seperti memperlihatkan Eko yang sedang turun ke kegelapan laut yang dalam. Ini bermula ketika Eko menggarap Festival Jailolo yang memaksanya menyelam sehingga jatuh cinta pada laut Halmahera Barat.
Karya tersebut terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama menggambarkan kehidupan di dalam laut, dengan keindahan dan gradasi warna di permukaan, tapi makin ke dalam makin gelap. Terang-gelap timbul-tenggelam dalam tekanan gravitasi ketika tubuh masuk ke laut.
Dari koreografi "di dalam laut", ia melanjutkan koreografi bagian dua. Koreografi ini juga diawali di panggung yang nyaris gelap dengan gerakan pelan lalu beranjak menjadi gerakan lincah. Di sini Eko mahir menari jatilan, tarian tradisional dari Magelang. Eko mengatakan tarian jatilan ini yang mengiringi tumbuhnya di lereng Gunung Sumbing. Bahkan ia konon sempat makan ayam mentah dan kembang saat kesurupan ketika njathil.
Seperti perjalanan yang bergulir dari koreografi itu, penari dan koreografer ini mulai menjelajah kosa kata gerak tari cakalele, tarian perang dari daerah Maluku Utara. Dia menghubungkan budaya agraris dari gerak jatilan dan budaya maritim dengan cakalele yang tak kalah lincah dengan gerak berlari, melompat, dan gerak tangan di atas seperti sedang memutar-mutar senjata.
Eko mengatakan pementasan kali ini sudah terjadi banyak perubahan dibanding pementasan-pementasan sebelumnya. Salah satunya iringan musik. Sebelumnya, tari itu diiringi komposisi musik dari Dimawan Krisnowo Adji (Wawan) yang direkam. Namun, dalam pentas kemarin, Wawan menggesek selo langsung di panggung. "Rasanya jadi lebih hidup dan gerak lebih enak dengan musik langsung," ujar Eko kepada Tempo, Senin lalu.
Selain komposisi musik langsung yang ikut mempengaruhi gerak dan suasana, Eko melakukan perubahan struktur koreografi tari cakalele di bagian tiga. Dia mengelaborasi ruang yang lebih luas. Jika dengan dasar tari Jawa yang biasanya mengisi ruang di depan atau di tengah, kali ini dia merespons panggung dengan gerak ke kiri, kanan, depan, belakang, dan bidang diagonal.
Selepas ini, Salt yang dieksplorasinya sejak lima tahun lalu tersebut akan dipentaskan di beberapa kota di luar negeri, seperti di Adelaide, Sydney, Utrech, dan Tokyo. Karya ini pula yang mengantarkan Eko meraih gelar doktor keduanya setelah berproses selama lima tahun sejak menggarap Festival Jailolo. Sebelumnya, ia telah meraih gelar doktor kajian seni pertunjukan dari Universitas Gadjah Mada, tiga tahun lalu. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo