Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kening Eko Supriyanto disentuhkan ke lantai. Begitu ia melakukan gerakan seperti sujud itu, terdengarlah dung, suara pukulan drum memecah kesunyian. Musik Tony Prabowo Requiem mengurung ruangan. Suara Nyak Ina Raseuki yang direkam dengan teknik pre-recorded, berlapis-lapis, timpal-menimpal, bagai sebuah paduan suara di gereja. Di tengah suasana kor itu, Eko melakukan tari tunggal sekitar 10 menit.
Requiem adalah sebuah ode untuk kematian. Dan Eko merasa musik yang diciptakan Tony tak membahanakan atmosfer sedih. Komposisi itu baginya justru menyajikan suasana bahagia menyongsong kematian. Gerakan yang dilakukan Eko maka banyak berupa tangan menggapai-gapai ke atas, mencari-cari pelepasan.
Itulah pertunjukan karya terbaru penari Eko Supriyanto di Museum Nasional Singapura. Malam itu penampilannya bagian dari perhelatan Five Pieces New Dance in Indonesia. Selain Eko, ada Hartati, Henny Herlina, Indra Zubir, dan Jecko Siampouw. ”Pertunjukan ini ingin menunjukkan keterbukaan penari Indonesia pada idiom baru,” kata Laksmi Pamuntjak, produser yang membawa mereka. Dan ini baru pertama kali di Singapura, lima pertunjukan tari dalam satu malam. Masing-masing dengan latar belakang tradisinya, masing-masing menyuguhkan koreografi kontemporer.
Penonton melihat bagaimana Eko yang berbasis Jawa mengenakan pakaian berkudung seperti berjalan meletakkan sesuatu dan kemudian berpindah jalan meninggalkan yang diletakkan. Dan setiap berpindah jalan, sorot lampu mengikutinya. Di antara langkah-langkah itu ia bermain-main sedikit: mengenakan-melepas kerudung. ”Idenya, kematian adalah sebuah perjalanan,” kata Eko. Ia tengah studi di University of California, Los Angeles (UCLA). Untuk pementasan ini ia langsung terbang dari Los Angeles ke Singapura. ”Museum Nasional menginginkan Requiem dipentaskan, saya memilih Eko,” kata Tony Prabowo.
Penonton juga bisa menyaksikan bagaimana Hartati yang berlatar belakang Minang mengolah sarung. Tiga penarinya mengeksplorasi sarung sebagai bagian dari kostum. Kadang digunakan sebagai penutup kepala, kadang disampirkan ke badan. Karya ini pernah dipentaskan di Goethe Jakarta. Terlihat yang ingin disampaikan adalah bagaimana tubuh ingin melepaskan diri dari batasan. Ada gerak telapak kaki tertusuk atau bergetar kesakitan, memperlihatkan bagaimana kostum yang tak cocok bisa melukai tubuh. Tak seperti di Goethe yang geraknya cenderung abstrak, malam itu gerakan-gerakannya makin realis. Sarung diikatkan di lutut, dibebatkan, dibentangkan di depan badan dan lampu sehingga menjadikan tubuh sendiri sebagai bayang-bayangnya.
Sama-sama bertolak dari khazanah Padang, malam itu Indra Zubir menampilkan karya berjudul Saat dengan iringan musik Tony Prabowo Communality. Tiga penari, Andara F. Moeis, Indra Zubir, Arie Herwanto, duduk di sebuah bangku panjang. Pertunjukan dibuka dengan adegan ketiganya bergerak seolah melihat arloji dengan tak sabar. Ide dasar Indra adalah mengeksplorasi momen kejenuhan saat menunggu. Dalam menunggu, apa saja bisa terjadi. Dan di situ yang ingin disampaikan adalah sebuah humor: dua laki-laki tampak saling mencinta dan kemudian seorang perempuan berusaha kuat memisahkan keduanya tapi gagal.
Banyak karya bertolak dari eksplorasi kursi. Namun karya Indra lain daripada yang lain. Ia mampu menggunakan bangku panjang bukan sebagai properti mati, tapi ”aktor” hidup sejalan dengan interaksi yang dibangun penari.
Berbagai posisi tubuh yang sulit seperti kaki di atas sandaran bangku, kepala di lantai, ditampilkan dengan cekatan. Rangkaian model komposisi yang diciptakan hampir tanpa perulangan. Adalah menarik bagaimana cara mereka memindahkan posisi kursi. Ada kalanya mendorong ke belakang dengan punggung, atau ditumpukan di pundak diseret posisi miring. Harus diakui, banyak hal tak terduga dalam karya ini. ”Saya mencoba bermain dimensi sudut pandang penonton,” kata Indra. Percintaan dua laki-laki di tengah sensualitas seorang perempuan tertangkap jelas.
Setelah 15 menit jeda istirahat, Hanny Herlina muncul dengan suasana yang berbeda dari karya-karya sebelumnya. Tiga penari dengan rambut terurai mengenakan topeng panji. Tubuh mereka dilapisi kain batik. Karyanya, Saloka, bertolak dari kisah Sunda Putri Bungsu Rarang yang memiliki teka-teki tentang dunia atas-dunia bawah. Koreografinya banyak menampilkan gerakan jatuh-bangun. Gerak kayang—menengadah badan ke belakang, naga seser—gerak berjalan ke samping dengan kaki bergeser ritmik. ”Saya mengambil gerak topeng panji yang minimalis,” katanya. Puncaknya adalah seorang melepaskan kain, memperlihatkan ketelanjangan, simbol kesiapan ke dunia atas.
Pertunjukan ditutup dengan In Front of Papua karya Jecko Siampouw. Karya ini membuat suasana riang. Tifa dipukul, kerang, dijeridu, genggong ditiup langsung. Enam pemain bertelanjang dada dengan tubuh bertotol-totol putih seperti badan suku pedalaman Papua, tidur berjajar membentuk barisan. Jecko ada di antara para pemusik. Ia memukul kayu. Setiap pukulan membuat posisi kaki penarinya berubah. ”Saya terinspirasi oleh patung Asmat mbis,” katanya. Mbis yang merupakan patung arwah itu selalu memperlihatkan deretan laki-laki berjajar atau tumpuk-menumpuk.
Prinsip itu digabung oleh Jecko dengan gerak yang diambil dari keseharian masyarakat Papua. ”Banyak gesture orang Papua seperti bercanda tapi sesungguhnya serius.” Maka itu, tiba-tiba seorang penarinya bisa keluar dari barisan, mengomel-omel. Penari Jecko seperti dirinya, sering menampilkan gerak tangan khas saat menari: jari tangan menekuk di depan dada. ”Saya ambil itu dari gabungan burung, kanguru, reptil,” katanya. Inilah pertunjukan yang tepat ditempatkan pada bagian akhir. Aplaus penonton meriah.
Five Pieces New Dances adalah pertunjukan ketiga yang dibawa Laksmi ke Museum Nasional selama setahun ini. Pada pertengahan Desember 2006, untuk menandai ulang tahun ke-120 museum dan pembukaan kembali museum yang baru direnovasi, Laksmi menampilkan Panji Sepuh karya Sulistyo Tirtokusumo dan Goenawan Mohamad. Pada 26-27 Oktober lalu dipentaskan karya Tony Prabowo Pastoral yang bertolak dari puisi Goenawan Mohamad. Karya yang bermateri kuartet gesek, dua soprano ini—Nyak Ina Raseuki, Binu Sukarman— sedikit berbeda dalam ilustrasi geraknya dibanding saat di Jakarta. Di Singapura, untuk mengilustrasikan musik, penari Okti Budiarti bergerak dalam sebuah bola globa.
”Saya menawarkan progam-progam ini kepada Lee Chor Lin, Direktur Museum Nasional, dan ia antusias,” kata Laksmi. Sastrawan dan pianis ini menangkap arti penting pementasan ini. Maksudnya, untuk memperlihatkan sebuah pembauran tradisi dan kemodernan. ”Saya pernah tinggal di Singapura dan melihat persoalan identitas Melayu, India, Cina begitu kuat, sementara itu di sini kita sudah biasa hidup dengan perbedaan.”
Agaknya, karya Indonesia dalam sebulan terakhir memang menyerbu Singapura. Pada 3-4 November, bersamaan dengan pementasan Five Pieces New Dances itu, penari Besar Widodo dari padepokan Bagong Kussudiardjo menampilkan karyanya Suwung di Esplanade. Pertunjukannya erotis. Dengan kucuran air dari atas, dua penarinya menampilkan adegan persenggamaan di dalam sebuah gentong tanah liat. Gentong itu akhirnya ditumbuk dengan kayu, pecah, air meluber ke lantai pentas. Akan halnya Singapore Art Museum, menampilkan pameran 100 tahun Affandi. Sebelumnya di situ digelar pameran retrospektif lukisan almarhum Widayat.
”Untuk tahun depan ke Museum Nasional saya mengajukan proposal, Islam and Different. Saya ingin membawa pementasan berspirit Islam tapi yang tanpa menampilkan idiom Islam konvensional,” kata Laksmi. Ia juga berencana menggelar diskusi pembaruan pemikiran Islam Indonesia. Demikianlah, Singapura, negeri tetangga ini, bisa menjadi halaman depan untuk pertunjukan dan gagasan tersegar kita.
Seno Joko Suyono (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo