Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Makin Terseok Setelah 70 Tahun

Balai pustaka berdiri tahun 1917. karena dinilai tidak efisien, diusulkan untuk digabungkan dengan pradnya paramita. keduanya adalah bumn. mutu produk dapat ditingkatkan dan perusahaan semakit sehat.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-hari ini, banyak orang khawatir sejarah panjang Balai Pustaka segera akan berakhir. Berdiri pada 1917, BP adalah perintis penerbitan buku-buku bacaan rakyat yang sampai 1950-an dibaca secara luas. BP, sebagai satu-satunya penerbit milik pemerintah, ketika itu juga sangat menonjol sebagai penerbit buku-buku pelajaran sekolah. Lebih dari itu, BP juga sangat berperan dalam pertumbuhan sastra dan kebudayaan. Melalui penerbit ini, sejumlah nama sastrawan menjadi terkenal dan dikenang sampai kini. Seperti Marah Roesli (Siti Noerbaja), Abdul Muis (Salah Asuhan), sampai Sutan Takdir Alisjahbana (Layar Terkembang). Pada periode itulah BP mengukir sejarahnya yang gemilang. Namanya muncul sebagai perintis sastra modern. Para sastrawan yang menerbitkan buku-bukunya melalui BP disebut Angkatan Pujangga Baru atau Angkatan Balai Pustaka: Marah Roesli, Aman Dt. Modjoindo, Abdul Muis, Sanusi Pane, Nur St. Iskandar. Dan masih banyak lagi. Tapi peran BP yang dalam sejarahnya pernah "mencerdaskan bangsa" dalam arti kata yang sebenar-benarnya itu -- kini dikhawatirkan bakal pupus. Sekarang BP dinilai kalah bersaing dengan penerbit swasta. Keadaan seperti ini sebenarnya bisa dimaklumi. Sebab, sejak semula BP memang tidak dimaksud untuk mencapai tujuan-tujuan komersial. Tapi zaman rupanya sudah banyak berubah. BP, yang di zaman RI menjadi badan usaha milik negara (BUMN), sejak tahun lalu dinilai tidak efisien oleh Tim Peningkatan Efisiensi dan Efektivitas Departemen Keuangan. Bukan semata-mata lantaran BP tidak menguntungkan, tapi karena selama ini ada dua BUMN yang sama-sama bergerak di bidang penerbitan. Yang pertama BP di bawah Departemen P dan K, yang lain Pradnya Paramita di bawah Departemen Penerangan. "Kalau produknya sama-sama buku, mengapa harus ada dua BUMN," kata Bacelius Ruru, Kepala Biro Hukum dan Humas Depkeu. Maka, di awal 1990 ini tim itu menyarankan untuk menggabungkan kedua BUMN tersebut. "Agar secara operasional lebih hemat. Selain mutu produknya bisa ditingkatkan, perusahaan juga semakin sehat," tambah Ruru. Saran tersebut memang sejalan dengan kebijaksanaan Menteri Keuangan untuk konsolidasi BUMN, dan kalau perlu merger. Saran penggabungan itu cukup mengagetkan para budayawan. Misalnya penyair Sapardi Djoko Damono, yang masih melihat perlunya BP sebagai penerbit yang khusus menerbitkan karya-karya sastra yang bisa dibanggakan. "Tapi sikap Peme- rintah ini setengah-setengah. Ingin punya penerbitan bermutu tapi tak mau membiayai," kata dosen FSUI ini. Sutan Takdir Alisjahbana, 82 tahun, sedih mendengar gagasan penggabungan BP dengan Pradnya Paramita. Pernah menjadi redaktur kepala di BP pada 1940-ap, Takdir berpendapat justru seharusnya BP melakukan tugas yang lebih besar dan hebat dari di zaman Belanda dahulu. "Kalau tidak menguntungkan, manajemennya harus ditangani lebih profesional. Kalau penerbit swasta bisa beruntung, masa BP yang disubsidi Pemerintah tidak bisa mengurus penjualan buku. Pimpinan BP harus dicari orang-orang yang dinamis. Dan harus belajar bisnis," kata Takdir berapi-api. Kritikus sastra H.B. Jassin, 71 tahun, juga kaget mendengar gagasan penggabungan tersebut. Sebab, baginya, komitmen BP ialah menerbitkan buku-buku sastra dan budaya. "Namanya juga karya sastra, tentu keuntungannya sedikit," kata Jassin, yang pada awal 1940 pernah menj adi redaksi di BP atas ajakan Takdir. Meski begitu, Jassin tampaknya menyadari perlunya efisiensi. "Kalaupun sampai Balai Pustaka digabung dengan Pradnya Paramita, paling tidak saya minta namanya tetap Balai Pustaka," katanya. Harapan Jassin sejak semula rupanya memang menjadi perhatian tim Depkeu yang punya gagasan merger tersebut. Misalnya yang berkaitan dengan peran kesejarahan BP. Lagi pula, seperti kata Bacelius Ruru, "Kami tidak bermaksud menghilangkan BP, tapi mengefisienkannya." Sementara itu, menurut Direktur Utama BP, Zakaria Idris, "Yang dilebur nantinya Pradnya Paramita, sedang perusahaan baru itu nanti tetap bernama Balai Pustaka." Pradnya Paramita sendiri merupakan gabungan empat penerbit terkenal bekas milik Belanda di Indonesia yang pada tahun 195O-an dinasionalisasi: J.B. Wolters, V. Verluijs, Noordhof & Kolff, dan H. Stam. Perjalanan BP belakangan ini memang terkesan makin terseok-seok. Pada 198S BP masih mampu menerbitkan 150 judul, tapi kini hanya 50 judul per tahun. Pada 1986 BP masih untung Rp 500 juta, tapi dua tahun kemudian berturut-turut rugi Rp 97 juta dan Rp 240 Juta. BP memang sempat ditunjang oleh dana Inpres dengan menerbitkan 20 judul buku pelajaran sekolah dengan oplah 162 ribu eksemplar per judul per tahun. Tapi belakangan penunjang seperti itu semakin susut. Repotnya, BP juga kalah gesit dibanding penerbit-penerbit swasta dalam menghadapi perubahan kurikulum 1978-1988. Akibatnya, buku-buku pelajaran sekolah yang dicetak BP tidak laku. Belum lagi menghadapi pembajakan, hingga omsetnya susut 3O%. Direktur Utama BP, Zakaria Idris, tetap berpendapat bahwa BP tidak semata-mata mencari untung. Kalaupun mengambil untung hanyalah 10-15% dari ongkos produksi, sementara harga buku pelajaran sekolah yang diterbitkannya lebih murah 6-9% dari penerbit lain. Lagi pula, katanya, BP masih punya niatan kuat "memikul misi sastra dan budaya -- fungsi ideal yang tak bisa dinilai dengan uang." Kini BP selain harus merampingkan jumlah karyawan -- dikembalikan ke Departemen P dan K -- juga masih menunggak pajak lebih dari Rp 1 milyar, sementara piutang pembayaran buku-buku yang belum tertagih juga sekitar jumlah yang sama. BSH, Yudhi Soerjoatmodjo, dan Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus