Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENONTON di Auditorium Teater Institut Seni Indonesia Yogyakarta menahan napas melihat adegan seorang perempuan menggendong seorang pemuda. Bukan di punggung. Bukan pula dipeluk di dada. Si pemuda membelitkan tubuhnya di pinggang si perempuan. Posisi si pemuda serupa orok yang meringkuk di rahim ibu. Dan sang ibu pun berjalan tertatih mengangkut tubuh si orok bak menggotong kandungannya yang membesar ke sana-kemari. Sesekali lengan sang ibu menyeka kening dengan raut muka menahan sakit.
Itulah penampilan School of Theatre Arts dari Mongolian State University Arts and Culture dalam 11th Asia-Pacific Bond Theatre Schools and Performing Arts Festival 2018 yang berlangsung di Auditorium Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Temu kelompok teater perguruan tinggi se-Asia-Pasifik yang diikuti 15 negara itu mengusung tema besar: ”Local Wisdom Within”. Berlangsung pada 15-21 September 2018, jurusan-jurusan teater perguruan tinggi seni dari Jepang, Taiwan, sampai Australia mengirimkan wakil-wakilnya.
Para mahasiswa teater Mongolia menampilkan Snake’s of Spring. Enam sosok tubuh berbalut pakaian minimalis, ketat, berwarna krem. Short pants dan sport bra untuk lima aktris serta short pants dengan dada telanjang untuk seorang aktor. Mereka membuat gerakan-gerakan tubuh menekuk, telentang, tengkurap, mencengkeram, merayap, menindih, meliuk.
Adegan kelahiran itu diperagakan dengan gerak akrobatik. Para aktris tidur telentang dengan kedua tangan dan kaki terangkat ke atas. Aktris yang memerankan ”sang ibu” duduk di atasnya dengan posisi telapak kaki ditopang tangan dan kedua pahanya ditahan telapak kaki si aktris yang berbaring di bawah. Kemudian si orok membuat gerakan setengah tengkurap dan merayap mundur seolah-olah keluar dari rahim ibunya. ”Memang lebih banyak menggunakan fisik. Latihan dasar pun memakai teknik senam,” kata sutradara kelompok teater asal Mongolia, G. Gan, seusai pementasan.
Tontonan ini diperkuat oleh tampilan gambar-gambar dua dimensi pada layar yang disorot proyektor yang menjadi latar panggung. Setiap gambar yang ditampilkan mengisahkan cerita yang sejalan dengan gerakan tubuh aktor yang dipertunjukkan. Misalnya gambar anak panah melesat ketika si pemuda menarik tali busurnya, gambar pasukan Mongol berarak dengan senjata dan panji-panji ketika si pemuda turun bertempur, serta gambar batu berpahat wajah manusia ketika si pemuda berubah menjadi batu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para mahasiswa teater Mongolia menampilkan Snake’s of Spring. Enam sosok tubuh berbalut pakaian minimalis, ketat, berwarna krem. Short pants dan sport bra untuk lima aktris serta short pants dengan dada telanjang untuk seorang aktor. Mereka membuat gerakan-gerakan tubuh menekuk, telentang, tengkurap, mencengkeram, merayap, menindih, meliuk.
Selain bisa menyaksikan penampilan teater dari Mongolia, yang jarang terdengar dalam peta perteateran, penonton dapat menikmati pertunjukan teater modern asal Brunei, yang juga tumbuh. Akmal Sulaiman Mohidin dari Universiti Brunei Darussalam memilih bermonolog, mengusung kisah berjudul Bearing Beckett in Bandar dalam bahasa Inggris dan Melayu. Di atas panggung, Akmal tampil mengenakan celana kain gelap dan kemeja putih ditemani sebentuk kursi dengan sandaran untuk sampiran jasnya. Selembar kain sarung dilepas dari pinggangnya, digelar di lantai, diinjak, digulung, dilempar.
Meski tanpa pengeras suara, Akmal berhasil menguasai panggung. Dia pun merebut jajaran bangku audiens dengan melibatkan penonton sebagai bagian pementasannya, dari sekadar bertanya ”nama kamu siapa” hingga mengajak berjoget. Irama klasik yang mengalun sebagai prolog tiba-tiba ”dikacaukan” oleh tembang dangdut koplo Emang Lagi Syantik-nya Siti Badriah. Riuh celoteh dan tawa penonton mengiringi gerakan joget Akmal yang meniru joget komedian Mr. Bean.
Padahal monolog yang dibawakannya serius. Terinspirasi kisah Quad I & II dan Waiting for Godot karya Samuel Beckett serta Inferno dari Dante Alighieri, monolog dibagi dalam tiga babak yang menggambarkan tiga pilar yang dianut negaranya: politik, ekonomi, dan agama. Ia mengawali setiap babak dengan seruannya yang mempertanyakan identitas sembari berjalan mengelilingi panggung. ”I am and I am. I am who I am...,” ujar Akmal.
Sampai babak pamungkas, Akmal menyerukan kegalauannya terhadap periode pasca-kebenaran. ”Muda memberontak etika yang dipegang di hari tuanya. Jadi itu contoh lidah tak bertulang yang jadi penguasa. Sains dan agama tak sehaluan menjadi puak-puak yang lemah. Hanya ditemani komputer. Menulis blog, mencampak batu, menyorong tangannya. Hanya untuk fitnah. Hanya untuk apa? Untuk dunia, untuk fitnah. Jangan mempercayai firaun-firaun di zaman ini!” ucapnya dalam monolog.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo