Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Membantah Tesis Kaum Islam Modernis

Buku ini berhasil mengungkap pemikiran K.H. Hasyim Asy'ari. Sayang, data biografinya lemah karena terlalu mengandalkan sumber sekunder.

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FAJAR KEBANGUNAN ULAMA,
Biografi K.H. Hasyim Asy'ari
Penulis:Drs. Latiful Khuluq, M.A.
Penerbit:LKIS, Yogyakarta

NAMANYA selalu disebut dengan takzim di kalangan Islam tradisionalis Indonesia: Hadratus-Syaikh (Maha-guru) Kiai Haji Hasyim Asy'ari. Gelar ini kiranya memang pantas disandangnya karena ia—melalui Pesantren Tebuireng—adalah guru utama para kiai besar di Jawa dan Kalimantan. Ia juga salah seorang pendiri, sekaligus rois akbar (sesepuh utama) Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di dunia, yang anggota dan simpatisannya mencapai sekitar 40 juta orang.

Betapapun terkemukanya kakek Presiden Abdurrahman Wahid ini, di luar kalangan tradisionalis, pemikiran dan karyanya tetap kurang dikenal. Penyebabnya adalah, pertama, karyanya kebanyakan mengenai ilmu agama murni, seperti sufisme, teologi, dan fiqh. Kedua, ia lebih banyak menulis dalam bahasa Arab atau Jawa dengan huruf Arab (pegon). Ketiga, para peneliti sosial, politik, dan studi Islam lebih tertarik "mengunyah-ngunyah" karya kelompok Islam modernis. Dalam barisan ini dapat kita sebut nama Deliar Noer, Taufik Abdullah, dan Mukti Ali.

Kendati menunjukkan hormatnya kepada K.H. Hasyim, Deliar Noer dalam karya klasiknya, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (1980: 321), menyatakan, "…Golongan tradisi umumnya tidak turut masalah politik. Banyak di antara mereka yang antipenjajahan. Tetapi bukannya mempersiapkan diri secara sistematis menghalau pemerintahan jajahan itu, mereka mengurung diri di pesantren atau surau, ataupun pergi ke Mekkah untuk menghabisi umur mereka di Tanah Suci."

Boleh dibilang berkat penilaian Deliar ini, ditambah minimnya penelitian terhadap dinamika kaum tradisionalis, sedikit-banyak citra kaum ini menjadi buram. Baru satu dasawarsa terakhir ini citra kaum tradisionalis mengalami perbaikan. Penyebabnya adalah juru bicara dan sejumlah peneliti telah berhasil membeberkan dinamika, pasang surut, dan geliat di tubuh kaum tradisi dalam menghadapi perubahan zaman. Dalam deretan peneliti ini dapat kita sebut nama Abdurrahman Wahid, Zamakhsyari Dhofier, dan Martin van Bruinessen. Kini, Latiful Khuluq, melalui buku yang berasal dari tesis magisternya di Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal, Kanada, menambah "kekuatan" barisan ini. Ia membahas pemikiran dan sepak terjang K.H. Hasyim secara utuh dengan pendekatan kronologis dan analitis: suatu kajian yang belum pernah dilakukan orang.

Lewat kajian ini, nyatalah bahwa K.H. Hasyim tidak seperti yang dilukiskan Deliar Noer. Di awal abad ini, tahun 1913, Pesantren Tebuireng dibakar Belanda karena perlawanan halusnya kepada pemerintah. Namun, saat itu K.H. Hasyim menasihati santrinya agar tidak melakukan perlawanan terbuka kepada Belanda. Soalnya, waktunya dianggap belum tiba.

Dalam dasawarsa yang bersamaan dengan lahirnya cikal bakal sistem pendidikan Islam modern di Sumatra Barat, yaitu Diniyah School dan Sumatra Thawalib School, K.H. Hasyim juga menjalankan sistem yang modern. Ia menerapkan sistem madrasah klasikal di pesantrennya, pada 1916. Pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf latin, ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu diajarkan di Tebuireng. Pesantren pun dilengkapi dengan bangku dan meja. Pembaruan ini sempat menimbulkan reaksi cukup hebat, sehingga sejumlah orang tua memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain karena Tebuireng dianggap terlalu modern (Karel A. Steenbrink, 1986: 70-71).

Yang menarik, meski tersohor sebagai kiai "sakti"—dalam bahasa pesantren, ia dipandang memiliki karamah—K.H. Hasyim ternyata melarang pengajaran tarekat di Tebuireng. Ia melarang santrinya mengikuti persaudaraan sufi agar mereka tidak meninggalkan pelajaran. Ia juga mengkritik penyimpangan para sufi yang terlalu mengagungkan para sesepuh dan guru mereka.

Di sisi lain, ia menganggap masih banyak aspek sufi yang berguna, seperti ketakwaan dan kesederhanaannya. Secara umum ia mengikuti prinsip sufisme al-Ghazali. Tak ketinggalan, kakek Presiden Abdurrahman Wahid ini melarang anak-cucunya merayakan ulang tahun kematiannya (khaul). Padahal, khaul sesuatu yang lazim dilakukan kalangan tradisi (halaman 51-53).

Menghadapi pertikaian sengit antara kaum tradisionalis dan modernis pada periode 1920-1930-an, K.H. Hasyim bersikap bijaksana. Dalam pidato berbahasa Arab, "Al-Mawaiz", pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, 1936, ia menyeru kepada kedua belah pihak, "Oh, 'ulama' yang secara fanatik mendukung suatu pendapat, tinggalkanlah sikap fanatikmu mengenai masalah yang masih diperdebatkan, mengingat ulama besar sendiri mempunyai lebih dari satu pendapat mengenai masalah tersebut. Meskipun kamu tidak setuju (kepada ulama lain), jangan mencaci mereka, tetapi bimbinglah mereka dengan cara yang baik. Jika mereka tidak mau mengikutimu, jangan bertengkar dengan mereka. Sebab, jika kamu melakukan hal itu, kamu seperti mereka yang akan membangun istana dengan menghancurkan kota lebih dulu."

Pidatonya ini dipuji Hamka— seorang ulama modernis tersohor— sebagai "wasiat keagamaan yang sangat penting, tidak saja bagi anggota NU, tetapi juga bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Wasiat ini tidak saja penting selama masa hidup Hadratus-Syaikh, tetapi juga menjadi pedoman bagi setiap muslim setelah kepergian beliau". Pujian ini memang wajar karena saat itu pertikaian demikian keras.

Sikap antipemerintah kolonial K.H. Hasyim tampak pula dari penolakannya terhadap sumbangan uang dari pemerintah. Ia lalu menolak medali penghargaan yang akan diberikan Gubernur Jenderal Belanda, Van der Plas, pada 1937. Setahun kemudian, berdasarkan Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten, Jawa Barat, NU menolak duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat semu: Volksraad.

Reaksi kaum tradisionalis, yang dimotori K.H. Hasyim, terhadap pemerintah penjajah makin keras. Bersama organisasi lainnya, pada 1939 NU menolak "ordonansi guru", keputusan pemerintah yang membatasi pendidikan bumiputra. Nahdlatul Ulama menolak pelimpahan wewenang urusan harta warisan dari pengadilan agama ke peradilan umum (Landraad), dan menolak bergabung dalam milisi buatan Belanda untuk mempertahankan Indonesia dari ancaman Jepang.

Di zaman pendudukan Jepang, K.H. Hasyim sempat dipenjara empat bulan karena dituduh mendalangi kerusuhan di pabrik gula Jombang. Ia dibebaskan pada 18 Agustus 1942, setelah dipenjara dan disiksa di Jombang, Mojokerto, dan Surabaya. Fatwanya pada 22 Oktober 1945, yang mewajibkan perang suci (jihad) melawan Belanda, agaknya boleh disebut sebagai puncak sumbangannya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Walhasil, usaha penulis buku ini membahas pemikiran K.H. Hasyim tampaknya cukup berhasil, meski pembahasan biografinya terasa kurang mendalam. Rupanya, ini terjadi karena sang penulis sangat sedikit menggunakan sumber primer, yakni sumber sejarah yang sezaman dengan masa hidup sang tokoh, semisal arsip, koran, dan majalah. Ia memang terlalu mengandalkan sumber sekunder.

Kelemahan lain—ini agak fatal—Latiful Khuluq tidak menggunakan sumber lisan. Ia tidak mewawancarai orang yang mengetahui riwayat hidup obyek penelitiannya. Akibatnya, sejumlah data penting tercecer. Misalnya fakta tentang perjuangan K.H. Hasyim mendirikan Tebuireng, yang luar biasa berat. Menurut beberapa sumber lisan, ia pernah terpaksa meninggalkan rumahnya karena rumah tersebut digadaikan untuk membiayai pesantren.

Kekurangan lain adalah, K.H. Hasyim sesungguhnya suka berpuisi—suatu kebiasaan umum di kalangan ulama. K.H. Mustofa Bisri pernah mengutarakan bahwa ayahnya, yaitu K.H. Bisri Mustofa, sering bercerita bahwa Hadratus-Syaikh suka berpuisi. Bahkan, ia kerap menciptakan puisi secara spontan dalam bahasa Arab—tanpa berpikir dan merenung lebih dulu—ketika ia sedang asyik bercengkerama dengan lawan bicaranya.

Toh, dengan sejumput kelemahan di atas, karya Latiful Khuluq ini tetap menarik dan penting untuk memahami dinamika kelompok Islam tradisionalis. Ia mengungkapkan bukti bahwa K.H. Hasyim, mahaguru kaum tradisionalis, jelas tidak "mengurung diri di pesantren atau surau, ataupun pergi ke Mekkah untuk menghabisi umur mereka di Tanah Suci".

Edi Sudarjat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus